Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Ciuman Tak Terduga
Malam semakin larut di alun-alun kota Banjarnegara, namun suasana masih hidup. Pedagang kaki lima terus menjajakan dagangan mereka, sementara anak-anak muda mengobrol dan tertawa di pinggir taman. Lampu-lampu kota menciptakan nuansa yang syahdu, membuat malam itu terasa istimewa bagi Blokeng dan Lina.
Ketika mereka berjalan berdua, suasana di antara mereka terasa semakin akrab. Blokeng merasa tertarik dengan senyum Lina, dan saat dia menatap mata gadis itu, dorongan untuk lebih dekat tak bisa dia bendung.
“Lina, aku... ada yang mau kubilang,” Blokeng berkata, suaranya sedikit bergetar.
Lina menoleh, matanya menatap langsung ke wajah Blokeng. “Apa?” tanyanya, sedikit penasaran.
Tanpa berpikir panjang, Blokeng memajukan tubuhnya dan mendekat ke wajah Lina. Dalam satu gerakan cepat, dia mencium bibir Lina.
Ciuman itu berlangsung hanya beberapa detik, tetapi terasa seperti abadi. Namun, sesaat setelah itu, Lina merasakan sesuatu yang aneh. Aroma tidak sedap menyeruak ke hidungnya, dan saat dia menyadari bahwa mulut Blokeng berbau jengkol, dia terkejut. Bahkan, dia melihat ada selilit cabai yang nyangkut di gigi Blokeng.
Lina langsung mundur, wajahnya memucat. “Blokeng! Apa yang kamu lakukan?” serunya, masih dalam keadaan terkejut.
Blokeng tersenyum malu-malu, tetapi wajahnya segera memerah saat menyadari reaksi Lina. “Aku... aku nggak tahu, Lina. Aku cuma merasa ini saat yang tepat. Kamu berbeda dari cewek-cewek lain. Dan aku...”
“Berbeda? Kamu serius? Mulut kamu bau jengkol!” Lina tak bisa menahan diri, langsung mengungkapkan pikirannya dengan nada yang penuh jijik. “Dan ada cabai di gigi kamu!”
Blokeng terdiam sejenak, terkejut oleh reaksi Lina. Dia meraba mulutnya dan merasakan adanya sisa cabai yang menempel. “Oh, maaf... aku baru saja makan,” katanya dengan nada canggung, berusaha meredakan suasana.
Lina menggelengkan kepala, meski dalam hatinya dia merasa geli. “Blokeng, kita baru kenal beberapa jam. Kamu nggak bisa begitu saja mencium orang yang baru kamu kenal,” ucapnya, dengan sedikit rasa kesal.
“Maaf, aku nggak bisa tahan. Kamu bikin aku ngerasa nyaman, Lina,” Blokeng mencoba menjelaskan, meskipun dia tahu bahwa ciuman itu tidak akan membuat kesan yang baik.
“Nyaman? Dengan mulut bau jengkol?” Lina menanggapi, berusaha menahan tawanya. “Kamu harus lebih perhatian, Blokeng. Ini bukan cara yang tepat untuk mendekati cewek.”
Blokeng mengangguk, merasa sedikit malu. “Aku paham. Maaf kalau aku bikin kamu jijik. Aku hanya ingin menunjukkan perasaanku.”
Lina melunak melihat ketulusan Blokeng meski dengan cara yang salah. “Baiklah, kita semua pernah melakukan kesalahan. Tapi lain kali, jangan terburu-buru,” kata Lina, mencoba mengubah suasana menjadi lebih positif.
“Janji, aku akan sabar dan berusaha lebih baik,” jawab Blokeng, senyum di wajahnya kembali muncul.
Mereka melanjutkan langkah mereka, dan meskipun ada rasa canggung setelah insiden ciuman itu, Lina merasa sedikit tertarik dengan kepribadian Blokeng yang penuh percaya diri.
Malam itu, di bawah langit Banjarnegara yang bertabur bintang, hubungan mereka baru saja menemukan babak baru. Sesuatu yang tak terduga telah terjadi di antara mereka, dan meskipun ada aroma jengkol dan cabai, mereka berdua tahu bahwa kisah ini masih panjang.
Setelah insiden ciuman yang memalukan, suasana di antara Blokeng dan Lina tetap tegang. Meskipun mereka melanjutkan langkah dengan senyum, Lina tampaknya tidak bisa berhenti mengungkit tentang selilit cabai yang nyangkut di gigi Blokeng.
“Jadi, apa kamu selalu seperti ini? Ciuman sambil membawa aroma jengkol dan cabai?” Lina bertanya, dengan nada bercanda namun ada ketidakpuasan di dalamnya.
Blokeng mengernyit, merasa jengah. “Oke, aku minta maaf soal itu. Aku baru saja makan sebelum kamu datang,” jawabnya, berusaha meredakan situasi.
“Tapi, Blokeng, serius deh! Kamu tahu, itu bukan cara yang baik untuk membuat kesan pertama. Bayangkan kalau kita di depan teman-temanmu, dan kamu menciumku dengan mulut bau jengkol!” Lina berkata, tertawa kecil, tetapi dia masih meremehkan Blokeng.
Dari dalam hatinya, Blokeng merasa semakin kesal. Dia merasa Lina seolah-olah terus mengolok-oloknya tanpa henti. “Dengar, Lina. Aku sudah minta maaf, dan itu bukan masalah besar. Kenapa kamu terus mengulangnya?” Blokeng menanggapi, suaranya mulai meninggi.
Lina terkejut mendengar nada marah di suara Blokeng. “Eh, kamu marah? Ini hanya bercanda, Blokeng. Lagipula, aku cuma mengingatkan,” jawabnya, merasa sedikit defensif.
