Saran author, sebelum membaca novel ini sebaiknya baca dulu "Gadis Bayaran Tuan Duren" ya kak. Biar ceritanya nyambung.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan putra dari Arhan Airlangga dan Aina Cecilia yaitu King Aksa Airlangga dan keempat adiknya.
Sejak tamat SMP, Aksa melanjutkan studinya di Korea karena satu kesalahan yang sudah dia lakukan. Di sana dia tinggal bersama Opa dan Oma nya. Sambil menyelesaikan kuliahnya, Aksa sempat membantu Airlangga mengurusi perusahaan mereka yang ada di sana.
Tak disangka sebelum dia kembali, sesuatu terjadi pada adiknya hingga menyebabkan sebuah perselisihan yang akhirnya membuat mereka berdua terjebak diantara perasaan yang seharusnya tidak ada.
Bagaimanakah kelanjutan ceritanya?
Jangan lupa dukungannya ya kak!
Semoga cerita ini berkenan di hati kakak semua.
Lope lope taroroh untuk kalian semua 😍😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPTG BAB 27.
Malam ini adalah malam terakhir Inara berada di kota dan di rumah itu. Rasanya benar-benar aneh, nyeri menusuk dada dan menghujam hingga jantung. Jika saja ada Akbar di sisinya, dia tidak mungkin serapuh ini.
Meski Akbar sudah memintanya untuk melupakan pria itu, tapi tetap saja Inara tidak sanggup melakukannya. Akbar merupakan pria pertama di hidupnya, pria yang mampu meluluh lantakkan hatinya hingga menimbulkan getaran cinta di hatinya.
Apa selama ini Inara salah dalam menilai kebaikan Akbar? Mungkinkah pria itu sengaja mempermainkan dirinya? Tapi kenapa? Untuk apa Akbar melakukan itu padanya? Ataukah Akbar memang seorang pemain handal hingga Inara tidak menyadari kecurangannya?
Semakin Inara mengingat itu, semakin kacau pula pikiran gadis itu dibuatnya. Kini kenangan hanya tinggal kenangan, harapan ternyata tak seindah kenyataan. Inara harus rela melepaskan, mengikhlaskan meski rasanya sangat pahit dan menyakitkan. Cinta pertama Inara akhirnya berujung lara, perih menyayat jantung dan menembus ulu hati.
Dalam keheningan malam yang ditemani desiran angin yang berhembus kencang, Inara termenung sendirian di teras rumah sembari menekuk lututnya dan memeluknya erat. Bongkahan bening itu mengalir begitu saja di sudut matanya.
Jika dulu dalam keadaan sedih begini ada Akbar yang siap menjadi sandarannya, kini hanya tonggak beton yang menjadi teman setianya. Teman yang tidak pernah protes atau menolak saat Inara membutuhkan penopang tubuhnya tatkala rasa rindu itu datang menyiksa.
"Kamu nangis?" Tiba-tiba suara bariton Aksa membuat Inara tersadar dari lamunannya. Tatapan Aksa nampak begitu intim hingga membuat Inara gelagapan dan akhirnya tertawa dengan sendirinya.
"Hehehe..."
Inara yang sama sekali tidak menyadari itu langsung menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Apa raganya sudah mati rasa sehingga tidak tau kalau air matanya sudah hampir membanjiri teras.
"Loh, kok-" Aksa menyipitkan matanya. Aneh memang, baru saja Aksa melihat air mata Inara berjatuhan tapi kini gadis itu malah tertawa hingga menampakkan barisan giginya yang sangat rapi. "Kamu sehat?"
"Iya sehat. Kalau begitu aku masuk dulu, aku mau mengemasi barang-barang ku biar besok pagi tidak kerepotan."
Setelah mengatakan itu, Inara bangkit dari duduknya dan melangkah memasuki rumah. Sebenarnya bukan itu yang menjadi alasan utamanya, Inara hanya tidak mau Aksa mengasihani dirinya yang masih bersedih karena kehilangan Akbar.
Inara melanjutkan langkahnya menuju pintu kamar. Setelah membukanya, dia menutupnya kembali tapi sama sekali tidak menguncinya. Selepas ini Inara masih harus keluar untuk mengisi perut.
Inara kemudian mencoba meraih koper yang berada di atas lemari. Saking tingginya, Inara sampai kewalahan karena tak sanggup menjangkaunya. Lalu Inara berinisiatif membuka pintu lemari dan memanjat rak pakaian.
"Bug!"
Belum sempat kaki Inara terangkat keduanya, rak itu lebih dulu patah hingga membuat tubuh gadis itu terhempas di dasar lantai.
"Aaaaa..."
Teriakan Inara sontak mengagetkan Aksa yang sudah masuk ke dalam rumah. Tanpa pikir, Aksa langsung berlari dan mendorong pintu kamar Inara dengan kasar.
"Braaak!"
Mata Aksa membulat dengan sempurna saat menangkap keberadaan Inara yang masih meringkuk di dasar lantai, sekilas terlihat seperti kucing yang tengah bergelung kedinginan.
"Kamu kenapa?" tanya Aksa sambil berlari mendekati Inara. Inara tak menyahut, dia masih meringis menahan sakit di bagian bokong, siku dan juga lututnya.
Aksa berjongkok dan mengangkat tubuh ringkih itu dengan entengnya lalu membaringkannya di atas kasur. Saat memutar lehernya menghadap lemari, kening Aksa mengkerut melihat bagian rak yang sudah patah hingga menyebabkan pakaian Inara berserakan.
"Dasar bodoh! Sudah jelas itu tipis, kenapa malah dipanjat?"
Bukannya menenangkan Inara, Aksa malah membuat gadis itu naik darah mendengar ocehannya.
