Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Gemuruh di Balik Pintu
Kabar keputusan Zidan untuk menolak perjodohan dengan Ning Maya menyebar seperti api yang tak bisa dihentikan. Para santri dan pengurus pesantren mulai berbisik-bisik, menciptakan suasana penuh ketegangan. Tidak ada yang berani menanyakannya langsung kepada Zidan, tetapi semua tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi.
Ning Maya, yang biasanya terlihat tenang dan penuh percaya diri, kini tampak lebih sering menyendiri. Wajahnya tidak lagi memancarkan senyum kemenangan, melainkan kesedihan dan kemarahan yang terpendam.
Di kamar tamu keluarga, Ning Maya duduk bersama orang tuanya. Abi dan Ummi Zidan juga hadir, mencoba membahas masalah yang sudah di luar kendali.
"Mohon maaf, Abi, Ummi," Ning Maya memulai dengan suara yang sedikit gemetar. "Tapi Gus Zidan sepertinya telah membuat keputusan yang tidak hanya melukai hati saya, tetapi juga menghancurkan hubungan keluarga kita."
Abi Idris menghela napas panjang. "Kami memahami perasaanmu, Nak. Tapi Zidan sudah dewasa dan kami tidak bisa memaksakan kehendak kami kepadanya."
Orang tua Ning Maya, Pak Kyai Mahfud dan Bu Nyai Siti, saling pandang dengan ekspresi kecewa. "Tapi ini bukan hanya tentang Zidan dan Maya,Kyai Idris," ujar Pak Kyai Mahfud tegas. "Ini tentang janji keluarga kita. Tentang kehormatan dan amanah yang telah disepakati sejak lama."
Abi Idris menatapnya dengan penuh penyesalan. "Kami tidak pernah berniat mengingkari janji itu, Kyai Mahfud. Tapi kita juga harus menerima bahwa hati tidak bisa dipaksakan."
Ning Maya menggigit bibirnya, air mata mengalir di pipinya. "Zidan sudah memilih Zahra, seorang santriwati biasa, dan mengorbankan semua yang telah kita bangun bersama," ujarnya lirih.
Sementara itu, Zahra tidak mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi di luar sana. Ia sibuk dengan tugas-tugasnya sebagai santriwati, tetapi perasaan tidak nyaman terus menghantuinya. Ia merasa seolah berada di tengah badai yang siap menghancurkannya kapan saja.
Ketika Zahra sedang menyapu halaman masjid, salah seorang temannya, Aisyah, menghampirinya.
"Zahra, kamu tahu apa yang sedang terjadi?" tanya Aisyah dengan nada penuh kekhawatiran.
Zahra menghentikan sapuannya. "Apa maksudmu, Aisyah?"
"Semua orang membicarakan kamu dan Gus Zidan," bisik Aisyah. "Katanya dia menolak Ning Maya karena ingin bersamamu."
Mata Zahra melebar. "Apa?"
"Ya," lanjut Aisyah. "Ning Maya sangat marah. Bahkan keluarganya datang untuk membahas masalah ini dengan Abi dan Ummi."
Zahra terdiam, rasa takut mulai merayapi hatinya.
Di ruang keluarga, Zidan berdiri di hadapan Abi Idris dan Ummi. Wajahnya penuh ketegangan, tetapi tekadnya tetap kuat.
"Abi, Ummi," Zidan memulai dengan suara tegas. "Saya tahu keputusan saya membawa banyak masalah. Tapi saya tidak bisa hidup dalam kebohongan."
Abi Idris memandang putranya dengan tatapan tajam. "Zidan, kamu harus memahami bahwa keputusan ini tidak hanya berdampak pada dirimu, tapi juga pada keluarga kita, pesantren, dan para santri."
"Saya tahu, Abi," jawab Zidan. "Tapi saya yakin Zahra adalah orang yang tepat untuk mendampingi saya. Dia memiliki hati yang tulus dan kecerdasan yang bisa membantu saya menjalankan amanah ini."
Ummi yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Tapi bagaimana dengan Ning Maya? Dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita selama bertahun-tahun. Apa kamu tega menghancurkan harapannya?"
Zidan menunduk, merasa bersalah. "Saya tidak pernah bermaksud menyakitinya, Ummi. Tapi saya juga tidak bisa membohongi hati saya."
Malam itu, Zahra menerima panggilan dari Ummi ke ruang tamu. Hatinya berdebar-debar, takut akan apa yang akan terjadi.
Ketika Zahra tiba, ia mendapati Abi Idris, Ummi, dan Zidan sudah menunggunya. Suasana terasa sangat tegang.
"Zahra," mulai Ummi dengan suara lembut, tetapi tegas. "Kami memanggilmu ke sini untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting."
Zahra menunduk hormat. "Ya, Ummi."
Abi Idris menatapnya dengan serius. "Kamu tahu, ada banyak pembicaraan tentang kamu dan Zidan. Dan kami ingin mendengar langsung darimu. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Zahra terdiam, mencoba mengatur napasnya. "Abi, Ummi, saya tidak pernah berniat melibatkan diri dalam masalah ini. Saya hanya santriwati biasa yang ingin belajar dan mendekatkan diri kepada Allah."
Zidan melangkah maju, ingin membela Zahra. "Abi, Ummi, ini bukan salah Zahra. Ini keputusan saya."
Abi Idris mengangkat tangan, meminta Zidan untuk diam. "Kami tahu, Zidan. Tapi kami juga perlu memastikan bahwa Zahra tidak menjadi korban dari situasi ini."
Zahra menatap Abi Idris dengan mata berkaca-kaca. "Kyai, Ummi, saya tidak pernah berharap apa-apa dari Gus Zidan. Jika keberadaan saya di sini hanya membawa masalah, saya bersedia pergi."
"Kamu tidak akan pergi ke mana-mana, Zahra," potong Zidan tegas. "Kamu tidak bersalah dalam hal ini."
Ummi menghela napas panjang. "Zahra, kami percaya kamu tidak berniat buruk. Tapi kamu harus siap menghadapi konsekuensi dari pilihan ini."
Zahra mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi kebingungan dan ketakutan.
Sementara itu, di kamar Ning Maya, suasana benar-benar gelap. Ia duduk di depan jendela, menatap bulan yang bersinar redup di langit malam. Kepalanya dipenuhi berbagai pikiran.
"Kenapa harus Zahra?" gumamnya pelan. "Apa yang dia miliki yang tidak kumiliki?"
Bu Nyai Siti masuk ke dalam kamar, melihat putrinya dalam keadaan terpukul. Ia mendekati Ning Maya, memeluknya erat.
"Anakku, ini bukan akhir dari segalanya," ujar Bu Nyai dengan suara lembut. "Kita masih punya jalan untuk memperbaiki ini."
Ning Maya menggeleng pelan. "Tapi Zidan sudah memilihnya, Ummi. Dia bahkan tidak mau memberi kesempatan padaku."
"Kita tidak akan membiarkan ini berakhir begitu saja," kata Bu Nyai tegas. "Ingat, kamu adalah Ning Maya, putri dari keluarga besar yang terhormat. Tidak ada yang bisa meremehkanmu."
Ning Maya menghapus air matanya, perlahan semangatnya kembali. "Baik, Ummi. Jika mereka ingin bermain, aku juga bisa bermain."
Pada bab ini menjadi titik awal pertempuran besar antara Ning Maya dan Zahra. Pilihan Zidan tidak hanya menguji cintanya, tetapi juga kesetiaannya pada nilai-nilai yang ia junjung tinggi. Di tengah gemuruh yang semakin memuncak, siapakah yang akan bertahan?
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??