Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11
Sebelum matahari terbenam, kami sudah berada di mobil masing-masing dan meluncur kembali ke Medan. Tristan mengajak singgah istirahat di Tebing Tinggi, namun aku menolak karena ingin cepat sampai dan beristirahat.
Pukul delapan malam aku sampai di kost, mandi dan berberes, lalu mengaktifkan handphone sembari berbaring di kasur. Puluhan panggilan dan chat dari Reyvan muncul di layar handphone. Reyvan seperti biasa mengkhawatirkanku. Setelah memeriksa chat yang masuk lainnya, aku membalas chat dari Reyvan dan memberitahukan bahwa aku baik-baik saja dan sudah di kamar kost beristirahat. Baru sepersekian detik chat terkirim, kontak Reyvan langsung muncul di layar handphoneku. Sungguh aku malas sekali mengangkatnya, tapi kalau tidak diangkat dia pasti akan terus menelepon.
“Halo,”sapaku.
“Kamu darimana saja sih, Jane ? Dari kemarin kamu nggak ada kabar. Aku samperin ke kostmu, namun menurut penjaga kost, kamu sudah pergi dari pagi. Kamu kemana ?” cecar Reyvan dengan nada cemas.
“Kenapa kamu cemas begitu sih? Aku bukan anak kecil lho, uda tua ini.”jawabku santai.
“Aku kemarin pergi ke Parapat, kan aku belum pernah kesana. Terus tadi pagi aku ke Tomok, dan baru sampai kost pukul delapan tadi. Nggak usah khawatir begitu sih sama aku, Rey. Aku sudah terbiasa kog jalan sendirian.”
“Kamu pergi keluar kota kog nggak ajak aku? Aku juga mau lho pergi bareng kamu. Aku bisa tunjukkan tempat-tempat bagus yang ada di Sumatera Utara ini ke kamu. Terus kamu nyetir sendiri begitu? “cecarnya lagi yang buat aku berbisik dalam hati, hadeuh orang Sumatera ini bawel banget.
“Iya, aku kan memang bisa nyetir dan kamu tahu kalau aku lebih suka sendiri. Lagipula ngajak kamu itu malah bikin tambah repot. Mantan kamu tahu ntar eh aku yang direcokin,”
“Ya udah deh, kamu istirahat, pasti capek nyetir sendirian Medan- Parapat pulang pergi. Bye.” Ucapnya dengan nada seperti orang tersinggung, dan belum sempat aku menjawab Reyvan sudah menutup teleponnya. Sepertinya ngambek.
Jumat sore saat aku kembali ke kost, ponselku berdering dan di layar terlihat nama Tristan. Berhubung sedang menyetir dan jarak kost sudah dekat, teleponnya kuabaikan. Dua kali panggilan kemudian pesan Whatsapp Tristan masuk. Setelah turun dari mobil kubuka pesan Whatsapp dari Tristan.
“Dinner yuk,”ajakannya mirip anak usia remaja mengajak teman akrabnya, padahal kami baru saja kenal. Aku menelepon balik nomor Tristan, tak lama nada sambung berdering dan diangkat.
“Halo,”sapa suara dari ujung sana.
“Halo bang, sorry tadi nggak kuangkat, lagi nyetir. Malam ini maksudnya?”tanyaku dan aku memanggilnya abang demi sopan santun karena usianya lebih tua lima tahun dariku.
“Iya malam ini, bisa‘kan? Aku jemput deh, kirim aja alamat kostmu,”
“Nggak usah dijemput. Aku berangkat sendiri aja, soalnya ntar kelamaan kalau harus dijemput dulu. Kasih tahu aja dimana tempatnya bang, ntar aku meluncur kesana. Mau mandi dulu,”
“Oke deh, aku shareloc ya. Lima belas menit lagi aku sampai di lokasi, jadi kamu langsung aja jalan ya,”
“Oke siap.”telepon kututup dan bergegas menuju kamar kostku.
