Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Semua belanjaannya ia bawa ke dalam bus. Bus ini memiliki posisi kursi, dua kursi yang panjang yang berhadap-hadapan, jadi nyaman jika untuk dinaiki untuk perjalan jauh seperti yang dilakukan Santi dan adik-adiknya saat ini.
Santi dan adik-adiknya duduk di dua kursi yang berhadapan dengan posisi Santi, Sisil, dan lili duduk di satu barisan berhadapan dengan Riski, Ridho, dan Ujang. Bus ini juga di lengkapi dengan tirai/horden yang memungkinkan menjadi pembatas bagi penumpang lainnya.
Santi jadi bersyukur karena memesan bus ini daripada bus kecil, meskipun harganya tiga kali lipat lebih mahal dari bus kecil, tapi ini nyaman, ia dengan adik-adiknya juga bisa duduk barengan tanpa terpisah.
Santi menarik horden, karena ia merasa tidak nyaman orang tua di sampingnya memandangi mereka, barang kali karena orang tua itu melihat mereka semua masih kecil-kecil.
Adik-adiknya pula sibuk memandangi jalanan dari kaca jendela bus yang lebar. Santi sengaja membiarkan Sisil dan Lili duduk dekat jendela kaca agar mata mereka leluasa memandang ke luar, biarlah dia duduk paling pinggir bagian dalam. Toh ia juga masih bisa menatap dari jendela.
“Wahhh itu ada kucing, cantik sekali di gendong majikannya,” teriak Ujang bersemangat.
“Iya,” antusias Ridho.
Itu adalah kucing anggora, yang digendong oleh seorang pria tua. Santi tersenyum. 'Bahkan hewan pun begitu disayang,' batin Santi.
"Oh ya, kalian makan dulu, tadi kita belum sempat makan siang kan," ujar Santi.
Santi mengeluarkan enam bungkus nasi dan enam botol air mineral.
Ini sudah jam 3 menjelang sore. Adek-adeknya makan dengan lahap, terlebih mereka sangat jarang sekali makan ayam goreng.
“Emmm enak,” ucap lili, semuanya tertawa.
Bus baru melaju sekitar dua puluh menit, itu artinya mereka butuh waktu sekitar sebelas jam lewat lagi untuk sampai ke kota Penggangsaan.
“Mbak maafkan Riski ya, tadi Riski udah sempat berprasangka buruk sama mbak, Riski kira mbak seriusan mau nikah sama aki- aki sialan itu,"
"Tidak apa-apa Ki, malah mbak berterima kasih karena tadi Riski dah ngamuk, jadi mbak kan ada alasan untuk pergi ke kebun dengan alasan mau nge bujuk Riski. Sehingga kita bisa kabur seperti sekarang ini."
"Jadi mbak dapat uang sebanyak ini bayar becak, beli tiket, beli makanan sebanyak ini dari mana mbak?" tanya Riski lagi.
Santi pun menceritakan semua.
“Wahhh mbak jenius, Riski bahkan sama sekali tidak kepikiran sampai situ mbak.”
"Wajar jenius kan mbakmu," ujar Santi bercanda.
"Tapi mbak kenapa kita enggak pulang ke kota ibu saja, kan di sana kita bisa minta tolong sama pak RT, dan kita juga bisa jiarah ke makam ibu kapan saja, kenapa harus ke kota Pegangsaan?" tanya Riski lagi.
Santi menghela nafas.
"Jika kita pergi ke kota ibu, nenek dan ayah pasti akan bisa langsung menebak, dan menjemput kita, dan memaksa mbak untuk nikah dengan mbah Jarwo. Sedangkan kalau kita pergi ke Pegangsaan maka tidak akan ada yang bisa menebak kita di mana. Lagi pula kota yang kita tuju sebenarnya bukan Pegangsaan."
"Lalu?" Riski mengernyitkan kening.
“Kita akan pergi ke ibu kota negara ini, kita akan pergi Jakarta,” ujar Santi bersemangat.
“Ngapain mbak?”
“Sudah lah Ki, lihat nanti, pokoknya untuk saat ini kita harus cari aman, jauh dari nenek dan ayah, aku udah enggak sanggup jadi babu mereka, jadi kita harus kabur sejauh mungkin, di mana kita benar-benar tidak akan tersentuh oleh mereka," ucap Santi dan Riski mengangguk.
"Jadi begitu kita sampai ke Pegangsaan kita akan langsung pergi ke Jakarta mbak?"
"Enggak lah Ki, kemungkinan kita sampai ke Pegangsaan besok pagi antara jam 2 atau tiga pagi. Nanti kita menginap dulu satu malam di Pegangsaan, untuk istirahat besoknya baru kita pergi ke Jakarta dengan naik bus."
