Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Penari
Pohon beringin tua itu menjulang megah, usianya yang telah mencapai puluhan tahun membuatnya terlihat penuh wibawa, sekaligus menyeramkan. Akar-akar gantungnya menjuntai seperti sulur-sulur mistis, seolah menjebak siapa saja yang mencoba mendekat. Buah beringin yang berserakan di tanah menambah kesan angker, membuat udara sekitar terasa dingin dan berat.
“Ini beringin kembar, Kusuma,” ujar Abdi dengan nada lirih, seolah takut mengganggu sesuatu yang tak kasat mata.
“Iya, Dok,” jawab Kusuma, pandangannya tak lepas dari pohon itu.
“Dengar,” Abdi menunjuk ke arah pohon. “Suara itu datang dari balik beringin kembar ini. Coba kamu dengarkan baik-baik. Kita harus cari tahu sumbernya.”
Dari balik pohon beringin kembar, samar-samar terdengar alunan gamelan yang merayap di udara. Suara itu lembut, tapi mengandung sesuatu yang ganjil, sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri. Namun, tak ada cahaya di sana, hanya kegelapan yang menyelimuti setiap sudut.
“Apa mungkin gamelan dimainkan dalam gelap gulita seperti ini?” pikir Abdi, hatinya dipenuhi keraguan.
“Tunggu, Dok. Jangan ke sana!” Kusuma tiba-tiba menarik lengan Abdi, menghentikan langkahnya.
“Kenapa?” Abdi menatapnya dengan bingung, melihat ketakutan di wajah Kusuma yang mulai pucat.
Kusuma menelan ludah, suaranya bergetar saat ia berbisik, “Itu bukan manusia…”
Abdi terdiam, merasakan sesuatu yang dingin menjalari punggungnya. “Maksudmu… hantu?” tanyanya, mencoba menenangkan diri.
Kusuma menggeleng cepat. “Bukan hantu… tapi bangsa jin,” bisiknya dengan penuh keyakinan, matanya masih terpaku pada kegelapan di balik pohon beringin kembar.
"Sudahlah, di sini tak ada hantu tak ada jin dan sebagainya, kita bisa minta bantuan mereka," ucap Abdi lagi sembari memaksa gadis itu untuk mengikuti langkahnya.
Kusuma tak bisa menolak hingga ia pun menurut ketika Abdi membawanya melewati pohon beringin kembar. Suara gamelan terdengar semakin jelas. Suara itu berjarak hanya sepuluh meter dari tempatnya berdiri.
Cahaya terang mulai terlihat dari balik pohon beringin kembar, suara tabuhan gamelan terdengar jelas hingga ke telinga Kusuma. Gadis itu meneguk ludahnya sendiri, ia ketakutan.
“Gemeter angjay.” Batin Kusuma, , merasakan tubuhnya bergetar hebat.
Terlihat beberapa laki-laki yang mengenakan pakaian adat jawa menabuh gamelan, sedangkan seorang wanita menggunakan pakaian tari tengah menari di antara para penabuh gamelan.
Sejenak Kusuma tertegun melihat pertunjukan yang dimainkan oleh beberapa orang itu. Terlebih, penari yang terlihat gemulai sangat menarik di matanya. Namun, berbeda dengan Kusuma, gadis itu tampak resah dan gusar, ia merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik para penabuh gamelan itu.
"Dok, ayo kita balik aja," ajak Kusuma gusar.
"Iya, tapi kita tanya dan minta bantuan mereka saja dulu," ujar Abdi.
"Tapi, Dok-"
Abdi menarik tangan Kusuma untuk mendekat ke arah para penabuh gamelan. Akan tetapi, para penabuh tetap saja memainkan musiknya, mereka tak menghentikan pertunjukan itu walau tahu ada orang baru yang datang ke arah mereka.
Merasa tak mendapatkan sambutan. Abdi berinisiatif untuk bertanya lebih dulu pada mereka. "Permisi," ucapnya.
Sontak saja, para penabuh dan penari itu berhenti dari kegiatan mereka. Semua pasang mata yang terlihat gelap itu menatap ke arah Abdi dan Kusuma. Tak ada jawaban atau ucapan dari mereka hingga membuat Kusuma menjadi sedikit kebingungan.
"Maaf, saya mengganggu. Saya ingin bertanya, di mana arah jalan keluar dari hutan ini?" tanya Kusuma ragu.
Hening. Tak ada jawaban dari mereka, beberapa lelaki itu hanya menatap tajam ke arah Kusuma, entah apa maksudnya. Namun, tak lama penari itu pun berjalan mendekat ke arah Kusuma dan Abdi.
