Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekuntum Bunga Untuk Ibu.
Malam itu, angin berdesir dengan lembut di luar jendela rumah tua itu. Rembulan tergantung di langit, bersinar pucat di tengah kelamnya malam. Rumah itu, di ujung desa, seakan dilupakan waktu. Dindingnya yang kusam dipenuhi lumut, atapnya berlubang di sana-sini, dan pintunya bergemeretak ketika terbuka. Namun di situlah Nina dan ibunya tinggal. Hanya mereka berdua, sejak ayahnya meninggal dua tahun lalu. Desa yang mereka tinggali juga tak pernah benar-benar sepi, meski di siang hari tampak tenang. Di balik senyapnya, tersimpan banyak rahasia.
Nina menatap ibunya yang terbaring lemah di atas kasur tipis di sudut kamar. Wajah ibu yang dulu ceria kini dipenuhi garis-garis lelah. Penyakit misterius yang dialaminya kian hari kian parah. Dokter di desa mengatakan bahwa ini adalah penyakit biasa, namun semua pengobatan tampaknya tak berpengaruh.
Nina yang kini duduk di tepi ranjang, memegang tangan ibu yang dingin. Air mata menggenang di sudut matanya. “Bu, aku janji akan menemukan obat untukmu. Kau pasti sembuh.” Namun, ibu hanya tersenyum lemah, matanya menatap Nina dengan penuh kasih.
“Jangan khawatirkan Ibu, Nak. Ibu tahu kau sudah melakukan yang terbaik,” bisik ibu, suaranya pelan, hampir seperti desir angin.
Nina mengangguk pelan, menelan kesedihannya. "Aku akan mencari bunga itu, Bu. Aku yakin bunga itu bisa menyembuhkanmu."
Ibu menatap Nina dengan mata yang melemah. "Bunga itu hanya mitos, Nak. Jangan membahayakan dirimu untuk sesuatu yang tidak pasti."
Nina tahu apa yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, harapan adalah hal terakhir yang masih ia genggam. Orang-orang di desa sering berbicara tentang bunga misterius yang tumbuh di puncak Gunung Liru, sebuah bunga yang konon bisa menyembuhkan penyakit apapun. Bunga itu disebut "Sekuntum Bunga untuk Ibu." Banyak yang mengatakan bahwa bunga itu hanyalah legenda. Namun, Nina percaya—atau mungkin dia terlalu putus asa untuk tidak percaya.
Ia memutuskan, malam itu juga, ia akan pergi. Ia tak bisa menunggu lebih lama. Setiap hari, kondisi ibu semakin buruk, dan Nina tak tahu berapa lama lagi waktu yang tersisa.
---
Dengan jubah tebal menutupi tubuhnya, Nina mulai mendaki Gunung Liru. Gunung itu terkenal berbahaya, terutama di malam hari. Jalan setapak yang ada hanya samar-samar terlihat, dan banyak binatang buas berkeliaran. Tapi, tekad Nina tak bisa dihentikan. Kegelapan malam seakan menyatu dengan pikirannya yang penuh kecemasan. Angin gunung yang dingin menusuk kulitnya, namun semua itu tak ia hiraukan. Langkahnya tegap, meski tubuhnya mulai terasa lelah.
Tak lama setelah mendaki, suara gemerisik terdengar dari semak-semak. Nina berhenti, menajamkan pendengaran. Matanya mencari-cari sumber suara di kegelapan. Dengan cepat, seekor rubah melompat keluar, mengejutkannya. Namun, yang membuat Nina terdiam bukanlah rubah itu, melainkan sosok pria tua yang berdiri beberapa meter di depannya, di bawah bayangan pohon besar.
“Kau pasti Nina,” kata pria tua itu dengan suara yang serak. “Kau mencari bunga itu, bukan?”
Jantung Nina berdebar. "Bagaimana kau tahu?"
Pria tua itu mendekat, wajahnya tertutup kerudung hitam. "Banyak yang datang sebelum dirimu. Tak ada yang kembali."
“Katakan apa yang kau tahu,” tuntut Nina, mencoba menahan getaran dalam suaranya.
Pria tua itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah puncak gunung yang tak terlihat dalam kegelapan. “Di atas sana, bunga itu ada. Tapi bunga itu tidak diberikan dengan cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar.”
Nina menatap pria itu dengan penuh tanya. “Harga apa?”
