Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27 - Ikatan yang Berakhir
Menuju petang, kala matahari mulai melenyap dari bentangan langit jingga, Tora dengan perasaan tak karuan memutuskan untuk kembali ke kastil.
Selepas kabut yang menghalangi pandangan hilang tersapu bersih oleh angin, Naina masih belum bisa ditemukan. Bahkan Tora sengaja memutari seluruh penjuru hutan, tapi hasilnya tetap nihil.
Entah akan semurka apa Tuan Minos saat tahu gagak yang diberi kepercayaan itu tak bisa memenuhi tanggung jawabnya. Tora hanya bisa pasrah, berharap bisa segera mendapat titik terang.
Pandangan mata Tora menajam, menjumpai sosok jangkung yang tengah berdiri di depan gerbang kastil dengan kepala tertunduk. Wajahnya tertutup tudung yang menjuntai, tapi aura menakutkan bisa dirasakan dalam jarak beberapa meter.
Tora mengepak-ngepak, jaraknya dengan pria itu hanya tersisa beberapa langkah. “Tu-tuan, maaf ... Aku—”
“Aku sudah tahu,” sela Tuan Minos, perlahan kepalanya menengadah ke atas.
Tora meneguk ludah. Kengerian yang di rasakan dalam situasi ini membuatnya takut jika sampai salah bicara. Lihat saja rupanya itu, lebih-lebih mengerikan dari biasanya, Tora merasa bahwa sebentar lagi Tuannya itu akan terbakar oleh emosinya sendiri.
Menyingkirkan tudung ke belakang, paras hancur itu tampak mengeras. Gemerutuk dari rahang yang diketatkan membuat nanah keluar dari rongga-rongga pipinya yang hancur.
“Aku harus pergi menjemputnya,” ungkap Tuan Minos tampak serius.
Sebelah tangannya mengepal, darah dan nanah menetes pada daun-daun kering yang menjadi pijakan. Seketika menghitam dan membuat daun tersebut menghilang layaknya debu yang tertiup angin.
Tora terbang dan hinggap di bahu pria tersebut. Lantas menelengkan kepala seraya bertanya, “Tuan? Memangnya kau tahu Naina ada di mana?”
“Diculik oleh seseorang yang amat aku benci,” jawab Tuan Minos sambil menahan napas, dadanya mulai kembang kempis lagi.
“... Seseorang itu juga yang membuatmu seperti ini. Hidup dalam tubuh seekor burung gagak. Tidakkah kau membencinya juga?” sambung Tuan Minos, lirikan matanya tertuju pada Tora yang nampak masih mencerna ucapan tersebut.
Pandangan Tora mendadak kosong. Pikirannya terlempar pada kejadian beberapa tahun silam. Pada kejadian di mana kehidupannya berubah total, dan terpaksa harus menjalani takdir seperti ini selama beribu tahun lamanya.
Tidak banyak, atau memang sengaja Tora yang enggan bercerita. Sejak awal, yang paling disorot hanyalah Tuan Minos. Padahal dirinya pun korban atas kejahatan dendam yang dilakukan penyihir itu.
“Ysandre Hellsong. Penyihir biadab itu bukankah sudah hilang dari peradaban karena memilih bunuh diri? Tapi—”
“Tutup mulutmu!” bentak Tuan Minos yang sukses membuat Tora sedikit Terperanjat.
“Telingaku tidak sudi mendengar nama menjijikkan itu!” tambahnya sambil menggeram kesal.
Saat sempurna matahari tenggelam dan membuat suasana menjadi gelap gulita, tangan Tuan Minos terulur ke depan, berusaha menyentuh pagar gerbang yang menjulang tinggi di depannya.
“Tuan, kau mau apa?”
Menoleh sambil menghunuskan tatapan tajam, Tuan Minos menyentak, “Kau tidak dengar apa yang kukatakan sebelumnya? Aku akan pergi menjemput Naina! Penyihir sialan itu telah menculiknya. Aku bisa pastikan itu.”
Tora tidak tahu bagaimana Tuan Minos tahu bahwa pelaku penculikan tersebut adalah Naina, tapi yang dirinya pikirkan saat ini adalah aksi nekat yang akan dilakukan Tuan Minos.