Kuikuti petunjuk aplikasi peta untuk menuju tempat yang disebutkan oleh Tristan. Di parkiran sudah ada mobil Tristan. Aku mengenakan kaos putih lengan pendek, blue jeans panjang, sepatu kets dan tas kecil. Rambut kubiarkan tergerai saja. Aku masuk ke dalam café tersebut dan mencari-cari Tristan. Dari ujung ruangan dia melambaikan tangan dan aku pun segera menuju tempat duduknya. Belum sampai aku di meja Tristan, tiba-tiba seseorang mencekal pergelangan tanganku. Aku terkejut, menoleh dan menghempaskan tanganku. Namun begitu menoleh, aku justru semakin terkejut karena Antonio yang mencekal tanganku.
“Ada apa ini An?”tanyaku melihat wajah Antonio yang khawatir. Tristan pun segera menghampiri kami.
“Neta, bagaimana kamu kenal laki-laki itu ?”tanya Antonio.
“Maksudnya ? Tristan? Ada apa ?” tanyaku.
“Kamu kenal laki-laki ini, Jane?”tanya Tristan dengan wajah memerah.
Aku bingung melihat mereka berdua. Dua pria ini berdiri di hadapanku dengan sorot mata saling membenci satu sama lain. Ada apa ini ?
“Permisi bapak-bapak. Ada apa ini sebenarnya? Kalian saling mengenal?”tanyaku.
“Aku yang bertanya lebih dulu Neta, kamu kenal dimana laku-laki ini?”tanya Antonio tanpa mengalihkan tatapan sinisnya dari Tristan.
“Kami bertemu di Parapat minggu lalu.”jawabku sambil melihat ke arah Tristan yang juga masih melotot pada Antonio.
“Dan tolong jelaskan siapa laki-laki ini, Jane?”tanya Tristan.
“Dia.. “ aku bingung menyebut Antonio sebagai apa.
“Janetta adalah mantan pacarku.”jawab Antonio dengan tegas membuat Tristan segera menoleh kepadaku, yang kubalas dengan tatapan memangnya mengapa.
“Sayangnya Janetta tidak tahu ada apa-apa. Lantas kau sendiri mau apa? Kau tidak berhak melarang Janetta berteman dengan siapapun. Kau tidak ada hubungan apapun dengan Janetta saat ini.”ujar Tristan dengan nada suara mengancam.
“Saat ini aku memang bukan siapa-siapa lagi buat Janetta. Tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu melukai Janetta.”ucap Antonio yang membuatku bingung dengan kata-katanya.
“Hahahaha.. Seolah-olah kau adalah orang baik. Jangan lupa Merry meninggal karena ketidakacuhanmu. Kau tidak berhak menghakimi aku seolah aku akan menyakiti Janetta. Ayo, Jane, perutku sudah lapar dan makin lapar karena laki-laki ini muncul di hadapanku.”
“Tidak Neta, kamu tidak boleh dekat dengannya. Dia tidak baik untukmu, Neta. Kumohon kamu pergi jauh-jauh darinya.”
“Jaga omonganmu. Kamu tidak berhak melarang Janetta seperti itu.”bentak Tristan sembari jarinya menunjuk ke wajah Antonio.
“Stop. Stop. Stop. Sungguh aku tidak mengerti ada apa ini. Aku juga tidak tahu kalian saling mengenal dan apa yang telah terjadi di antara kalian. An, aku ada janji makan malam dengan Tristan. Tolong jangan mengkhawatirkanku. Aku bisa jaga diriku sendiri.” ucapku.
“Tapi, Neta..”
“Sudah An, nanti kita bicara lagi. Permisi.” Aku berlalu bersama Tristan menuju meja kami dan ketika duduk kulihat Antonio telah keluar dari café.
Kami makan dalam diam, kuamati wajah Tristan yang sedari tadi menunduk dan muram. Aku ingin sekali bertanya namun kuurungkan niatku karena melihat wajah Tristan yang murung. Begitu dessert disajikan, Tristan mentapku sebentar lalu berkata.
“Aku sungguh tidak tahu mengapa ada takdir buruk antara aku dengan lelaki tadi. Dia menikah dengan kekasihku dan saat ini kekasihnya ada di hadapanku.”
“Kami bukan sepasang kekasih lagi,”jawabku datar meskipun aku terkejut dengan pemberitahuan Tristan.