Manik matanya sayu, wajahnya terlihat pucat dengan bibir merah darah. "Kenapa mau pulang? Di sini saja, bareng sama kita," ucapnya dengan suara lirih.
Seketika, sekujur tubuh Abdi tiba-tiba saja merinding mendengar ucapan dari wanita itu.
"Ka-kami.. mau pulang," ujar Abdi mulai takut melihat gelagat mencurigakan dari wanita itu.
"Di sini saja, main sama kita," ucapnya lagi sembari memegang tangan Abdi.
Dokter itu salah tingkah, bukan karena suka dipegang oleh wanita cantik, melainkan karena tangan wanita itu sangat dingin seperti mayat.
Tangan putih milik wanita yang sedari tadi memegang tangan Abdi tiba-tiba saja berubah menjadi tangan busuk dengan banyak belatung yang bermain di tangannya. Kusuma menoleh dan tentu saja ia kaget.
Aaaarrrggghhh!
Sontak Abdi terkejut dan melepaskan tangannya dari cengkeraman wanita itu.
Begitu juga dengan Kusuma, ia tak bisa berkata-kata karena saat ini ia berhadapan dengan salah satu penghuni hutan dan berada di lain alam lain, tubuhnya terasa kaku hingga ia bingung harus bereaksi bagaimana.
“Ha-ha-ha!” Tawa sang penari.
Wanita itu menyentuh Abdi sekali lagi. Karena menyadari ada keanehan pada tangannya ia segera menoleh, sontak ia terkejut. Tangan tanpa tulang yang dipenuhi oleh belatung adalah tangan milik sosok wanita penghuni hutan.
Wanita itu tertawa melihat Abdi yang ketakutan. Manik matanya seketika berubah menjadi merah menyala, taring tajam keluar dari sudut bibirnya yang bercampur dengan cairan kental berwarna merah darah. Rambut wanita itu memanjang, sedangkan gaun yang ia kenakan tadi berubah menjadi gaun merah panjang menjuntai. Kesan wanita ayu dan manis seketika menghilang dan berubah menjadi sosok wanita hantu yang menyeramkan.
Tawa wanita itu terdengar hingga membuat burung malam yang bertengger beterbangan ke udara. Sementara itu, lelaki yang bertugas menabuh gamelan pun ikut berdiri dan menatap ke arah Abdi, manik mata mereka pun ikut berubah menjadi merah darah.
Hi-hi-hi!
"Aaaarrrggghhh! Hantuu!" teriak Abdi ketakutan.
Dokter itu mencoba berlari sembari menarik tangan Kusuma yang terdiam membisu melihat penampakan hantu dengan energi yang begitu kuat.
"Kusuma! Lari!" teriak Abdi lagi.
"Jangan lari, Dok! Kita coba berinteraksi dulu!" pinta Kusuma.
Mereka pun segera berlari melintasi semak belukar yang kian lebat di sepanjang jalan yang mereka lewati. Mereka berdua berlari tanpa melihat ke arah belakang.
Bruk!
Tubuh Abdi tersandung akar pohon hingga tubuhnya jatuh tersungkur di atas bebatuan kecil di antara semak belukar.
"Aw," rintih dokter itu. Kaki kirinya masih tersangkut di antara akar pohon, darah segar menetes dari luka akibat akar itu.
"Dokter?" tanya Kusuma seraya mendekat ke arah sang dokter.
Napas keduanya masih tersengal-sengal karena berlari tadi. Kusuma menoleh ke arah kaki Abdi. Ia mendekat dan mencoba untuk membebaskan pelan-pelan dari jerat akar pohon mayang yang melukai kakinya.
"Pelan-pelan, Kusuma. Sakit," rintihnya menahan rasa sakit.
"Iya, dok," jawab Kusuma.
Gadis itu mengangkat perlahan kaki Abdi, hingga ia berhasil membebaskan kaki sang dokter, kini terlihat jelas guratan luka yang ada di pergelangan kakinya.
Wussshh!
Angin berembus kencang, hingga membuat pepohonan rindang yang ada di sekitar mereka meliuk-liuk dan membuat dedaunan berguguran. Udara dingin seketika menusuk tulang. Ini adalah tanda bahwa makhluk yang tadi mereka temui ternyata masih mengikuti langkah mereka.
Suara gamelan pun terdengar begitu jelas di telinga mereka yang membuat Kusuma resah.
"Dokter, mereka datang."