“Jangan salah paham! Aku cuma nggak suka ketika kamu terus-menerus menyinggung hal yang sudah terjadi,” Blokeng menjawab dengan tegas, meskipun dalam hatinya dia merasa bersalah karena marah. “Seharusnya kamu bisa mengerti. Kita baru kenal, dan aku mencoba berusaha mendekatimu.”
“Kalau kamu tidak suka dengan candaan, kenapa kamu yang mulai dengan ciuman?” Lina balik bertanya, matanya menatap Blokeng penuh tantangan.
Kedua orang itu saling memandang, suasana di antara mereka semakin memanas. Blokeng merasa emosi membakar dirinya. “Karena aku merasa ada ketertarikan, Lina! Tapi, kalau kamu terus mempermalukan aku seperti ini, lebih baik kita berhenti di sini saja!” ujarnya, sedikit marah.
Lina terdiam, terkejut dengan reaksi Blokeng. Dia tidak menyangka bahwa candaan yang dianggapnya sepele bisa menimbulkan reaksi sebesar ini. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya, tetapi dia juga merasa ingin memperjuangkan perasaannya.
“Blokeng, aku tidak bermaksud mempermalukanmu. Aku hanya bercanda. Mungkin kita terlalu terburu-buru?” Lina mencoba menjernihkan suasana, meskipun hatinya sedikit terluka dengan kemarahan Blokeng.
“Jadi, kamu mau berteman saja?” Blokeng bertanya, suaranya sedikit lebih tenang.
“Ya, aku ingin mengenalmu lebih baik. Tapi aku juga butuh kamu untuk mengerti bahwa kadang-kadang cara kita bercanda bisa melukai perasaan orang lain,” jawab Lina, berusaha menjelaskan.
Blokeng mengangguk, meresapi perkataan Lina. Meskipun dia masih merasa kesal, dia tahu ada kebenaran dalam ucapan Lina. “Oke, aku akan berusaha lebih baik. Dan... maafkan aku juga jika aku terlalu cepat,” katanya, menyesal.
Lina tersenyum kecil, merasa lega. “Tidak apa-apa, kita semua membuat kesalahan. Mari kita mulai dari awal lagi, ya?”
Dengan perasaan baru yang lebih baik, mereka melanjutkan perjalanan mereka di malam yang dingin, berharap bahwa kesalahpahaman ini bisa menjadi awal dari sebuah persahabatan yang lebih dalam. Meskipun ada rasa tegang dan marah, mereka tahu bahwa hubungan ini masih memiliki potensi untuk tumbuh.
Setelah insiden ciuman yang penuh kejutan, Blokeng dan Lina melanjutkan langkah mereka. Mereka berjalan sambil mengobrol, suasana di antara mereka perlahan kembali mencair meski masih ada sedikit rasa canggung.
Namun, saat mereka berada di dekat bangku taman, tiba-tiba Lina merasa perutnya bergemuruh. Dia berusaha menahan, tetapi rasa tidak nyaman itu semakin mengganggu. Dalam satu detik yang canggung, Lina keceplosan kentut tepat di depan Blokeng.
“Pfffffttt!” Suara kentutnya terdengar jelas dan seketika membuat suasana menjadi hening.
Lina langsung terbelalak, wajahnya memerah seketika. Dia tidak bisa percaya itu terjadi. “Oh tidak! Maaf! Maaf!” serunya sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, merasa sangat malu.
Blokeng terkejut, tetapi kemudian mendengar aroma yang menyengat. Meski awalnya ingin marah, dia justru tidak bisa menahan tawanya. “Lina, kamu... kentut?” Dia tertawa terbahak-bahak, kesan jijik dari sebelumnya lenyap seketika.
Lina, yang masih menyembunyikan wajahnya, merasa ada yang aneh. “Tolong, jangan tertawa! Ini sangat memalukan!” ujarnya, tetapi suara tawanya Blokeng membuatnya merasa sedikit lebih baik.
“Tapi itu lucu! Kira-kira apa yang kamu makan?” Blokeng mengolok, matanya bersinar dengan keceriaan. “Bisa-bisa kita sewa tukang kebersihan setelah ini.”
Dengan perlahan, Lina mulai merasa lebih santai. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa juga. “Ya ampun, ini bukan cara yang baik untuk mengesankan orang yang baru kamu kenal,” ucapnya sambil tertawa.
“Siapa yang bilang? Sekarang aku tahu kamu sangat alami,” jawab Blokeng, senyumnya tak kunjung pudar. “Cuma kamu yang bisa membuat momen kentut jadi lucu.”
Akhirnya, kedua mereka tertawa bersama, semua kecanggungan sebelumnya seolah menguap begitu saja. Lina merasa bahwa kehadiran Blokeng, dengan semua kekonyolannya, membuatnya lebih nyaman. Meski dia sempat merasa jijik, tetapi interaksi itu justru membuat mereka berdua lebih dekat.
“Lina, mungkin kita memang ditakdirkan untuk saling bertemu dengan cara yang aneh,” kata Blokeng dengan nada menggoda. “Siapa yang tahu? Mungkin kentut ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.”
“Jangan bilang begitu, nanti orang-orang mengira kita jodoh karena kentut!” Lina menanggapi dengan tawa, menggelengkan kepala.
Dengan segala kejadian konyol yang terjadi malam itu, Lina mulai merasakan bahwa meskipun pertemuan mereka dimulai dengan kesan ilfil, ada momen-momen lucu yang mengikat mereka. Mungkin Blokeng tidak sempurna, tetapi dia memiliki daya tarik tersendiri yang membuat Lina merasa ingin mengenalnya lebih dalam.
Malam itu berlanjut, dan di tengah canda tawa, mereka berdua tahu bahwa meskipun awalnya aneh, ada benih-benih perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka.