Debi menuruni jalan setapak yang menuju rumahnya dengan langkah cepat. Matahari mulai tenggelam, memberi warna keemasan di langit dan menyinari tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang dari Sarolangun. Hawa desa yang sejuk dan tenang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya terasa berat. Liburan semester ini adalah kesempatan pertama baginya untuk pulang, dan meskipun ia merindukan rumah, ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan setiap kali memikirkan Ovil.
Debi sudah cukup lama tinggal di Sarolangun, bersekolah di sana sejak awal tahun ajaran baru. Sekolah di kota jauh berbeda dengan kehidupan di desa yang sudah dikenalnya. Di desa, segalanya terasa lebih sederhana. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan kota, ia merasa bahwa dirinya sudah mulai terbiasa dengan keramaian dan rutinitas yang cepat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Debi Andriansah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keputusan yang tak mudah
Pagi itu, Debi terbangun dengan perasaan berat di dada. Ia tahu bahwa hari ini adalah hari yang penting, hari di mana ia harus membuat keputusan besar yang akan memengaruhi masa depannya dan hubungan dengan orang-orang yang sangat ia sayangi. Setelah pertemuan dengan Fauzan semalam, perasaan campur aduk semakin menggerogoti pikirannya. Ovil, Fauzan, keduanya sama-sama memberikan perasaan yang berbeda, namun sulit untuk dipilih.
Debi memutuskan untuk berjalan-jalan pagi di taman dekat rumahnya untuk menenangkan pikiran. Udara segar yang menyentuh wajahnya sedikit membantu meredakan kegelisahannya. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, bingung memilih arah mana yang harus diambil. Bahkan ia merasa khawatir akan keputusan yang salah.
Sambil berjalan, Debi berusaha mengenang kembali semua kenangan bersama Ovil. Mereka sudah melewati banyak hal bersama, mulai dari kesulitan hingga kebahagiaan yang sederhana. Namun, ia juga tidak bisa menepis kenyataan bahwa Fauzan adalah sahabat yang sangat peduli padanya, seseorang yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya dan mendukungnya tanpa pernah mengharapkan lebih. Debi merasa kesulitan memilih antara keduanya, karena setiap pilihan memiliki kekuatan yang berbeda dalam hatinya.
Saat Debi berhenti di bangku taman, sebuah pesan masuk dari Ovil. Itu hanya beberapa kata singkat, namun bagi Debi, itu seperti seribu kata yang membuat hatinya berdebar.
“Debi, kita harus bicara.”
Pesan itu membuat Debi terdiam. Ia tahu bahwa Ovil juga sudah menyadari adanya perubahan dalam dirinya. Mungkin Ovil sudah merasakan kebingungannya, dan kini saatnya untuk membuka hati dan berbicara jujur. Debi membalas pesan itu dengan singkat.
“Aku akan datang.”
Langkah kaki Debi terasa berat menuju tempat yang sudah mereka tentukan untuk bertemu. Begitu tiba, ia melihat Ovil duduk di bangku taman, menunggu dengan tatapan yang penuh makna. Debi menarik napas dalam-dalam sebelum mendekati Ovil, merasa gugup meskipun sudah mengenal Ovil begitu lama.
Ovil tersenyum tipis ketika Debi duduk di sampingnya. “Debi, aku nggak mau kita terus begini. Aku tahu ada yang berbeda, dan aku nggak mau kamu merasa tertekan. Aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku di sini untukmu. Kalau ada sesuatu yang kamu rasakan, kamu bisa cerita, kita bisa bicarakan bersama.”
Debi menatap Ovil, merasa hatinya mulai tenang sedikit. Kata-kata Ovil selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Namun, perasaan ragu masih menghantuinya. Ia sudah memutuskan untuk berterus terang, dan sekarang saatnya untuk mengatakan apa yang ada di hati.
“Ovil, aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa bingung antara kamu dan Fauzan,” ujar Debi dengan suara pelan.
