Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba membuka hati
Pagi itu, Nanda duduk di sudut kafe miliknya yang baru dibuka. Aroma kopi hangat bercampur harum kertas dari rak buku yang tersusun rapi di salah satu sudut ruangan. Meskipun sibuk dengan pengunjung yang mulai berdatangan, matanya sesekali melirik ke arah jendela besar. Di luar, mentari pagi memancar cerah, namun di dalam dirinya, masih ada bayangan kelam dari masa lalu yang terus mengintip.
Setiap langkah yang diambil Nanda setelah perceraian adalah perjuangan. Membuka kafe buku ini adalah bagian dari usahanya untuk bangkit, menjadi dirinya sendiri lagi. Namun, saat ia memandang keluar, pikirannya melayang pada pertanyaan yang selama ini menghantuinya: apakah ia bisa benar-benar merasa bebas dari trauma?
San datang seperti biasa, membawa bunga mawar putih dan senyumnya yang hangat. "Kafe ini mulai ramai ya, Nan," ucapnya sambil menaruh bunga di meja kasir. San selalu ada, tapi Nanda tahu ia belum siap untuk membalas perhatian itu. “Terima kasih, San,” ucapnya pelan sambil menghindari tatapannya.
Saat malam tiba, Nanda menutup kafe lebih awal. Di rumah, ia membuka sebuah buku yang berisi catatan kecil dari masa remajanya. Ada halaman yang tertulis nama San dengan lingkaran hati yang dulu ia buat tanpa berpikir panjang. Kini, ia melihat lingkaran itu dengan senyuman kecil, tapi matanya tetap berkaca-kaca. Trauma masih menghantuinya, tapi ia tahu bahwa perlahan ia harus belajar untuk menerima masa lalunya dan membuka diri untuk masa depan.
Mencoba kembali adalah perjalanan panjang yang Nanda jalani. Dengan dukungan San dan tekadnya yang kuat, ia berharap suatu hari nanti, dirinya bisa benar-benar merasa utuh lagi.
Suatu sore, San muncul di kafe Nanda dengan wajah yang lebih ceria dari biasanya. Ia membawa dua gelas kopi yang baru saja ia pesan, lalu duduk di meja dekat jendela tempat Nanda sedang memeriksa pembukuan kafenya. "Nan," panggilnya lembut, membuat Nanda menoleh. "Aku punya ide. Bagaimana kalau kita coba pergi keluar? Kencan sederhana. Tidak perlu yang mewah, seperti pasangan biasa saja."
Nanda terdiam sejenak, menatap San dengan tatapan ragu. Kata kencan membuatnya sedikit gelisah, mengingat pengalaman pahitnya dulu. Namun, melihat ketulusan di mata San, ia tahu pria itu tidak memaksanya. "Aku… aku nggak tahu, San. Apa aku sudah siap untuk hal seperti itu?" tanyanya pelan.
San tersenyum, berusaha membuat Nanda merasa nyaman. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku tahu kamu masih punya waktu untuk memulihkan diri. Tapi, aku ingin kamu tahu, aku di sini bukan untuk memaksamu. Aku hanya ingin kamu bahagia, dengan caramu sendiri."
Nanda tersentuh mendengar ucapan itu. San benar-benar berbeda, sabar dan penuh pengertian. Setelah beberapa menit berpikir, ia mengangguk kecil. "Baiklah, tapi… jangan terlalu serius ya. Aku belum siap untuk hal besar," jawabnya dengan nada ragu, namun ada sedikit harapan dalam suaranya.
San tersenyum lebar. "Sederhana saja, Nan. Mungkin makan malam di warung bakso favorit kita dulu waktu SMA? Atau jalan-jalan di taman sambil menikmati udara malam?"
Nanda akhirnya tersenyum, meski sedikit gugup. "Baiklah, aku coba." Jawaban itu sederhana, tapi bagi San, itu adalah langkah besar. Ia tahu perjalanan ini tidak mudah bagi Nanda, tapi ia bersedia berjalan bersama, pelan-pelan, menuju hari yang lebih baik.
***
Di sela-sela obrolan ringan di kafe, Nanda menyadari ibunya, Saraswati, datang tanpa pemberitahuan. Seperti biasa, wanita itu masuk dengan gaya anggun namun membawa aura yang selalu menuntut perhatian. Saraswati mengamati sekeliling kafe sebelum akhirnya duduk di kursi berhadapan dengan putrinya. San yang sedang membantu salah satu pelayan, langsung kembali ke meja Nanda dengan senyum sopan.
"San, kamu di sini lagi?" Saraswati berkata dengan nada datar, pandangannya mengarah tajam pada pria itu. Nanda menatap ibunya, merasa canggung dengan suasana yang tiba-tiba berubah dingin.
"Ya, Bu," jawab San santai, "saya sering membantu Nanda kalau ada waktu luang."
