“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
“Mak, mengapa ada dua dompet?” tanya Amala, matanya menyipit dan keningnya mengernyit. Barusan sang ibu memberikan dua dompet berwarna hitam dengan logo gambar cincin.
“Bukalah! Satu untukmu, yang lainnya berikan kepada Nirma.”
“Untuk Mala?” begitu melihat sang ibu mengangguk, Amala langsung membuka resleting dompet.
Ada gelang rantai dan kalung, sesuai dengan pesanannya yang kemarin. Lantas Amala membuka satunya lagi, pupil matanya membesar kala mendapati seutas gelang rantai polos dengan bentuk seperti buah merica, dan cincin indah bermata satu.
“Ini untuk Amala, Mak?” tanyanya tidak percaya.
Mak Syam tersenyum haru kala melihat binar cantik di wajah anak sulungnya. Selama ini Amala tidak pernah memakai emas, anting pun dia tak punya. Setiap ditawari mau beli emas, selalu menjawab tidak suka memakai perhiasan. Padahal aslinya Amala menyukai benda berwarna kuning keemasan itu.
Namun, Amala sadar diri kalau keuangan mereka tidak mencukupi. Apalagi harus ekstra hemat agar pendidikan Nirma tidak terhambat biaya.
“Masya Allah, cantik sekali. Cocok dengan warna kulit Amala.” Mak Syam menautkan pengait gelang rantai di lengan Amala, dia juga memasangkan cincin bertahtakan batu permata.
Bola mata Amala kian berkaca-kaca, ini kali pertama dia memakai benda berharga. Cincin pertunangannya kemarin dengan Yasir tidak pernah dicobanya. Dia enggan mengenakannya merasa belum tentu cincin itu menjadi hak miliknya, dan ternyata feelingnya benar.
“Terima kasih, Mak. Tapi, uang dari mana untuk membeli ini?”
“Ya dari hasil jual Kambing kemarin.”
“Mamak tidak bohong 'kan? Masa dua ekor Kambing yang kita jual, cukup untuk membeli semua emas ini?” tanyanya sulit percaya. Sekarang bukanlah lebaran haji, harga jual Kambing pasti tidaklah begitu mahal.
“Tidak ada gunanya berbohong, Mala. Kalau kau tidak percaya, tanya saja kepada Wahyuni. Begitu Nak Agam memberikan uangnya, langsung Mamak kasihkan semuanya ke sahabatmu itu,” jelas Mak Syam.
“Alhamdulillah. Mala tak menyangka, ternyata harga jual Kambing saat ini masih begitu mahal,” Amala tersenyum penuh rasa bersyukur begitu juga dengan Mak Syam.
Amala mendekap hangat ibunya, diusapnya lembut punggung wanita kesayangannya ini. “Mak, apapun yang terjadi nanti di sana, tolong jangan dimasukkan ke hati ya …?”
“Kau tenang saja, Nak. Insya Allah, Mamak kuat menghadapi semua ini. Anggap saja kita ke sana mewakili bapakmu. Semasa dia hidup selalu berkata ingin sekali mendampingi putri-putrinya bersanding di pelaminan,” lirih Mak Syam, sudut matanya basah. Dia sudah menebalkan telinga dan menguatkan hatinya untuk datang.
“Aku jadi ikutan nangis loo ini,” Dhien berseloroh, dia sedari tadi berdiri di ambang pintu.
“Kau ini, memang paling suka menguping,” gerutu Amala bercanda.
“Bukan menguping ya, cuma tidak sengaja mendengar,” kilah Dhien, dia menghampiri Amala dan Mak Syam yang duduk di dipan dapur.
“Apa yang kau bawa itu, Dhien?” tanya Amala, dia melihat sang sahabat sudah berpakaian cantik dan membawa satu tas pouch berukuran lumayan besar.
“Alat tempur. Aku mau menyulap dirimu menjadi cantik jelita.” Dhien pun membuka tas nya.
Mak Syam terkekeh rendah, dia turun dari amben beralaskan tikar daun pandan. Membawa serta dompet emas Amala yang didalamnya terdapat surat kwitansi.
“Gak mau, Dhien. Jangan kau tepungi wajahku!” Amala beringsut menjauhi temannya.
“Sudah diam saja, menurut lah, Amala! Aku janji tidak lagi menjadikanmu bahan percobaan. Cuma mau mendandani dirimu dengan make-up tipis saja.” Dhien mulai memilih lipstik mana yang pantas untuk wajah Amala. “Cepatlah Amala! Keburu yang lainnya sudah berkumpul nanti.”