Ovil memandangnya dengan serius. “Fauzan? Jadi, kamu juga merasakannya? Aku sudah curiga kalau ada yang berubah, tapi aku nggak tahu apa yang terjadi. Kamu nggak perlu bingung, Debi. Aku tahu kita sudah banyak melalui bersama, tapi kalau kamu merasa ada perasaan lain, aku nggak akan memaksa. Yang terpenting adalah kamu bahagia.”
Debi merasa terharu mendengar kata-kata Ovil. Ia tahu bahwa Ovil bukan tipe orang yang akan memaksanya, dan ia sangat menghargai itu. Namun, hati Debi masih ragu. Ia tahu bahwa memilih Ovil berarti melepaskan Fauzan, sahabat yang sudah lama ia kenal dan sayangi.
“Aku nggak tahu, Ovil. Fauzan itu sahabat aku. Aku nggak mau kehilangan dia. Tapi aku juga nggak bisa menutupi perasaan yang aku punya untuk kamu. Aku bingung harus bagaimana,” kata Debi, merasa ada air mata yang hampir menetes.
Ovil menghela napas panjang, kemudian meraih tangan Debi dengan lembut. “Debi, kamu nggak perlu takut. Aku tahu ini nggak mudah. Tapi kalau kamu benar-benar merasa seperti itu, aku nggak akan menahanmu. Aku ingin kamu bahagia, dan aku ingin kita bisa menghadapinya bersama. Kalau kamu merasa perlu waktu, aku akan menunggu.”
Debi terdiam, hatinya berdebar. Kata-kata Ovil membuatnya merasa dihargai dan dicintai. Namun, keputusan ini bukanlah keputusan yang bisa dibuat dengan mudah. Ia harus mendengarkan hatinya dan memilih dengan bijaksana.
“Aku akan coba berbicara dengan Fauzan, Ovil. Aku ingin memberinya penjelasan. Aku nggak ingin dia merasa disia-siakan, karena dia juga teman yang baik,” kata Debi akhirnya, matanya terlihat tegas.
Ovil tersenyum, meskipun sedikit sedih. “Aku ngerti, Debi. Yang penting kamu jujur dengan dirimu sendiri. Aku akan selalu ada untukmu, apapun keputusanmu nanti.”
Setelah percakapan itu, Debi merasa sedikit lebih lega. Mungkin ini saatnya untuk menghadapi kenyataan dan mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan kepada Fauzan. Namun, ia juga tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Semua pilihan ini akan mengubah hidupnya, dan ia harus siap dengan segala kemungkinan yang datang.
Sesampainya di rumah, Debi mempersiapkan diri untuk berbicara dengan Fauzan. Ia tahu ini akan menjadi percakapan yang berat, tetapi ia tidak bisa terus menghindari kenyataan. Ia harus jujur pada dirinya sendiri dan kepada Fauzan.
Sambil menatap cermin di kamar, Debi mengingat kembali kata-kata Ovil dan perasaannya terhadap Fauzan. Semua perasaan itu berputar dalam pikirannya, tapi satu hal yang pasti: keputusan ini adalah langkah besar dalam hidupnya. Apakah ia akan memilih Ovil, yang sudah lama ada di hidupnya, atau memberi kesempatan pada Fauzan, sahabat yang kini menawarkan lebih dari sekadar persahabatan?
Dengan tekad yang bulat, Debi mengirim pesan kepada Fauzan, meminta waktu untuk berbicara.
"Fauzan, kita perlu bicara. Aku akan datang."
Sekarang, tidak ada lagi jalan untuk mundur. Bab selanjutnya adalah langkah penting dalam perjalanan cinta Debi, dan ia harus siap untuk menghadapinya.
---
Bab ini berfokus pada percakapan penting antara Debi dan Ovil, serta langkah Debi untuk menghadapi perasaannya dan berbicara dengan Fauzan. Keputusan yang harus dibuat oleh Debi semakin mendalam dan semakin rumit.