Riski mengangguk paham akan rencana mbaknya itu
"Kalau ibu masih ada kita enggak bakalan terluntang-lantung begini kan mbak," Riski menjadi sedih.
"Sudahlah, doakan saja ibu tenang di sana, tugas kita melanjutkan hidup dengan sebaik mungkin, tugas kita menjaga adik-adik kita Sisil, Lili, Ridho, dan Ujang," sahut Santi. Riski mengangguk.
Mereka sudah selesai makan, seluruh sampah-sampah bungkus makanan mereka Santi masukkan ke dalam sebuah kantong kresek. Nanti sampah itu akan dibuang oleh Santi jika ada tong sampah, atau bahkan akan mereka bawa sampai kota Pegangsaan.
“Lihat itu, ada burung terbang," teriak Ujang, Ridho, Sisil dan Lili kembali menatap langit yang sudah mulai gelap.
Langit sudah sore, matahari sudah mulai terbenam, burung-burung hendak kembali ke sangkar mereka masing-masing. Hal itu adalah pemandangan sendu bagi Santi. Ia kembali teringat ibunya, jika jam segini biasanya mereka sudah berada di dapur, memasak bersama dan sambil bercerita.
Ia mulai tersenyum miring, mengingat nasib ibunya. Selama hidup ibunya hanya bekerja sebagai tukang arit rumput, makan ubi dan daun ubi rebus, jarang memakai kain bersih dan cantik, dan selalu hidup terhina. Sampai akhir hayatnya.
Ia mulai membenci nenek dan ayahnya, yang terang-terangan menghina ibunya di hadapannya. Ia bertekad bahwa di Jakarta nanti ia akan menjadi orang sukses, adik-adiknya akan ia sekolahkan sampai sarjana, dengan begitu tidak akan ada lagi orang yang isa menghina keluarganya.
Ia pun mulai berkhayal, setelah ia sukses nanti maka ayah dan nenek peotnya itu akan bersimpuh di kakinya.
“Mbak… Mbak…” panggil Riski memecahkan lamunan Santi.
“Iya Ki ada apa?”
"Mbak kenapa melamun, hati-hati loh kesurupan."
"Ah kamu ini, siapa yang melamun orang mbak lagi lihat pemandangan langit sore," ujar Santi.
Bus melewati daerah perkotaan, lampu-lampu mulai menyala, kendaraan banyak berlalu lalang di jalanan.
“Mbak nanti di Jakarta, Riski mau kerja jadi tukang sorong di pasar, agar Riski bisa menghidupi adik-adik,” ujar Riski.
“Mbak nggak ijinkan, selama ada mbak, kalian berlima harus sekolah, bukan jadi tukang Sorong di pasar.”
“Memang mbak mau kerja apa di Jakarta?”
Santi terdiam, ia sendiri belum tau mau kerja apa di Jakarta, yang pasti tekadnya adalah kelima adiknya harus sekolah semua, harus sarjana semua. Tidak ada satu orang pun yang putus sekolah seperti dirinya.
“Lihat nanti,” ucap Santi singkat.
Masing-masing mereka terdiam, tenggelam dalam fikiran masing-masing, sedangkan Sisil, Lili, Ujang, dan Ridho asik melihat pemandangan sekeliling yang mereka lalui.
Kadang lampu jalanan yang mewah menyita perhatian mereka, kadang pula rumah bertingkat membuat mereka takjub.
“Mbak, itu jajanan bisa dimakan?” tanya Ridho, Santi pun langsung mengeluarkan cemilan yang tadi ia beli, dan memberikannya kepada adik-adiknya.
“Kau mau Ki?” Riski ditawarkan paling terakhir.
"Nanti saja mbak, Riski belum lapar,"
Santi menghela napas, "tidak perlu difikirkan Ki, selagi kita bersama-sama, semua bisa kita lalui bersama. Jangan khawatir."
Santi tahu Riski selaku laki-laki tertua di keluarga ini pasti sedang memikirkan bagaimana nasib mereka kedepannya.
"Iya mbak, Riski tidak terlalu pikirkan, Riski mau tidur dulu."
"Ya tidurlah," Santi membiarkan Riski untuk tidur.
Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam, mereka sudah selesai makan malam. Santi pun menyuruh semua adiknya untuk tidur dan menutup gorden jendela.
Santi berganti tempat duduk, sekarang posisinya Santi di tengah dan disebelah kirinya ada Sisil dan di sebelah kanannya ada Lili. Kedua adiknya itu tidur di pangkuan Santi.
Kini ialah pengganti ibu sekaligus ayah bagi mereka. Padahal usianya baru 16 tahun, bahkan KTP pun ia belum punya.