Mau tak mau Amala mendekati Dhien. Dia juga melepas hijabnya, agar tidak kotor oleh taburan bedak. “Jangan tebal-tebal! Alisku jangan diganggu! Warna gincunya yang natural saja! Terus, pipiku tidak usah diwarnai … nanti jadinya seperti habis kenak tonjok. Terus_”
“Diam, Amala. Diam!” Dhien menatap garang Amala yang sedang tersenyum tanpa rasa bersalah, “Kalau semua-semua tidak boleh. Apa gunanya alat-alat yang ku bawa ini?!”
“Maaf. iya, kamu boleh merias wajahku. Tapi, jangan menor ya, Dhien?”
“Hem.”
Dhien mulai merias wajah Amala, tak banyak yang dia lakukan. Wajah Amala sudah cantik alami, apalagi memiliki warna bola mata coklat mempesona yang ketika terpapar sinar matahari akan menjadi warna coklat keemasan.
“Selesai!”
Amala pun membuka matanya yang sedari tadi terpejam. “Mana kaca? aku mau melihat hasil karyamu.”
Dhien memberikan cermin kecil. “Cantik 'kan? Seandainya saja Yasir gila itu tidak menikah dengan adikmu. Sudah pasti aku akan mengatakan kalau dia laki-laki paling bodoh di dunia ini karena sudah menyia-nyiakan permata seperti mu.”
“Hem. Berlebihan!” Amala mencebik, dia masih terpesona pada wajahnya sendiri yang terlihat berbeda, tetapi masih natural.
“Kau ini!” Dhien menepuk pundak Amala. “Kenakan lagi hijab mu, biar aku sesuaikan dengan riasan nya.”
“Aku tidak mau model hijab yang dililitkan pada leher,” protes Amala.
“Iya, Mala. Iya!” Dhien pun, hanya menambahkan bros bunga pada hijab segiempat milik Amala.
“Sudah selesai belum, Nak? Yang lainnya sudah berkumpul.” Mak Syam menghampiri Amala dan Dhien. “Masya Allah, anak Mamak cantik sekali.”
Mak Syam terpesona melihat kecantikan Amala.
“Apa aku bilang. Kau memang secantik itu, Mala,” Dhien tersenyum puas, dia berhasil membuat sang sahabat tampil mempesona.
Mereka bertiga pun keluar dari rumah, Amala mengunci pintu. Kemudian berjalan menuju depan rumah Agam, di sana sudah ramai orang yang hendak pergi undangan juga.
Banyak pasang mata yang terkejut sekaligus terpesona oleh penampilan Amala, beberapa pemuda lajang sampai tidak berkedip.
“Ayo berangkat!” Zikri berseru lantang menghampiri warga. Di sampingnya ada Agam yang mengenakan kemeja dan celana bahan.
“Masya Allah. Dua sosok Bidadari dari mana ini?” Zikri tak sadar oleh ucapannya, matanya pun lancang menatap lekat Dhien dan juga Amala.
Amala menjadi gugup. Dia memalingkan wajahnya, tetapi malah bertatap dengan bang Agam.
Deg.
Hati Amala mencelos, apa sejelek itu penampilannya? Barusan dia melihat tatapan tidak suka pada sorot mata abangnya Wahyuni.
Rahang Agam mengetat, bahkan kedua tangannya mengepal dalam saku celana. Dia tidak menyukai penampilan Amala yang mencuri perhatian para kaum laki-laki. Agam pun duduk di belakang kemudi, mulai menghidupkan mesin mobil pickup diperuntukkan bagi rombongan wanita.
“Dhien, kau tidak salah mendandani ku 'kan?” tanya Amala berbisik. Mereka sudah duduk di bak belakang.
“Kenapa memangnya?”
“Aku merasa aneh, terus tidak percaya diri.”
“Tenang saja. Kau cantik, riasanmu pun tidak berlebihan, sangat natural,” Dhien menenangkan Amala, dia mengerti kegundahan hati sang sahabat. Amala memang tidak pernah berhias berlebihan.
Tak berselang lama dua mobil pickup yang membawa sebagian warga Jamur Lubok, sampai di area pesta.
Telinga mereka langsung mendengar seorang MC tengah memanggil nama salah satu anggota keluarga Yasir.
“Loh … kenapa sudah melakukan acara tepung tawar? Bukankah seharusnya menunggu pihak keluarga wanita datang terlebih dahulu. Benar ‘kan …?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu