Kerajaan Avaris yang dipimpin oleh Raja Darius telah menjadi kekuatan besar di benua Estherya. Namun, ancaman datang dari Kekaisaran Zorath yang dipimpin oleh Kaisar Ignatius, seorang jenderal yang haus kekuasaan. Di tengah konflik ini, seorang prajurit muda bernama Kael, yang berasal dari desa terpencil, mendapati dirinya terjebak di antara intrik politik dan peperangan besar. Dengan bakat taktisnya yang luar biasa, Kael perlahan naik pangkat, tetapi ia harus menghadapi dilema moral: apakah kemenangan layak dicapai dengan cara apa pun?
Novel ini akan memuat konflik epik, strategi perang yang mendetail, dan dinamika karakter yang mendalam. Setiap bab akan menghadirkan pertempuran sengit, perencanaan taktis, serta perkembangan karakter yang realistis dan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahaya di Permukaan
Bab 6: Bahaya di Permukaan
Saat mereka melangkah keluar dari terowongan, cahaya matahari pagi menyambut mereka dengan hangat. Pemandangan di depan mereka adalah dataran luas yang dipenuhi rumput tinggi yang bergoyang lembut tertiup angin. Namun, di kejauhan, terlihat tanda-tanda pergerakan pasukan.
Kael menghela napas lega sejenak sebelum menyadari sesuatu yang ganjil. “Lihat,” katanya, menunjuk ke arah barat. “Itu bukan pasukan kita.”
Pak Thalion menyipitkan mata. “Mereka adalah pasukan bayangan Morvath. Kita harus segera bergerak sebelum mereka melihat kita.”
Eldrin yang muncul tiba-tiba di belakang mereka membuat semuanya terkejut. “Mereka sudah tahu kalian ada di sini.”
Kael menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
“Aku bisa merasakan energi mereka,” jawab Eldrin. “Mereka menggunakan Eye of the Seeker, artefak yang memungkinkan mereka melacak jejak siapa pun yang membawa sihir kuat.”
Liora menggenggam busurnya erat. “Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
Eldrin tersenyum tipis. “Aku akan membuat pengalih perhatian. Kalian harus menuju ke sebuah desa kecil di timur laut. Di sana, kalian akan menemukan sekutu yang bisa membantu.”
Kael menatap Eldrin dengan ragu. “Kau yakin bisa mengalihkan perhatian mereka sendirian?”
“Jangan khawatir,” kata Eldrin dengan nada penuh percaya diri. “Aku sudah melakukan ini sejak sebelum kalian lahir.”
Pelarian ke Desa Arandell
Tanpa membuang waktu, kelompok Kael mulai bergerak menuju desa yang disebut Eldrin. Perjalanan melalui dataran terbuka terasa menegangkan, terutama dengan bayangan ancaman yang terus mengikuti mereka.
Finn yang berjalan di belakang tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Tunggu, dengar itu?”
Semua berhenti. Angin membawa suara derap kaki kuda yang semakin mendekat. Kael menoleh dan melihat debu beterbangan di kejauhan.
“Pasukan berkuda!” teriak Pak Thalion. “Cepat, ke hutan di sebelah kanan!”
Mereka berlari sekuat tenaga menuju hutan yang lebih aman, namun suara derap kuda semakin dekat. Kael tahu mereka tidak akan sempat sampai sebelum tertangkap.
“Finn, lempar batu-batu besar ke jalan mereka!” perintah Kael.
Finn mengangguk dan dengan kekuatan penuh, melemparkan batu-batu besar ke arah pasukan yang mendekat. Beberapa kuda tersandung, membuat kekacauan di barisan mereka.
Namun, ini hanya memberi mereka sedikit waktu. Liora menembakkan beberapa anak panah, mencoba menghalangi pasukan musuh, tetapi mereka masih terus mengejar.
“Tidak ada pilihan lain,” gumam Kael. “Kita harus menghadapi mereka.”
Pertempuran Cepat
Kael berdiri di depan, memegang pedang Aether dengan erat. Finn dan Pak Thalion bersiap di sampingnya, sementara Liora mengambil posisi di belakang dengan busur terpasang.
Pasukan berkuda tiba dengan kecepatan penuh, tetapi Kael menyerang lebih dulu. Dengan gerakan cepat dan presisi, dia menebas kuda pertama, membuat penunggangnya terjatuh. Finn dan Pak Thalion segera bergabung dalam pertempuran, menghancurkan musuh yang mendekat.
Liora menembakkan panah berturut-turut, melumpuhkan musuh dari kejauhan. Meskipun mereka kalah jumlah, semangat dan strategi mereka membuat perbedaan besar.
Namun, satu prajurit besar dengan pedang berlapis obsidian mendekati Kael. Serangan pertama hampir membuat Kael kehilangan keseimbangan. Prajurit itu kuat dan terlatih.
Kael mundur, mencoba mencari celah. Tapi setiap serangan selalu berhasil ditepis. Prajurit itu mengayunkan pedang dengan kekuatan penuh, membuat Kael terdesak ke tepi jurang kecil.
“Kael!” teriak Liora, mencoba membantu.
Namun, Kael mengangkat tangan. “Aku bisa menangani ini.”
Dia memejamkan mata sejenak, mengingat ajaran Eldrin tentang pedang Aether. “Biarkan pedangmu menyatu dengan jiwamu,” kata Eldrin di ingatannya.
Kael membuka mata dengan tekad baru. Dia menggerakkan pedangnya dengan pola yang tidak biasa, membuat lawannya kebingungan. Dengan satu serangan cepat, Kael berhasil menusukkan pedang Aether ke dada prajurit itu, mengakhiri pertempuran.
Pertemuan dengan Sekutu Baru
Setelah pertempuran usai, mereka melanjutkan perjalanan menuju desa. Saat malam tiba, mereka akhirnya mencapai Desa Arandell, sebuah desa kecil yang tampak damai namun penuh kewaspadaan.
Di gerbang desa, seorang wanita muda dengan rambut perak dan mata biru tajam menyambut mereka. Dia membawa tombak panjang dan mengenakan jubah hijau tua.
“Kael dan teman-temannya, bukan?” tanyanya dengan suara tenang tetapi penuh wibawa.
Kael mengangguk. “Ya. Eldrin mengirim kami ke sini.”
Wanita itu tersenyum tipis. “Namaku Elara. Aku pemimpin penjaga desa ini. Kami telah menunggu kalian.”
Pak Thalion mengerutkan kening. “Menunggu kami? Bagaimana kau tahu kami akan datang?”
“Eldrin selalu memberi tahu kami apa yang perlu diketahui,” jawab Elara. “Dan kalian membawa sesuatu yang sangat penting.”
Elara memimpin mereka masuk ke desa, menuju sebuah pondok besar di tengah. Di dalamnya, mereka disambut oleh beberapa orang lain yang tampak seperti pejuang.
“Kita akan berbicara lebih banyak besok,” kata Elara. “Untuk saat ini, kalian butuh istirahat. Peperangan besar akan segera dimulai.”
Kael menatap Elara dengan rasa ingin tahu dan kekhawatiran. Dia tahu perjalanan mereka belum berakhir, dan tantangan yang lebih besar menanti di depan.