Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Ide Gila Widuri
Karin menghela napas berat, mencoba terlihat ikhlas dan kuat. "Udah Bu, jangan pikirkan Mas Cakra lagi. Karin udah ikhlas kok. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan ibu."
"Maafin Ibu ya Rin, seandainya Ibu ini bukan janda miskin mungkin Bu Puan dan Cakra takan memperlakukan kamu seperti ini," isak ibu Puspa kembali.
"Ibuuuu," lirih Karin.
Karin merasa sedih, dan merasa bersalah melihat ibunya seperti itu. Dia pun menggenggam erat jemari yang sudah renta itu. "Ibu jangan bicara seperti itu. Ini bukan salah Ibu, Mas Cakra memang buaya. Dia enggak pantas mendapatkan cinta Karin yang tulus Bu."
Ibu Puspa menyeka air matanya lalu mencoba tersenyum. "Ah, kamu benar. Kamu terlalu baik untuk laki-laki seperti Cakra. Ibu doakan kamu dapat jodoh yang lebih baik, Nak."
Karin mengaminkan doa itu, walau saat ini dia belum berpikiran untuk mencari kekasih baru. Lima tahun dirinya merajut kasih dengan Cakra, dan pada akhirnya ternyata dia dikhianati. Itu membuat Karin ragu dengan semua laki-laki yang ada di dunia ini.
"Oh, iya Rin kita pulang aja ya. Ibu sudah baikan kok. Ibu enggak mau menginap di rumah sakit," ujar Ibu Puspa.
Ibu Puspa berusaha bangun dari ranjangnya, tapi Karin langsung menahannya. "Bu, kata dokter ibu harus dipantau dulu. Dokter takut tekanan darah ibu naik lagi, dan takutnya nanti terjadi hal yang tidak-tidak."
"Tapi biaya rumah sakit kan mahal. Ini juga kamu kok pilih kamar kelas 1, kenapa bukan kelas 3?" tanya Ibu Puspa heran.
"Ah, yang pilih bukan Karin, tapi ...." Karin ragu untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Siapa?" tanya Ibu Puspa penasaran.
"Mas Tara," jawab Karin sambil menunduk.
"Mas Tara siapa? Perasaan ibu kamu enggak punya kenalan laki-laki selain Cakra."
"Iya dia kenalan baru Karin. Dia yang bantu Karin bawa ibu ke rumah sakit ... dan entah kenapa dia juga bayarin semua biaya rawat ibu," jawab Karin.
Ibu Puspa mengangguk, tapi tampaknya banyak hal yang ingin dia tanyakan pada Karin. Tapi semua urung karena tiba-tiba pintu ruang rawat terbuka , dan terlihat sosok Widuri berlari masuk dengan raut wajah sembab dan khawatir.
"Ibuuuuu ...." teriak Widuri.
Widuri menghambur memeluk Ibu Puspa. "Ibu enggak apa-apa kan? Tadi kata Mbak Karin, ibu pingsan?"
Ibu Puspa tersenyum lemah. "Ibu baik-baik saja, Wi. Jangan khawatir."
Widuri memperhatikan setiap inci tubuh ibunya, lalu menatap Karin dengan mata berkaca-kaca. "Mbak, apa yang terjadi? Kok Ibu bisa pingsan?"
Karin terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Dia belum siap menceritakan semuanya kepada Widuri. Karin takut adiknya akan sedih, dan kecewa sama seperti yang dirasakan oleh ibunya.
"Ibu cuma syok sedikit Wi, jadi ibu pingsan," jawab ibu Puspa angkat suara.
Widuri mengernyitkan keningnya. "Syok kenapa Bu?"
"Mbak-mu ...."
"Bu sekarang waktunya minum obat kan? Minum obat dulu ya," potong Karin cepat.
Karin mendekati Ibu Puspa, dan mencegah Ibu Puspa menceritakan yang sebenarnya kepada Widuri.
"Bu ingat kata dokter, ibu enggak boleh banyak pikiran dulu," ucap Karin.
Karin mengambilkan obat, dan air dengan tergesa, dan dia menyadari Widuri menatap ke arahnya dengan penuh curiga.
"Ayo Bu, minum obat dulu."
Ibu Puspa menahan tangan Karin, lalu berbisik, "Kita harus kasih tau Widuri, Rin."
Karin balas berbisik, "Tapi enggak sekarang Bu. Ibu harus pikirin kondisi Ibu."
Widuri menatap Ibu dan Karin. "Mbak sama ibu kenapa bisik-bisik? Sebenarnya kalian nyembunyiin apa dari aku?"
"Enggak Wi, kita enggak--" Karin berusaha mencari alasan, tapi ....
"Mbak-mu batal menikah sama Cakra. Laki-laki itu sudah mengkhianati mbakmu." Ibu Puspa memotong ucapan Karin, dan akhirnya dia mengatakan yang sebenarnya kepada Widuri.
"Apa? Batal menikah?" Gadis itu spontan berteriak.
Widuri lalu terdiam sejenak. Dia menatap Karin, mukanya tampak gelisah, dan Karin paham apa yang ditakutkan oleh Widuri saat ini.
"Jadi ibu minta kamu sama Bagas lebih bersabar lagi. Apalagi kalian masih muda," pinta ibu Puspa.
"Bu, udah jangan bahas itu dulu." Karin mencoba menghentikan ibu Puspa untuk membahas hal itu. Karena dia tahu itu hal yang sensitif bagi Widuri.
Widuri menarik nafasnya dengan keras dan mengepalkan tangannya. "Bersabar? Ibu bilang aku harus bersabar? Aku harus menunggu berapa tahun lagi untuk bisa menikah?"
"Kenapa ibu enggak mengijinkan aku menikah lebih dulu sih?" teriak Widuri.
"Itu pamali Wi! Kalau kamu melangkahi Karin, dia nanti susah menikah Wi!" jawab Ibu Puspa balas berteriak.
"Ibu, Widu ... udah jangan dulu masalahin hal ini." Karin mencoba menengahi keduanya, dan menenangkan keduanya.
"Pamali! Pamali! Ibu itu cuma mikirin Mbak Karin! Ibu enggak pernah mikirin perasaan aku!" protes Widuri.
"Aku ini juga anak ibu. Sekali-kali tolong pikirin perasaanku Bu. Jangan pilih kasih terus!" Widuri terus berteriak meluapkan isi hatinya.
"Apa pilih kasih?" tanya Ibu Puspa.
Mata ibu Puspa berkaca-kaca. Dia merasa tak terima dengan ucapan Widuri.
Seperti dugaan Karin perdebatan itu kembali mempengaruhi kondisi Ibu Puspa. Ibu Puspa mengerang kesakitan lagi sambil memegang kepalanya. "Aaaww ... kepalaku, aduh kepalaku."
"Tuh kan Karin bilang apa. Ibu harus tenang, ayo sekarang minum obat dulu Bu." Karin segera memberi obat pada ibunya.
Ibu Puspa mengangguk, lalu meminum obatnya, dan berbaring kembali. Karin lantas segera menarik Widuri keluar dari ruangan rawat, dan membawanya ke tempat sepi.
"Lepas Mbak!" teriak Widuri seraya menghempaskan tangan Karin.
Karin menatap gadis di hadapannya, sambil menahan emosi yang bergemuruh dalam dada. "Apa pernikahan kamu sama Bagas lebih penting dari nyawa Ibu? Bisa-bisanya kamu berdebat di saat ibu sakit?"
"Lah, aku berdebat kan karena Mbak, karena pernikahan Mbak yang gagal, aku jadi harus menunda lagi keinginanku sama Mas Bagas!" jawab Widuri kesal.
"Kamu enggak usah menundanya, Wi. Mbak enggak keberatan kok kalau kamu mau menikah duluan. Mbak restui kamu," ucap Karin.
Widuri terkekeh, matanya berkaca-kaca penuh kekesalan. "Mbak memang enggak keberatan, tapi ibu dengan pemikiran kolotnya enggak pernah mengijinkan aku melangkahi Mbak."
"Aku harus menunggu berapa tahun lagi Mbak?" tanyanya.
Karin hanya bisa diam saat Widuri bertanya seperti itu. Karin pun tak tahu pasti kapan dia bisa menikah. "Membangun hubungan lagi entah apa aku bisa?" batinnya.
"Enggak bisa jawab kan Mbak?" teriak Widuri kesal. "Harusnya tuh Mbak mundur sedari awal pas tahu Ibunya Mas Cakra enggak setuju! Kenapa Mbak bodoh dan mengikuti semua syarat mereka!" tambahnya.
Karin menahan air matanya yang mendesak untuk menetes. Dia juga tak ingin jadi penghalang kebahagiaan adiknya.
"Kamu tenang ya Wi, Mbak akan coba bujuk Ibu untuk mengijinkan kamu menikah terlebih dahulu," ucap Karin berjanji.
Namun, sepertinya Widuri terlalu kecewa. Dia menggeleng tak mau mendengarkan. "Enggak mungkin Mbak bisa membujuk ibu yang keras kepala ... kecuali aku hamil duluan mungkin, baru ibu setuju."
"Widuri jangan berpikir gila kamu!" Karin berteriak marah saat mendengar pemikiran Widuri yang gila.
Widuri tertawa, tawa penuh luka itu begitu terasa menyayat hati Karin. "Iya benar, mungkin cuma itu satu-satunya jalan keluar agar ibu setuju! Aku harus hamil duluan."
"Atau mungkin aku kawin lari saja sama Mas Bagas. Toh yang dipikiran ibu tuh cuma Mbak Karin. Ibu pasti enggak akan peduli kalau aku enggak ada!" tambahnya dengan ide yang lebih gila.
"Wi! Jangan bodoh kamu! Jangan berpikiran seperti itu!" Karin mendekat sambil mengguncang tangan Widuri.
Karin berharap adiknya sadar dari pemikiran yang salah itu. Namun, Widuri malah mendorong Karin menjauh. Dia begitu keras kepala sama seperti ibu Puspa.
"Jangan coba hentikan aku Mbak. Tekadku sudah bulat! Apapun akan kulakukan demi bisa hidup berdua dengan Mas Bagas."
Widuri memundurkan langkahnya perlahan lalu melambaikan tangannya. "Selamat tinggal Mbak ... selamat menjadi anak satu-satunya Ibu,"
"Wi! Widuri, kamu mau kemana?" teriak Karin memanggilnya. "Tolong jangan lakukan hal yang bodoh, Wi!"
"Sadarlah Widuri!"