Sudah jelas bahwa resiko saat pergi dari kastil ini begitu tinggi. Amat berbahaya dan sangat tidak disarankan, tentunya Tuan Minos tahu betul akan hal itu.
“Pagi tadi aku sempat mencium bau kehadirannya. Aroma khas yang tiba-tiba memasuki kastil, aku sangat yakin bahwa itu adalah miliknya. Ini salahku, seharusnya sejak awal aku lebih menyadari hal itu. Tapi ... Itu tak penting lagi, karena sekarang ku akan tetap pergi ke sana dan menemui bajingan itu!”
“Tuan, kumohon jangan gegabah!” Tora sudah terbang mengepak-ngepak, berpindah dari satu sisi ke sisi bahu Tuannya tersebut.
Tapi tampaknya pria dengan tekad yang kuat itu tak menghiraukan. Apa yang dikatakan Tora ia anggap bagai angin lalu.
Sampai ketika pintu gerbang itu hendak dibuka, Tora segera mendarat pada pergelangan tangan Tuan Minos. Berusaha menarik perhatiannya, tapi apa yang dilakukannya saat ini langsung mendapat tatapan penuh kebencian.
“Tolong pikirkan kembali, Tuan. Jika kau memaksa ingin pergi dari sini, mungkin sebelum kau sampai di sana, kau sudah mati dalam perjalanan nanti,” ucap Tora dengan serius, berharap lawan bicaranya itu mau berubah pikiran.
Tuan Minos merapatkan jari jemarinya pada besi berkarat yang menjadi pegangannya, dinginnya menembus tulang yang mencuat keluar dari kulit. Perlahan kepalanya menunduk, mencoba berpikir jernih.
Tapi segalanya justru terasa semakin rumit. Dirinya tidak punya pilihan yang menguntungkan di sini. Tetap tinggal di sini tanpa tahu kejelasan atau nekat pergi menjemput Naina, keduanya memiliki resiko meski dengan skala yang berbeda.
Tapi entah mengapa, dirinya merasa harus pergi ke sana. Meski nyawa yang menjadi taruhannya, Tuan Minos tetap tak peduli.
“Tuan, lebih baik kita pikirkan cara lain. Siapa tahu Naina akan kembali nanti? Seperti hari itu, dia mendadak menghilang tapi dia tetap kembali. Jadi—”
“Kali ini aku tidak senaif itu, Tora!” sembur Tuan Minos, pandangannya ia seret kembali pada gagak itu.
Dengan mata merahnya yang melotot, Tuan Minos kembali bicara, “Aku melihat sendiri bahwa penyihir bajingan itu ada di sana! Sudah jelas Naina dalam bahaya. Dan kau mau aku tetap di sini dan menunggu seperti orang dungu?”
Ditatap seperti itu, Tora jadi gelagapan. “Tuan, aku tidak bermaksud—”
“Kau mau aku merasakan hal yang sama seperti dulu lagi? Kehilangan cukup membuatku gila. Dan aku tidak mau merasakan hal itu untuk kesekian kalinya. Kau sendiri yang bilang bahwa Naina itu berbeda, aku yakin dia bisa membebaskanku dari kutukan ini. Jadi, apa salahnya jika aku berusaha untuk menyelamatkannya?”
Mendengar Tuan Minos yang bercerocos panjang lebar, Tora pun langsung mengembuskan napas. Dirinya tidak bisa berkata-kata lagi.
Jika hal itu memang sangat ingin dilakukannya, maka Tora tidak bisa berbuat banyak. Hanya mampu berharap bahwa segalanya akan menjadi baik-baik saja.
“Baiklah, Tuan. Kalau begitu, izinkan aku menemanimu. Ayo kita sama-sama merebut Naina kembali dari penyihir biadab itu,” putus Tora, lantas kembali bertengger pada bahu Tuan Minos.
Tanpa memberi jawaban, Tuan Minos pun perlahan mulai membuka gerbang tersebut. Baru sedikit gerbang itu terbuka, perasaan tak nyaman yang menggeliat membuat bulu judulnya meremang.
WWUUUSH!
