Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Masitha menyambut kepulangan Rangga dari rumah sakit jiwa, dengan meriah.
Ia menyuguhkan berbagai menu masakan menggugah selera dan semuanya kesukaan Rangga.
"Tak usah terlalu heboh, Bu! Bang Rangga baru satu hari di rumah sakit, serasa bertahun tahun ditinggal anak!", protes Naomi sengit.
Ia tak suka ibunya bersikap berlebihan pada abangnya, pada hal sumber dari segala masalah itu adalah karena kelakuan bejat abangnya itu.
Kadang Naomi tidak mengerti dengan pola asuh kedua orang tuanya, memang ibunya jika marah, suaranya keras kemana mana. Kata katanya juga sangat tajam menusuk hati, meluluh lantakan mental orang yang dimarahinya.
Namun setelah itu, akan ada drama bujuk rayu semanis madu dan berbagai hadiah untuk menebus luka hati anaknya yang kena amuk olehnya.
Begitu terus bertahun tahun, sehingga Rangga atau Naomi sudah kebal dengan amukan ibunya, toh nanti jika sudah baikan akan diberi apa pun yang mereka minta.
Sialnya Rangga justru memanfaatkan sikap ibunya yang demikian itu, sehingga anak itu todak pernah bisa bersikap dewasa pada hal umurnya juga sudah bukan remaja lagi.
" Naomi, tidak boleh begitu pada abangmu! Ingat tidak, abangmu tadi diperlakukan seperti orang gila?
Di rumah sakit juga, kakinya dipasung, kasihan sekali!", ucap Masitha dengan air muka sendu.
"Pretlah! Bagaimana tidak dibikin mirip orang gila? Lah kelakuan abang saja sudah seperti orang tidak waras!
Apa ibu tidak ingat, dia hampir saja membunuhku?. Gantian Naomi yang menyerang ibunya dengan raut wajah keruh.
" Dia begitukan karena 'anunya' sudah cacat!", kata Masitha memberi pembelaan pada anak sulungnya.
"Dia cacatkan karena otaknya selalu mesum bu! Ibu jangan lupakan itu!"
Kali ini Naomi memekik di dekat telinga ibunya. Ia tidak terima karena ibunya bersikap plin plan tidak jelas.
Mata Masitha melotot memandang anak gadisnya itu, ia marah karena Naomi membantah terus ucapannya.
Sebenarnya ia sadar, apa yang dikatakan oleh Naomi itu benar, namun egonya sebagai ibu, menolaknya.
"Sudahlah, tidak usah dibahas lagi! Kami hendak menjemput Rangga, kau mau ikut?", tanya Masitha.
" Ogah!"
Setelah mengatakan itu, Naomi masuk ke kamarnya meninggalkan ibunya.
Masitha cuma mengkedikan kedua bahunya lalu menggelengkan kepalanya melihat kelakuan putrinya itu.
Kemudian ia dan suaminya menuju ke rumah sakit hanya berdua, tanpa Naomi di antaranya.
"Bu, jika Rangga pulang nanti, bagaimana jika dia kita titipkan ke ustad Harun? Agar Rangga bisa mendapatkan pendidikan agama yang lebih baik?", tanya Indra sambil menyetir dan tanpa menoleh pada istrinya yang duduk di sebelah kirinya.
" Kita lihat saja nanti, soalnya kuliahnya juga belum selesai, tinggal ujian akhir saja. Kita tinggu saja apa maunya anak itu!
Lama lama aku bisa gila beneran menghadapi anak itu! Kelakuan siapa sih sebenarnya yang diturunkan kepadanya?", keluh Masitha.
"Tidak ada kelakuan diwariskan bu! Memang Rangganya saja yang tidak benar, pada hal kita sudah mendidiknya dengsn baik.
Atau jangan jangan ini teguran Allah karena kita dulu pernah membungakan uang yang kita pinjamkan ya bu?", ucap Indra pelan.
Dulu, masa masa mereka susah, dengan modal cuma lima juta rupiah, mereka berbisnis riba, meminjamkan uang pada seseorang dengan bunga dia puluh persen selama empat puluh hari pengembalian.
Hanya beberapa tahun mereka untung besar. Mereka berhenti karena dengan keuntungan menjadi rentenir, Indra bisa mendirikan banyak usaha yang terlihat halal.
Bisnisnya memang halal, namun modal awalnya yang tidak halal.
" Tidak usah sok tahu Ayah! Tidak ada hubungannya itu! Lagi pula kita sudah berhenti jadi rentenir, mengapa disangkut pautkan?", kata Masitha keras kepala.
Dia benar benar menolak pendapat suaminya, menurutnya aneh saja, pekerjaannya disangkut pautkan dengan nasib miris yang menimpa anaknya.
Bahkan dia berpikir, jika watak Rangga diturunkan oleh bapak mertuanya, benar benar pikiran yang ajaib.
