"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
"Riko, biar aku saja yang belikan makan siang untuk Pak Ares," kata Aira sambil keluar dari ruangannya.
Riko hanya tersenyum melihat tingkah Aira. Dia kembali masuk ke dalam ruangan bosnya yang sedang merebahkan dirinya di sofa.
"Riko, aku lapar. Cepat belikan makan siang!" kata Antares sambil memejamkan matanya.
"Iya, sebentar lagi makanannya datang. Tidur saja." Kemudian Riko duduk di kursi Antares untuk membereskan berkas-berkas yang berantakan.
"Riko, akhir-akhir ini detak jantungku tidak stabil. Kenapa ya? Apa aku memang sudah tua?" tanya Antares tiba-tiba.
Riko menghentikan gerakan tangannya dan menatap bosnya yang sedang menatap kosong langit-langit. "Tidak stabil? Muncul di saat tertentu atau setiap saat?"
"Di saat tertentu?"
"Misalnya?" Riko menunggu jawaban Antares yang masih terdiam. Dia jelas tahu apa yang dirasakan bosnya itu. "Misal seperti saat bersentuhan dengan ...."
Seketika Antares duduk dan menatap tajam Riko. "Dengan siapa?"
"Pak Ares sudah cukup umur bahkan lebih, memang Pak Ares lupa gimana rasanya jatuh cinta?"
"Dulu aku merasakan indahnya cinta waktu umur belasan tahun lalu patah hati, patah hati, dan patah hati."
Riko tertawa cukup keras mendengar perkataan Antares. "Hati Pak Ares sekarang sudah sembuh dan mulai terbuka. Kejar saja sebelum patah hati lagi. Aira kan?"
Antares menyandarkan punggungnya dan memikirkan perasaannya. Mengungkapkannya? Di umurnya yang sudah tidak muda lagi, dia bingung bagaimana cara mengungkapkan perasaannya.
Beberapa saat kemudian, Aira masuk ke dalam ruangan Antares sambil membawa makan siangnya. "Makan siang untuk Pak Ares." Aira meletakkan dua kotak makanan beserta minuman di atas meja yang berada di depan Antares.
Riko segera berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu meninggalkan sepasang manusia yang sepertinya sudah mulai tumbuh benih-benih cinta.
"Kamu tidak makan di sini?" tanya Antares saat Aira akan keluar dari ruangannya.
"Saya makan di meja saya. Saya bawa bekal," jawab Aira.
"Sini, makan sama aku. Kenapa kamu beli dua porsi? Memang makanku sebanyak ini?" Antares menggeser satu kotak makanan lalu mengetuk meja agar Aira duduk di sampingnya.
"Hmm, kata penjualnya biasanya Pak Ares dua porsi."
Antares tersenyum kecil. "Tidak. Biasanya Riko yang sekalian beli." Dia menatap Aira yang masih berdiri lalu dia menarik pergelangan tangan Aira agar duduk di sebelahnya. "Kamu makan."
Aira akhirnya menganggukkan kepalanya dan duduk di sebelah Antares. Dia mengambil sendok plastik yang ada di dalam kotak makanan itu lalu mulai memakannya.
Sesekali Antares melirik Aira yang hanya diam saja. Dia tahu, pasti Aira sedang memikirkan masalah keluarganya. "Aira, obat kamu belum berkurang kan?"
Aira menggelengkan kepalanya.
"Setiap hari kamu kirim foto Bintang ya. Aku mau lihat perkembangannya, nanti kalau makanan atau kebutuhan lainnya habis, kamu bilang sama aku."
Perkataan Antares hanya dibalas anggukan oleh Aira.
"Hmm, nanti saya akan bilang kalau saya sudah putus sama Pak Ares," kata Aira setelah memikirkannya berulang kali.
"Lalu, kalau mereka masih memaksa kamu menikah sama pria beristri itu, bagaimana?" tanya Antares.
"Saya akan mencari tempat kos. Saya akan keluar dari rumah itu. Saya sudah tidak betah. Meskipun rumah itu hasil jerih payahku selama ini." Aira hanya mengaduk nasi yang ada di depannya karena rasanya dia sulit menelan saat mengingat semua itu.
"Bagus. Keputusan yang tepat. Aku yakin, nanti kamu akan dapat gantinya. Kalau kamu butuh bantuan, bilang saja sama aku. Aku pasti akan bantu kamu."
