"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benarkah tidak peduli?
Hasil voting sudah keluar. Suara yang didapat Acel dan Dandi berada di angka yang sama. Hal itu menyebabkan terjadinya perdebatan antara para pemegang saham. Acel sendiri tidak bisa melakukan apapun karena fokusnya terbagi dengan Boby yang dikabarkan telah ditemukan namun dalam kondisi kritis.
"Kita lanjutkan dua hari kedepan. Siapa tau ada dari kalian yang berubah pikiran. Namun, meski suara tetap sama, saya tetap lebih unggul karena saya telah memenuhi persyaratan yang tertera dalam surat wasiat. Saya pewaris sah Sky grup bagaimanapun keputusan akhir suara dari kalian semua." Ucap Acel sebelum akhirnya dia meninggalkan ruangan itu diikuti oleh Lui dan sekali lagi, Acel melupakan bahwa dia telah meninggalkan Zea.
Zea hanya bisa menatap punggung Acel dengan menggenggam erat kedua tangannya. Perlahan, satu tangannya menyentuh permukaan perutnya untuk mengingat betapa sakitnya hari itu saat dia harus berjuang mempertahankan bayinya sendirian sementara Acel tidak pernah mencari tau tentang kejadian sebenarnya delapan tahun yang lalu.
"Zea, mau aku antar pulang!" Seru Raka menghampirinya dan Zea pun langsung mengangguk setuju.
Raka pun mengajaknya melangkah beriringan menuju mobilnya. Kepergian Zea bersama Raka ditatapi sinis oleh Amel dan Alia.
"Lihat, Ma. Wanita murahan akan tetap murahan, meski telah dijadikan ratu sekalipun."
"Jaga ucapanmu, Mel. Kita sedang dikeramaian."
"Mama masih juga membela wanita murahan itu?!"
"Hush, jaga bicaramu. Orang orang akan menjadikan Zea sebagai kelemahan Kakakmu. Bertahanlah sampai Sky grup benar benar menjadi milik Kakakmu."
"Ck. Aku sangat membencinya." rutuk Amel pelan.
.
.
.
Acel sudah berada di rumah sakit menemui Boby yang terbaring di ranjang ruang Icu dengan berbagai alat terpasang ditubuhnya. Wajahnya babak belur, bagian tubuhnya dipenuhi luka bakar seperti sundulan api rokok dan punggungnya penuh dengan bekas cambukan.
"Maafkan aku, Bob. Tidak seharusnya aku menyuruhmu menangani bajingan itu..."
Setelah beberapa menit diruangan itu, Acel akhirnya keluar, dia tiba tiba teringat pada Zea.
"Lui, jemput Zea ke perusahaan sekarang!"
"Nona Zea sudah diantar pulang oleh tuan muda Raka."
"Raka?"
"Iya, Tuan muda. Nona Amel mengirimkan foto ini pada saya beberapa saat yang lalu." Lui menunjukkan layar hp nya pada Acel.
"Dimana Mike?" tanyanya kemudian sambil memberikan hp kembali pada Lui.
"Mike sedang mengintrogasi pria yang dicurigai terkait dengan penyekapan Boby, Tuan muda."
"Tetap awasi Boby, aku akan menyusul Mike."
"Izinkan saya mengantar, Tuan mu..."
"Tidak usah, Lui. Aku akan menyetir sendiri. Tetaplah disini menjaga Boby."
"Baik, Tuan muda."
.
.
.
Mobil Raka baru saja berhenti tepat di depan kafe milik Zea. Ya, Zea yang meminta diantar ke kafe, dia tidak ingin pulang ke rumah malam ini.
"Terimakasih Kak Raka." Ucapnya sebelum turun dari mobil.
"Kamu baik baik saja?" tanya Raka yang malah ikut turun dari mobilnya.
"Aku baik."
"Tapi, aku merasa kamu gak baik baik aja. Apa karena Kak Acel meninggalkan kamu begitu saja tadi?"
"..."
"Jangan terlalu diambil hati, Zea. Kak Acel sangat sibuk akhir akhir ini untuk melindungi Sky grup. Ada banyak masalah yang sedang dia hadapi, kamu harus memaklumi sikap dinginnya."
"Terimakasih, kak Raka. Tapi, aku baik baik saja. Permisi."
Dengan cepat Zea masuk ke kafenya meninggalkan Raka yang masih berdiri menatap kearahnya.
"Tidak bisakah aku saja yang menjadi pemilik hatimu, Zea..." gumamnya sebelum meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, Acel sendiri mampir ke rumahnya untuk memastikan sendiri apakah Zea sudah di rumah atau belum. Nyatanya saat dia tiba dirumah, istrinya itu belum pulang sama sekali. Dia pun akhirnya menghubungi Raka.
"Dimana Zea?"
"Aku baru saja mengantarnya ke kafe. Sepertinya dia sangat sedih karena Kak Acel melupakannya begitu saja."
"Aku tidak peduli." ujar Acel kemudian mengakhiri pembicaraan itu.
Mobilnya melaju menuju kafe, begitu sampai disana dia hanya memastikan keberadaan Zea dari luar kafe tanpa ingin masuk untuk menyapa. Setelah merasa Zea baik baik saja, barulah dia melanjutkan perjalanan menemui Mike.
.
.
.
"Siapa yang memberi perintah!" Teriak Acel mengintrogasi seorang pria bertubuh kekar, berkulit hitam dengan tatap mata tajam itu.
"Bunuh saja aku! Sampai mati pun aku tidak akan memberitahu kalian. Cuih..." Meludahkan darah kental dari mulutnya akibat terlalu banyak dipukuli oleh anak anak buah Mike.
"Berhenti menyiksanya, Mike. Kita bukan bajingan seperti mereka yang menyiksa manusia lain demi kepuasan mereka sendiri."
"Baik, Tuan muda."
"Kurung saja dia di kamar. Berikan makan sekali sehari. Kalian harus menjaganya agar tidak lepas."
"Baik, Tuan muda."
"Aku akan mencari tahu sendiri siapa yang berani menyiksa Boby!" tegasnya sambil mengepalkan kedua tangannya.
Setelah memastikan Mike memperlakukan pria itu dengan lebih baik, barulah dia melangkah pergi. Tujuannya tentu saja rumah utama. Begitu mobilnya memasuki perkarangan rumah, dia heran karena mobil Handi masih parkir disana di tengah malam begini.
"Bik, apa pak Handi masih di dalam?" tanya Acel pada bik Maya yang membukakan pintu rumah untuknya.
"Iya, Tuan muda. Pak Handi saat ini berada di ruangan kerja Nyonya."
"Sejak kapan?"
"Saya rasa sekitar dua jam yang lalu, Tuan muda."
Acel melirik jam ditangannya, "Hal penting apa yang membuat Mama memanggil pak Handi tengah malam begini?" pikirnya.
"Nona Zea sudah tidur?" tanyanya lagi.
"Nona Zea tidak pulang, Tuan muda."
"Apa?!"
Raut wajah Acel terlihat sangat menakutkan saat ini. Dia tidak suka mendengar istrinya itu tidak pulang ke rumah. Segera dia menghubungi Lui, meminta Lui menanyakan keberadaan Zea saat ini. Tidak berselang lama Lui mengabarkan bahwa Zea berada di panti asuhan.
"Beraninya dia tidak mengabari aku..."