Saraswati menyipitkan mata. "Bukannya seharusnya kamu sibuk mengurus pekerjaanmu sendiri? Bukan sibuk di sini, berkeliling tanpa tujuan jelas." Ucapannya penuh sindiran, dan Nanda tahu maksudnya.
"Ibu!" tegur Nanda, merasa malu. "San sudah banyak membantu, tolong jangan berkata seperti itu."
Saraswati mendesah dan menatap putrinya dengan ekspresi kecewa. "Nanda, kamu perlu lelaki yang mapan. Hidup itu tidak bisa hanya dengan cinta atau perhatian saja. Kamu sudah melihat sendiri, betapa sulitnya bertahan tanpa dukungan yang cukup. San mungkin baik, tapi apakah dia bisa memberikan kebahagiaan sepertimu dulu dengan Dimas?"
San, meskipun tersinggung, memilih untuk tetap tenang. "Bu Saraswati, saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi kebahagiaan bukan hanya soal uang atau fasilitas. Saya ingin mendampingi Nanda dengan cara yang bisa membuatnya merasa dihargai dan dihormati, sesuatu yang mungkin dia kurang dapatkan sebelumnya."
Namun, Saraswati hanya mendengus, menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya yakin dengan ucapan San. "Kita lihat saja nanti. Saya hanya ingin memastikan Nanda tidak kembali salah langkah," katanya sambil berdiri. "Aku hanya berharap, kamu berpikir lebih panjang, Nanda."
Setelah Saraswati pergi, suasana menjadi canggung. Nanda menunduk, merasa bersalah karena ibunya begitu kasar terhadap San. "Maaf, San," gumamnya pelan.
San hanya tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Nan. Aku tahu butuh waktu untuk membuktikan diri. Yang penting, aku di sini untuk kamu."
Perkataan itu membuat Nanda terharu. Meski penuh dengan rintangan, ia mulai merasa bahwa San adalah seseorang yang pantas ia beri kesempatan untuk hadir dalam hidupnya.
"Ibu itu egois!" seru Dayu dengan nada tinggi, membuat suasana di kafe mendadak hening. Beberapa pengunjung menoleh, penasaran dengan keributan yang tiba-tiba. Saraswati menatap putri bungsunya dengan wajah kaget dan marah.
"Dayu, kamu ini bicara apa?!" balas Saraswati dengan suara menahan emosi.
Dayu, yang jarang sekali menunjukkan kemarahan, kini berdiri di hadapan ibunya dengan tatapan tegas. "Pokoknya, biarkan Mbak Nanda jalani kehidupannya sendiri, Bu! Bukankah Mbak sudah cukup menderita selama ini? Kenapa Ibu masih ingin mengatur hidupnya lagi?"
Saraswati memandang putrinya dengan tatapan tidak percaya. "Dayu, kamu tidak mengerti. Aku hanya ingin memastikan kehidupan Nanda lebih baik. Setelah apa yang dia alami, aku tidak mau dia salah memilih lagi."
"Tapi, Bu," Dayu memotong, suaranya melembut namun tetap penuh penekanan, "Kebahagiaan itu nggak selalu datang dari uang atau status. Mbak Nanda butuh seseorang yang bisa membuatnya merasa aman dan dihargai. Kalau Mas San bisa memberikan itu, kenapa Ibu nggak mencoba melihat sisi baiknya?"
Nanda, yang sedari tadi diam, merasa air matanya hampir tumpah mendengar pembelaan Dayu. Ia menatap adiknya dengan rasa haru yang mendalam. Dayu memang selalu ada untuknya, bahkan ketika orang lain meragukan pilihannya.
San, yang merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi itu, mencoba menengahi. "Bu Saraswati, saya tahu saya mungkin belum memenuhi semua harapan Ibu. Tapi saya sungguh-sungguh ingin mendukung Nanda untuk bangkit. Saya nggak akan memaksakan apa pun, hanya ingin menjadi bagian dari prosesnya."
Saraswati menghela napas panjang. Ia tidak segera menjawab, tetapi ada keraguan di matanya. "Kita lihat saja nanti," gumamnya akhirnya sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kafe.
Ketika Saraswati pergi, Dayu langsung memeluk Nanda. "Mbak, aku tahu Ibu keras kepala, tapi aku akan selalu di pihak Mbak," ucapnya lembut.
Nanda tersenyum tipis sambil menghapus air matanya. "Terima kasih, Yu. Mbak benar-benar beruntung punya kamu."
San hanya tersenyum kecil, merasa lega bahwa setidaknya ada seseorang di keluarga Nanda yang mau mendukung mereka. Ia berjanji dalam hati untuk membuktikan diri, tidak hanya kepada Saraswati, tetapi juga kepada Nanda yang mulai mempercayainya perlahan.