"Jadi apa keputusan ibu untuk Rangga?", tanya Indra penasaran.
" Biarkan semua berjalan sebagai mana mestinya, Rangga tetap menyelesaikan kuliahnya, lalu bekerja dan kita cari gadis itu!
Lamar! Nikahkan mereka!", ucap Masitha sesuka hatinya.
"Hah..!", tanya Indra kaget
Ciiittt...
Indra menginjak pedal rem tiba tiba saking takjubnya dengan omongan istrinya yang tidak masuk akal.
Mobil berhenti, Indra menoleh ke arah istrinya.
" Kau waras bu? Apa kau pikir gafis itu mau?", tanya Indra bingung.
"Tentu saja waras! Gadis itu harus mau! Karena siapa juga perempuan yang mau jadi istri anakmu dengan senjatanya yang tidak berguna itu?", pekik Masitha, dengan rasa ngilu di dadanya.
Anak laki laki kebanggaannya sudah cacat, siapa juga perempuan yang mau jadi istrinya jika seumur pernikahan mereka tidak akan pernah mendapatkan nafkah batin dari suaminya.
" Astaga, ngucap bu! Omongan mu kok ngelantur kemana mana!?"
Indra memarahi istrinya, lalu ia menggelengkan kepalanya. Ia injak pedal gas dan melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit, menjemput anaknya.
Tiba di rumah sakit, mereka tidak menemukan Rangga, ternyata Rangga baru diajak jalan jalan oleh seorang perawat pria yang bernama Satria.
Berbasa basi sejenak, ketiganya kemudian meninggalkan rumah sakit itu dengan perasaan lega.
"Wah, ibu masak.banyak sekali!", seru Rangga bahagia.
Ibunya masih mencintainya dan masih mengharapkan kehadirannya di rumah itu.
" Makanlah sepuasmu, setelah itu istirahatlah di kamarmu! Dan merenung lah, lalu tanyakan pada hatimu, mengapa Tuhan memberi ujian seperti ini padamu!"
Ucapan yang baru saja keluar dari mulut Masitha, sontak membuat nafsu makan Rangga rontok tak bersisa.
Wajahnya murung, lalu dengan langkah lesu ia meninggalkan meja makan dan menuju ke kamarnya.
Melihat hal itu, Indra mencebikkan bibirnya, mengangkat kedua bahunya, lalu dengan cuek ia menikmati masakan yang telah susah payah dibuat oleh istrinya tadi.
Ia mengetik sesuatu d ponselnya, mengirim pesan pada Naomi dan mengajak putrinya itu untuk makan.
"Asyik Yah, makan enak!", ucap Naomi tanpa beban.
Gadis cantik itu langsung menyendoki apa pun yang terhidang di atas meja, memenuhi piringnya.
" Ayah, mana ibu dan abang?", tanya Naomi dengan mulut penuh, sehingga beberapa butir nasi muncrat dari mulutnya.
"Telan dulu nasimu! Jorok tahu!", bentak Indra, marah karena melihat kelakuan anak gadisnya yang kurang pantas itu.
Naomi tertawa kecil, ia mengikuti perintah ayahnya. Setelah makanan tertelan dia minum sedikit air.
" Abang dan ibu kok tidak makan,Yah?", tanya Naomi kembali.
Indra tertawa, lalu menceritakan kejadian barusan pada Naomi.
"Ibu dan anak sama sama error!", ejek Naomi.
Sering ia suka bingung dengan tingkah ajaib ibu dan abangnya. Mereka sebenarnya saling menyayangi, tapi anehnya jika bertemu suka sekali ribut.
Ibunya suka sekali menyerang abangnya dan karena Rangga tak berani melawan, ia paling paling merajuk sambil ngomel ngomel di belakang punggung ibunya.
Plak..!
" Aduh!", jerit Naomi sambil memegangi kepalanya yang dipukul ibunya.
"Sakit bu! Kebiasaan ibu ini!", keluh Naomi sambil misuh misuh.
" Makanya jangan sembarangan kalau ngomong! Pakai ngatain ibu error lagi!", bentak Masitha tidak mau kalah.
"Habis ibu tadi heboh sekali memasak untuk menyambut abang! Giliran abang pulang dan.mau.makan, ibu marah marah tak jelas, lah tentu saja abang malas untuk memakan semua masakan ibu", ucap Naomi bingung.
" Sudahlah tidak usah memperpanjangkan masalah! Situasi yang kita hadapi ini sekarang sedang tidak baik baik saja.
Makanya kita sama sama berlapang hati menghadapinya. Perbesar rasa sabar bukan omongan bar bar!
Naomi, panggil abangmu, biar kita makan sama sama!", ucap Indra pada putrinya.
"Aku? Memanggil abang?", seru Naomi dengan wajah pias.
Tidak terbayang olehnya, bagaimana jika abangnya menyerang lagi seperti kemarin?