“Kau akan mengetahuinya nanti.” Pria tua itu berbalik dan menghilang dalam bayang-bayang pepohonan, meninggalkan Nina dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
---
Perjalanan semakin sulit. Jalan setapak semakin curam, dan udara semakin dingin. Nina menggigil, tubuhnya mulai lemah, namun ia terus melangkah. Pikirannya berkecamuk, memikirkan ibunya yang menunggu di rumah. Setiap kali tubuhnya ingin menyerah, ia mengingat senyum ibunya. Itu sudah cukup untuk memberinya kekuatan.
Akhirnya, setelah beberapa jam mendaki, Nina tiba di sebuah lembah tersembunyi di puncak gunung. Di tengah lembah itu, tumbuh sebuah bunga tunggal. Bunga itu bersinar lembut, kelopaknya berwarna putih bersih dengan cahaya keemasan di tengahnya. Ini dia—bunga yang dicarinya.
Dengan hati-hati, Nina mendekati bunga itu. Namun, ketika tangannya hampir menyentuh kelopaknya, suara berat menggema di lembah.
“Berhenti!”
Nina terperanjat dan menoleh. Di belakangnya, seorang wanita muda dengan gaun putih panjang berdiri. Wajahnya cantik, namun sorot matanya tajam. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan?"
Nina menelan ludah. “Aku… aku datang untuk mengambil bunga ini. Ibuku sakit, dan bunga ini satu-satunya harapanku untuk menyembuhkannya.”
Wanita itu menggeleng perlahan. “Bunga ini bukan untuk sembarang orang. Ada harga yang harus dibayar.”
“Harga apa?” Nina bertanya lagi, kali ini suaranya gemetar.
Wanita itu mendekat, lalu mengangkat tangan ke arah bunga. “Bunga ini adalah keajaiban, tapi setiap keajaiban memiliki konsekuensi. Jika kau mengambil bunga ini, kau akan memberikan sebagian dari jiwamu untuknya. Kau tak akan pernah menjadi dirimu yang sama lagi.”
Nina terdiam, mencoba mencerna kata-kata wanita itu. "Apa maksudmu?"
"Kau akan merasakan kekosongan yang tak pernah terisi. Setiap kali kau menatap ibumu, kau akan mengingat bahwa kau kehilangan sebagian dari dirimu untuk menyelamatkannya."
Nina menunduk, pikirannya berputar. Tapi di hatinya, ia sudah tahu jawabannya. "Aku akan melakukannya," katanya tegas. "Apapun harganya, aku tak peduli. Aku hanya ingin ibuku hidup."
Wanita itu mengangguk, lalu memetik bunga itu dengan gerakan lembut. “Baiklah,” katanya sambil menyerahkan bunga itu kepada Nina. “Bawa bunga ini dan letakkan di atas bantal ibumu sebelum fajar. Setelah itu, semua akan berubah.”
Nina menerima bunga itu dengan tangan gemetar, mengucapkan terima kasih, dan segera berbalik untuk kembali menuruni gunung. Saat ia melangkah pergi, wanita itu hanya tersenyum samar, lalu menghilang dalam kabut lembah.
---
Pagi menjelang ketika Nina tiba kembali di rumah. Langkahnya tergesa, tubuhnya lelah, namun ia tak memedulikan itu semua. Ia segera masuk ke kamar ibunya, meletakkan bunga itu di atas bantal, seperti yang diinstruksikan.
Sekejap setelah bunga itu menyentuh bantal, tubuh ibu mulai bergerak. Mata ibu perlahan terbuka, napasnya yang berat kini menjadi lebih teratur. Nina terperangah. Bunga itu benar-benar bekerja! Air mata mengalir deras di pipinya saat ia memeluk ibunya yang kini tersenyum.
“Nina… apa yang kau lakukan?” tanya ibu dengan suara yang kini lebih kuat.
“Tak usah khawatir, Bu. Yang penting sekarang, kau sembuh,” jawab Nina.
Namun, jauh di dalam hatinya, Nina merasakan sesuatu yang hilang. Ada kekosongan yang tak terjelaskan, seperti sesuatu yang ia tinggalkan di puncak gunung. Tapi ia tak peduli. Demi melihat senyum ibunya kembali, itu semua sepadan.
Dan malam itu, meski dengan perasaan yang hampa, Nina tertidur dengan tenang, mengetahui bahwa ia telah menyelamatkan yang paling ia cintai.