"Mana aku tau? Kayu nya tidak ngomong kalau dia sudah lapuk." ketus Inara menajamkan tatapannya, dua detik kemudian Inara kembali meringis sambil mengusap bokongnya.
"Hahahaha..."
Tawa Aksa menggelegar hingga menggetarkan sekeliling dinding kamar. Untung saja bangunan itu masih kokoh, jika tidak mungkin Inara sudah mati sia-sia ditimpa puing-puing bangunan.
"Dasar gila! Orang kesakitan kau malah ketawa," gerutu Inara dengan bibir mengerucut. Ingin sekali dia menjambak rambut Aksa dan menendangnya keluar dari sana, tapi Inara tidak punya tenaga untuk itu.
"Kau itu bodoh sekaligus lucu, itu sebabnya aku ketawa." Aksa menyentil kening Inara hingga gadis itu meringis kesakitan sambil mengusapnya dengan pelan.
Inara bergeming sambil mematut wajah Aksa dengan seksama. Kian hari Inara semakin merasa aneh melihat sikap pria yang masih duduk di sisi ranjang itu.
Aksa yang dikenalnya galak, pemarah dan kasar, perlahan mulai menampakkan perubahan pada dirinya. Apalagi sekilas sosok Aksa mengingatkan Inara pada Akbar yang kini entah dimana.
Mulai dari pelipis, garis rahang, bibir, hidung, dagu, alis, semua nampak persis seperti Akbar. Yang membedakan hanya warna mata dan rambutnya saja. Apa mungkin ada dua orang yang begitu mirip di dunia ini? Otak Inara mulai bertanya-tanya, bahkan tawa Aksa tadi benar-benar mirip dengan sosok pria yang dia cintai itu.
Sadar akan tatapan aneh Inara yang mengarah pada dirinya, Aksa seketika menghentikan tawanya dan membalas tatapan Inara dengan penuh cinta. "Kenapa melihatku seperti itu?"
Inara tersadar dan dengan cepat memutar manik matanya. "Tidak apa-apa, keluarlah!"
"Kau mengusirku? Dasar tidak tau terima kasih," umpat Aksa merubah tatapannya.
"Bokong ku sakit, aku ingin memeriksanya. Apa kau mau melihatnya juga?" geram Inara meninggikan suaranya.
Seringai nakal melengkung indah di sudut bibir Aksa saat mendengar itu. "Kalau kau mengizinkan, tentu saja aku mau."
"Plaaak!"
Pipi Aksa tiba-tiba panas dan mati rasa setelah telapak tangan Inara membuat sebuah lukisan berbentuk jari di sana. Aksa menggerakkan lidahnya yang seketika membuat pipinya menggembung.
"Kurang terasa, coba sekali lagi!" tantang Aksa yang sudah diterpa badai kemarahan. Sangat marah hingga dia ingin sekali menggigit bibir ranum gadis itu.
"Tidak perlu, pergilah!" usir Inara sekali lagi dan memalingkan wajahnya.
"Hm... Aku akan pergi, tapi tunggu aku selesaikan masalahku dulu." jawab Aksa enteng. Dia berdiri dan berjalan menuju lemari lalu menurunkan sebuah koper dari atas sana. Setelah itu dia menghampiri Inara lagi dan duduk di sisi ranjang.
Mendadak kedua lengan Aksa mengembang. Dia mencondongkan dadanya dengan posisi menunduk dan mengunci gadis itu dalam dekapannya.
Inara benar-benar gugup dibuatnya, jantungnya seakan ingin copot. Dadanya bergerak turun naik hingga tanpa sadar terjadi pergesekan di sana.
Aksa menilik manik mata Inara dengan intim, lalu turun ke bibirnya. Aksa sudah tak tahan lagi ingin menautkan bibir mereka. Deru nafas Aksa kian memburu hingga jantungnya semakin berdetak dengan cepat.
"Kak Aksa... Mmm..."
Aksa tidak kuat lagi menahannya, lidahnya bergerak mengitari permukaan bibir Inara hingga gadis itu tersentak sambil membulatkan matanya. Lagi-lagi cara Aksa sama persis dengan yang dilakukan Akbar padanya.
Selepas membasahi permukaan bibir Inara, Aksa kemudian mengesap nya mulai dari bibir bawah lalu beralih ke atas. Semua itu Aksa lakukan dengan penuh kelembutan hingga Inara mulai terbawa dengan permainannya.
Inara membuka mulut hingga keduanya bergantian menyelami rongga mulut masing-masing. Lidah keduanya saling membelit membagi kehangatan benda tidak bertulang itu, sesekali Aksa menghisapnya hingga suara decapan mereka mengalun indah mengisi kehampaan kamar itu.
Tak berhenti di sana, Aksa menggerakkan tangannya dan menyentuh sepasang benda kenyal milik Inara. Inara menggeliat geli saat Aksa meremasnya, apalagi saat tangan Aksa turun menyentuh permukaan intinya.
Sontak Inara tersadar dan spontan mendorong dada Aksa hingga tautan bibir keduanya terlepas.
"Apa yang baru saja kau lakukan padaku?" lirih Inara dengan mata berkaca. Dia segera duduk dan beringsut hingga punggungnya membentur kepala ranjang.
"Aww..."
"Inara..." Aksa mendekat dan menggerakkan tangannya.
"Jangan sentuh aku!" bentak Inara dengan lantang.
"Inara... Dengar aku dulu!" Aksa mencoba menjelaskan.
"Tidak mau, pergi dari sini! Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!" teriak Inara.
"Inara..."
"Pergiiiii..."
Melihat kemarahan Inara yang sudah menggunung, mau tak mau Aksa terpaksa pergi sebelum sempat mengatakan apa-apa.
Bersambung...