Mendengar hal itu, Aira menatap Antares. Dia tidak menyangka Antares sangat baik padanya. "Terima kasih. Pak Ares baik sekali. Meskipun kadang menyebalkan."
Antares tersenyum kecil. "Kamu habiskan." Dia mengambil alih sendok Aira karena sedari tadi Aira hanya mengaduk makanannya. Kemudian dia menyuapinya. "Kamu harus makan yang cukup karena hidup ini berat untuk dilalui."
Aira menatap sendok yang ada di depan mulutnya. Ingin dia menolak tapi Antares terus mendorong sendok itu hingga membuatnya mau tidak mau memakannya.
Saat Antares akan menyuapinya lagi, buru-buru Aira mengambil sendok dari tangan Antares. "Iya, saya habiskan. Tidak perlu disuapi lagi."
Kemudian tidak ada pembicaraan di antara mereka saat menghabiskan makanan itu.
"Hmm, apa Pak Ares sangat baik seperti ini pada sekretaris sebelumnya?" tanya Aira.
"Tidak! Sekretaris sebelumnya sudah punya suami. Dia resign karena akan melahirkan. Tidak mungkin aku perlakukan khusus seperti ini." Suara Antares semakin samar di ujung kalimatnya.
"Apa?"
Antares tak menyahutinya. Dia justru berdiri dan kembali duduk di kursinya.
Aira sedikit mengangkat bahunya. Kemudian dia mengemasi bungkus makanan itu dan membawanya keluar untuk dibuang di tempat sampah.
Antares membuang napas panjang. Untuk kesekian kalinya, dia dibuat salah tingkah oleh Aira.
...***...
Sore hari itu, setelah masuk ke dalam rumahnya, Aira melihat adik dan kedua orang tuanya sedang berkumpul di ruang tengah. Dia berjalan mendekati mereka. "Yudha, jangan pernah lagi mengganggunya. Aku sudah putus!"
"Baguslah kalau Kak Aira sadar. Cowok gak punya apa-apa kayak dia memang harus segera diputusin."
Aira semakin emosi mendengar hal itu. "Jaga mulut kamu! Dia gak seperti yang kamu kira. Kalau dia laporkan kamu ke polisi, baru kamu tahu rasa!"
"Aira! Kamu tetap akan menikah dengan Toni karena hutang itu harus segera dibayar," kata Fadil.
Aira mengepalkan kedua tangannya di sisi kakinya. Dia menatap ibunya yang hanya diam saja bahkan tidak membelanya sama sekali. "Sampai kapanpun, aku tidak akan menikah dengan pria breng sek itu. Aku akan pergi dari rumah ini! Segera coret namaku dari KK. Lebih baik aku hidup sendiri daripada hidup di rumah yang seperti neraka ini." Kemudian Aira masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamar itu rapat.
"Kamu tidak mungkin bisa keluar dari rumah ini!"
"Ayah, sudah. Kita cari cara lain untuk membayar hutang itu."
"Tidak bisa. Kalau Aira menikah dengan Toni, bukan hanya hutang yang lunas tapi kita akan mendapatkan kekayaan."
Air mata itu mengalir di pipi Aira. Dia mengusapnya tapi air mata tidak bisa berhenti. Beberapa saat kemudian ada panggilan masuk di ponselnya. Dia membiarkannya tapi ponselnya berbunyi lagi.
"Pak Ares?" Aira menarik napas panjang lalu membuangnya. Dia akhirnya mengangkat panggilan itu.
"Hallo, Pak Ares ada apa?"
Suara serak itu ternyata disadari Antares meskipun hanya lewat panggilan suara. "Kamu kenapa? Menangis?"
Mendengar pertanyaan itu membuat isak tangis Aira kembali muncul.
"Aira, jangan menangis. Bintang dimana?"
Kemudian Aira mencari keberadaan Bintang di kamarnya tapi tidak ada. "Bintang, kamu dimana?" Aira mencarinya di sekitar kamarnya tapi tidak ada. Dia semakin panik.
"Bintang kemana?" Aira keluar dari kamarnya tanpa mematikan ponselnya. "Bintang dimana? Kalian apain Bintang? Kalian jual?" tanya Aira dengan suara yang bergetar penuh emosi.
"Kamu ambil kucing kesayangan kamu di Bang Toni."
"Apa?"
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....