Dahsyat sekali! Angin yang entah datangnya dari mana mendadak muncul dan berhembus tepat pada Tuan Minos, Tora dengan kaki-kaki kecilnya berusaha sebisa mungkin mencengkram kain jubah agar tidak terpental.
Seolah angin tersebut datang memang diperuntukkan untuk Tuan Minos. Debu dan dedaunan kering yang ikut berterbangan sedikit membuat matanya kelilipan.
Setelah angin itu mulai mereda, jubah yang dikenakannya tak lagi terseok-seok dan dedaunan kering tak lagi memutar di udara, Tuan Minos menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar melewati garis gerbang.
Tepat ketika permukaan kakinya menyentuh tanah di luar area kastil, detik itu juga Tuan Minos merasa tubuhnya tersetrum listrik. Sekejap tubuhnya bergelinjang, luka bakar maupun borok yang menyeluruh pada sekujur tubuh tampak menyala-nyala, layaknya lava yang meluber dari letupan gunung.
“Tuan! Kau baik-baik saja?!” Tora panik bukan main, terpaksa dirinya terbang menjauh agar tak terkena percikan dari aliran nanah yang meletup-letup.
Bahkan saking panasnya, asap keluar dari kulit pria itu. Sambil sesekali meringis, Tuan Minos menahan rasa sakit yang sudah menjalari sekujur tubuhnya.
Saat tubuh Tuan Minos tersungkur ke tanah dan langsung duduk menggunakan kedua lututnya, Tora makin kelimpungan. Tidak ada yang bisa dimintai tolong di sini, sementara perjalanan menuju tujuan tentu masih jauh.
“Tuan, apa sebaiknya kita—”
“Aku masih bisa bertahan!” potong Tuan Minos sambil perlahan merangkak untuk berdiri.
“... Ambilkan saja kalung aegis di dalam laci khusus,” titahnya kemudian.
“Tapi Tuan, kalung itu...”
“Cepat ambilkan saja!” teriak Tuan Minos yang membuat Tora langsung melesat pergi.
Benar-benar bencana. Kalung aegis itu hanya bisa dipakai dalam keadaan genting. Bukan berarti apa yang sedang dialami Tuan Minos saat ini tidak genting, tapi dua hal penuh resiko itu sedang dilakukan secara bersamaan olehnya.
Dan itu tentu akan membawanya pada petaka jika sampai melanggar aturan khusus. Kalung aegis menjadi penangkal sesaat, setelahnya mesti diistirahatkan selama seribu tahun. Jika tidak, maka energi yang dikeluarkannya akan berbalik menyerang sang pemakai.
Jika memang itu terjadi, maka persis hal di masa lalu akan benar-benar terulang kembali.
***
“Serahkan rambut yang sudah kau bawa padaku,” titah rusa raksasa yang menjadi Tetua di hutan tersebut.
Beberapa saat lalu, ketika terjebak dalam kabut, Naina dituntun oleh salah satu binatang berbulu putih. Kuda bersayap itu mengajaknya untuk segera bergegas pergi, alhasil saat ini Naina sudah berada dalam hutan suci yang tak bisa dimasuki oleh siapapun yang berada di luar portal.
Dengan perasaan yang masih menyisakan banyak tanda tanya dalam hati, Naina pun menyerahkan beberapa helai rambut milik Tuan Minos padanya. Sama seperti hari itu, apa yang akan dilakukannya di sini ditonton oleh penghuni hutan.
Sementara rusa raksasa itu mulai mencelupkan rambut milik Tuan Minos ke dalam air khusus yang mengalir di bawah batu melayang, Naina yang duduk di atas batu tersebut hanya diam mengamati. Sampai akhirnya rambut miliknya pun diminta, lantas digabungkan dengan rambut Tuan Minos di sana.
Menjadi segumpal. Berpadu, menyatu dalam pusaran air yang membuat segumpal rambut itu tersedot ke dalam secara berputar-putar. Sempurna rambut itu menghilang dari dalam pandangan, di detik yang sama Naina melihat dada kanannya bersinar terang, kemudian meredup.
“Dengan ini, ikatan kau dengan pria buruk rupa itu sudah berakhir. Kemanapun kau melangkah pergi, dia tak akan bisa mengintaimu lagi,” ujar rusa tersebut sambil memasang senyum penuh arti.
***