Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - The Power Of Umi
Sebenarnya ingin, dan dia mau. Hanya saja jelas butuh waktu, dan belum sekarang karena malam ini keduanya masih harus tetap di rumah sakit. Demi ketiganya bisa nyaman dan tidur dengan tenang, Zain tetap pada keputusannya untuk memindahkan sang mertua ke ruang dengan fasilitas yang lebih baik.
Walau awalnya sempat ditolak dengan alasan hanya sebentar oleh mertuanya, tapi Zain memilih keras kepala. Bukan tanpa alasan dia bersikap demikian, tapi memang dengan ruangan yang dipenuhi beberapa pasien seperti tadi bisa jadi dirinya yang ikut sakit.
Bagaimana tidak? Suasananya memang tidak begitu kondusif walau sudah ditegur. Beberapa kali pasiennya juga menangis, berteriak bahkan melempar segala sesuatu di dekatnya dan Zain menghindari hal itu.
Bisa-bisa dia gila lantaran menahan amarah dengan sikap keras mereka. Terlebih lagi, dengan tindakan keluarga pasien lain yang bicara terlalu keras dan hanya berhenti jika sedang ditegur petugas, setelahnya kembali lagi.
"Harusnya kalian pulang saja, kalau cuma karena umi ... besok juga bisa pulang sendiri."
Selalu, sejak tadi uminya begitu mendukung Nadin untuk pulang. Mungkin terlalu bahagia, bukan karena kepincut menantu kaya, tapi wajah Zain sekilas mirip mendiang suaminya. Wajah tampan khas pria timur tengah, sorot mata tajam dengan postur tubuh gagah yang bisa dia percayai akan menjaga putrinya dengan baik.
Umi Fatimah tidak tahu kebetulan atau apa? Nadin tiba-tiba mendapatkan jodoh yang justru gambaran abinya sewaktu muda. Sama seperti Nadin yang terima dengan sangat baik di keluarga sang suami, Zain juga sebaliknya.
Tidak hanya sekadar diterima biasa, tapi Zain juga seketika mendapat kasih sayangnya. Nadin yang melihat dia diperlakukan dengan begitu lembut terkadang sebal sendiri, terlebih lagi kala mengingat sikap Zain di kelas yang kerap kali tidak manusiawi.
"Besok juga pasti pulang, Umi, biar tidak kerja dua kali ... lagi pula di sini, 'kan bisa tid_"
"Astaghfirullahaladzim, Halwa!!"
Nadin terperanjat kaget kala Umi Fatimah tiba-tiba Istighfar padahal tidak ada hal yang aneh. Nadin pikir uminya marah karena dia salah bicara atau kenapa, tapi ternyata kagetnya wanita itu hanya karena jemuran yang lupa diangkat.
"Umi, kan ada mbak Anis di sebelah, mana mungkin diam saja."
"Anisa pergi ke Lembang ... terus lagi, Umi lupa sepertinya air masih hidup terus ayam dari Bu Rosmana belum diungkep, baru umi cuci, Halwa."
Panjang lebar uminya bicara, dan Nadin hanya menarik napas dalam-dalam. Dia bingung, apa yang sebenarnya diinginkan Umi Fatimah, padahal malam sudah larut, tapi uminya semangat sekali meminta pulang.
"Apa tidak bisa besok saja, Umi?"
"No, harus malam ini," jawab uminya singkat, padat dan berhasil membuat Zain menarik sudut bibirnya tipis.
Entah harus dengan cara apa dia berterima kasih pada sang mertua, tapi dengan uminya yang memaksa pulang dengan segala alasan seperti ini membuat Zain sedikit besar kepala.
Bagaimana tidak? Dia sampai rela mengusir putri semata wayangnya untuk pulang hanya demi bisa menikmati waktu berdua. "Sudah pulang sana, umi tidak nyaman kalau ada orang lain di kamar umi."
Bohong sekali, sengaja cari alasan agar mereka bisa pulang saja sebenarnya. Nadin yang tidak lagi punya alasan untuk melawan uminya terpaksa menurut begitu saja.
Sebelum ada Zain, dia memang sudah terbiasa menghadapi uminya. Selain tidak boleh dibantah, perintahnya juga bersifat mutlak dan tidak bisa ditolak.
