Sebuah pengkhianatan seorang suami, dan balas dendam seorang istri tersakiti. Perselingkuhan sang suami serta cinta yang belum selesai di masa lalu datang bersamaan dalam hidup Gladis.
Balas dendam adalah jalan Gladis ambil di bandingkan perceraian. Lantas, balas dendam seperti apa yang akan di lakukan oleh Gladis? Yuk di baca langsung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gadisti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha kuat
Melihat reaksi sang suami, membuat Gladis tertawa. Sebelum ia melanjutkan lagi ucapannya, Gladis terlebih dahulu meraih segelas minuman, lalu meneguk nya dengan perlahan.
Evan yang awalnya terkejut, mendadak mengernyitkan keningnya, menatap sang istri penuh dengan tanda tanya. Ia sudah sangat ketakutan dengan apa yang di ucapkan oleh istrinya tadi. Namun, ketika melihat sang istri tertawa seperti itu, membuat ketakutan dalam diri Evan sedikit menghilang.
Gladis meletakkan segelas air yang sudah tinggal setengahnya di atas meja. Ia kembali menatap suaminya, lalu mengukir sebuah senyuman yang indah.
"Aku hanya becanda, Mas. Kenapa kamu kelihatan sangat terkejut tadi? Apakah kamu... " Gladis sengaja menggantungkan ucapannya, menelisik raut wajah sang suami, menatapnya penuh dengan selidik.
Evan yang menyadari hal itu pun, dengan segera membuka mulutnya. "Haha... Sayang, becandamu sangat tidak lucu. Ma,, mana mungkin aku melakukan kesalahan kepada istriku sendiri. Kamu ini, aneh-aneh saja becandanya," ucapnya sembari mengambil segelas minuman yang ia tenggak tadi. Meneguknya kembali, guna menghilangkan kegugupannya saat ini.
"Sudahlah, lebih baik kamu habiskan sarapanmu, Mas. Atau kamu akan benar-benar kesiangan." Kata Gladis mengakhiri pembahasannya.
Evan hanya mengangguk pelan, ia pun mulai menyantap sarapan buatan sang istri.
Gladis diam, menatap suaminya yang saat ini sudah fokus dengan sarapannya. Hati Gladis terasa pilu, perasaannya sangat hancur berkeping-keping. Mengingat pengkhianatan suaminya bersama Amelia, menimbulkan setitik kebencian dalam diri Gladis. Namun, Gladis harus tegar demi sang buah hati. Mungkin jika tidak ada Sera di antara keduanya, Gladis sudah pasti akan meminta berpisah dari Evan. Ia tidak cukup kuat menghadapi pengkhianat sepertinya. Namun, ia harus di paksa kuat karena sang anak.
***
Kediaman Pradipta.
Darren duduk manis di atas kursi meja makan. Menikmati sarapan pagi dengan raut wajah yang bahagia. Sesekali ia tersenyum sendirian, kemudian ia kembali menikmati lagi sarapannya. Semuanya itu tidak lepas dari pandangan Mama Saras, mamanya.
"Ada apa denganmu, Darren? Kenapa kamu terlihat aneh sekali? Apakah ada yang salah dengan otakmu pagi ini?" tanya mama Saras, heran dengan tingkah putra satu-satunya itu.
"Tidak ada apa-apa, mah. Aku hanya merasa bahagia saja. Apa tidak boleh?" ucap Darren sekilas melirik ke arah sang mama, kemudian melanjutkan lagi sarapannya.
"Bukannya tidak boleh, hanya saja mama merasa aneh saat melihatmu tersenyum sendirian," Saras menjeda ucapannya sejenak, ia menatap putranya dengan lekat. "Memangnya apa yang membuatmu bahagia? Apakah mama boleh tahu?" tanya Saras penasaran.
Darren nampak menghembuskan nafasnya pelan, ia kembali melirik sang mama dan menatapnya cukup lama, membuat mama Saras sedikit bingung.
"Mama pengen tahu apa yang sudah membuatmu bahagia, bukan pengen di tatap seperti itu, Darren!" cetus mama Saras, membuat Darren tertawa renyah. Dan hal ini tentu saja membuat mama Saras mendengus kesal.
"Bukannya jawab, malah ketawa. Pengen mama lempar pake sendok ini, hah!" kesal mama Saras sembari mengambil sendok dan bersiap untuk melemparkannya ke arah sang putra.
"Astaga, mah... Kenapa mama mau melemparku dengan sendok itu? Bukankah itu keterlaluan!" seru Darren di iringi dengan helaan nafasnya, menatap sang mama sedikit kesal.
"Makannya jawab pertanyaan mama, kalau tidak mau di lempar pake sendok ini," ucap mama Saras seraya meletakkan kembali sendok itu di atas piring.
Meredamkan kekesalannya, mama Saras pun kembali bersuara. "Kamu tidak perlu menjawab lagi pertanyaan mama, barusan. Sekarang, ada hal yang ingin mama sampaikan sama kamu. Ini tentang Bella, tunanganmu itu." Mama Saras nampak serius ketika membahas tentang tunangan putranya tersebut. Sedangkan Darren, ia terlihat malas dan memilih untuk melanjutkan sarapannya yang tertunda.
"Bella ingin kamu secepatnya menikahi dia. Dia sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Darren! Mama sama.... "
"Mah, tolong jangan bahas tentang pernikahan lagi denganku. Kalau Bella ingin cepat-cepat menikah, suruh saja dia menikah sama orang lain jangan sama aku. Mama tahu sendiri, kalau aku tidak akan menikahi Bella." Potong Darren seraya menghentikan tangannya yang memegang sendok. Nafsu makannya sudah hilang ketika sang mama kembali membahas tentang masalah pernikahannya dengan Bella.
Darren sudah benar-benar muak, ia pun segera beranjak dari tempat duduknya membuat mama Saras langsung marah.
"Duduk, Darren! Mama belum selesai bicara!" perintah mama Saras dengan nada bicaranya yang mulai meninggi, menatap Darren dengan tatapan yang tajam.
"Mah, aku mau berangkat, aku tidak ingin mendengar tentang pernikahan itu lagi. Tolong, mama berhenti membahasnya denganku, aku sudah muak, mah." Kata Darren dengan tatapan yang memohon. Namun, bukan mama Saras namanya jika ia harus luluh dengan tatapan putranya tersebut. Mama Saras malah semakin menjadi, ia ingin putranya itu segera menikahi Bella, karena ia ingin segera menimang cucu, seperti temannya yang lain.
"Tidak, Darren! Mama tidak akan pernah berhenti membicarakan pernikahanmu dengan Bella sebelum kamu menikahinya. Sampai kapan mama harus menunggumu, Darren? Mama sudah tidak sabar ingin menimang cucu seperti teman mama yang lain. Apakah kamu menunggu sampai mama mati, baru kamu akan menikah, begitu?" mama Saras berucap dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Berharap hati Darren luluh, dan mau menikahi Bella secepatnya.
"Astaga... Kenapa mama sangat terobsesi sekali dengan pernikahanku dan Bella? Soal cucu, nanti akan aku kasih kalau sudah waktunya. Tapi, itu bukan dengan Bella, mah." Darren mengusap wajahnya frustasi. Setiap hari ia berhadapan dengan sang mama, selalu saja membahas pernikahan dan pernikahan, sungguh memuakan.
"Aku berangkat, dulu. Pagi ini aku ada meeting sama klien." Akhirnya Darren pun memilih pergi meninggalkan sang mama. Ia sama sekali tidak menoleh, meskipun sang mama memanggil namanya.
makasih Thor🙏💪