Susah payah Nadin ke Yogya demi bisa menjaga uminya, ternyata justru diusir dengan berbagai alasan yang benar-benar tidak bisa diterima akal Nadin.
Suasana malam sudah mulai sepi, lalu lalang kendaraan juga demikian. Dengan taksi online mereka menuju tempat tinggal Nadin, dan sepanjang perjalanan wanita itu terus berpikir keras.
Dia merasa tidak enak pada Zain, merasa bersalah dan khawatir tindakan uminya justru membuat Zain tersinggung, padahal tidak sama sekali.
"Mas."
"Hm?"
Setelah sejak tadi sama-sama diam, kali ini Nadin memulai pembicaraan. Dia merasa memang sangat perlu membahas hal ini, sebelum nanti terjadi kesalahpahaman atau semacamnya. "Maaf ya."
"Maaf untuk?"
"Sikap Umi, kita terpaksa pulang jam segini," tutur Nadin tak enak hati.
Dia tahu Zain mungkin lelah, dan memang sudah seharusnya tidur. Hanya karena Umi Fatimah memaksa pulang, istirahatnya jadi tertunda.
Padahal, jauh dari lubuk hati Zain yang paling dalam dia amat-amat bersyukur mendengar perintah mertuanya. Dia memang tidak memiliki rencana untuk pulang cepat, tapi jika diperintahkan siapa juga yang akan menolak? Terlebih lagi, dia sudah pastikan jika sang mertua telah mendapat pelayanan terbaik dan juga kondisinya tidak sebegitu parah.
Hanya saja, tidak mungkin dia jujur jika hal ini memang maunya. Zain tersenyum hangat, tatapan sang istri bisa dia mengerti apa maknanya. "Tidak masalah, sebenarnya aku tidak suka di rumah sakit."
Zain cari aman, rasanya alasan itu yang paling benar dan tidak akan menimbulkan masalah. "Kenapa begitu, Mas?"
"Bau obat, aku tidak suka."
Nadin mengangguk mengerti, banyak juga yang tidak Zain sukai. Ya, tidak bisa dipungkiri, sejak awal memang dia ketahui bahwa sang suami memang begitu pemilih. Bebek saja dia tidak suka dengan alasan tidak masuk akal, apalagi jika rumah sakit yang memang bau obat.
.
.
Perpaduan menantu dan mertua yang sangat cocok, kebetulan yang menjadi target mereka masih polos jadi ya percaya-percaya saja. Maklum, dari segi usia memang masih muda, jadi logikanya belum sematang Zain, apalagi Umi Fatimah.
Begitu tiba di kediamannya, Nadin kembali menarik napas dalam-dalam begitu melihat tidak ada kejanggalan sebagaimana yang dikatakan uminya. Tidak ada pakaian yang masih menggantung di jemuran, tidak ada pula ayam yang lupa diungkep atau semacamnya.
Semua sudah rapi dan tertata, memang niat uminya meminta pulang bukan untuk melakukan semua itu sebenarnya. "Umi bohong," gerutu Nadin menatap ayam yang bahkan sudah siap makan, hanya perlu dipanaskan saja andai mau.
Bibirnya mengerucut, sementara Zain yang tak kuasa menahan tawa melihat raut sang istri. "Mungkin umi lupa."
"Masa lupanya separah ini? Umi belum pikun, Mas, cuma rada-rada pelupa."
Zain tertawa sumbang, tidak ada kata yang terlontar dari bibir Nadin dan jatuhnya tidak lucu. "Kenapa ketawa?"
"Tidak."
Tidak, tepatnya Zain tidak lagi mampu menahan rasa gemas pada sang istri yang kini menatap tajam ke arahnya. Kemarin-kemarin masih dia tahan, tapi kali ini Zain benar-benar berani menangkup pipi Nadin dengan kedua tangannya.
Lama dia pandangi, Nadin mengerjap pelan dan bingung sang suami hendak melakukan apa padanya. "Umi ngidamnya apa sih sampai gedenya selucu ini," pungkas Zain sebelum kemudian menggigit pipi Nadin hingga sang istri berteriak sekuat tenaga.
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"