Keberanian Dila, seorang gadis tunarungu yang menolong pria tua penuh luka, membawanya pada nasib cinta bagai Cinderella untuk seorang anak pungut sepertinya.
Tuduhan, makian, cacian pedas Ezra Qavi, CEO perusahaan jasa Architects terpandang, sang duda tampan nan angkuh yang terpaksa menikahinya. Tak serta merta menumbuhkan kebencian di hati Dilara Huwaida.
"Kapan suara itu melembut untukku?" batinnya luka meski telinga tak mendengar.
Mampukah Dila bertahan menjadi menantu mahkota? Akankah hadir sosok pria pelindung disekitarnya? Dan Apakah Dila mempunyai cerita masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27. LANGKAH AWAL DILARA
"Den!" Seru Bi Inah.
"Apa Bi?" Ezra menoleh.
"Jangan kasar, bagaimanapun Non Dila itu istri Den Ezra. Suami juga punya kewajiban terhadap istri loh ... salah satunya menghormati dalam keadaan apapun, mendengarkan perkataan serta menghargai pendapatnya," tegur Bi Inah tak suka sikap Ezra.
"Bi, tausiahnya nanti lagi. Aku pamit," Ezra balik badan mendekat pada Bi Inah lalu mencium tangannya.
"Ya Allah anak ganteng, sing sholeh," ucap Bi Inah mengusap kepala Tuan Mudanya dengan sayang.
"Aamiin ... Lex ayo, jangan lupa salim sama Bibi," Ezra meminta Rolex mengikuti kebiasaan dirinya.
"Heran, sama Bi Inah dia hormat banget. Sama Non Dila ko gitu, padahal istrinya." Batin Rolex saat salim pada sang ART yang telah mereka anggap sebagai Ibu.
Nyonya muda El Qavi yang statusnya hanya di atas kertas, melihat pemandangan meneduhkan dari sosok di hadapannya itu.
"Biarlah Abang mengacuhkan aku, asal jangan beliau yang sudah membesarkan Abang dengan penuh kasih," Dila membatin.
Mita menceritakan sekilas tentang kondisi lingkungan di PIK Tower saat mereka bercengkrama di kamar kemarin. Termasuk kisah Bi Inah yang mengurus kedua nya sejak sang ibu meninggalkan kediaman El Qavi.
"Jangan kemana-mana ya kamu," ucapnya pada Dila.
Gadis belia yang Ezra maksud mengangguki perintah darinya. Ia pun masih berharap, dapat mencium tangan suaminya sebelum beliau pergi namun harapan itu pupus kala Ezra mengabaikan tangan kanan Dila yang menggantung di udara, begitu saja.
"Sabar ya Non," Bi Inah mengusap pundak Dilara.
"Iya," jawab Dila pelan.
"Eh, bisa bicara Non?" tanya Bi Inah sumringah.
"Bisa, tapi sedikit dan kurang tegas karena aku tidak dapat mendengar lafal kata yang benar," ujar Dilara.
"Tapi Bibi ngerti meski anu, agak sumbang yaa mungkin karena perlu dilatih Non," Bi Inah mencoba memberi saran.
"Aku akan ke Dokter THT, Bi. Tapi belum berani izin sama Abang," imbuh Dilara.
"Bilang aja, pasti boleh kok, Nak Ezra itu aslinya baik. Eman, welas asih cuma ya gitu kadang songong. Di maklumin ya Non, kurang kasih sayang wanita," kekeh Bi Inah seraya menulis, membuat senyum Dilara terbit kala membacanya.
"Ayu begini ko gak di lirik, matamu pancen ketutup setan," sambung Bi Inah lagi yang kali ini justru mengundang tawa Dila.
"Bi, jangan bilang aku bisa bicara ya. Hanya Bibi dan Pak Rolex saja yang tahu. Abang tidak, sengaja, agar aku bisa memberinya kejutan." Dilara kembali menulis kalimat panjang di atas catatan miliknya.
"Oh iya, siap Non," balas Bibi tepat dibawah kalimat Dila, sambil bebenah bekas Ezra sarapan tadi.
"Bi, tahu nomer telepon Abang? atau Pak Rolex?" tanya Dila.
"Tahu Non, mau kirim pesan? atau telpon?" tulis Bi Inah lagi, pada catatan Dila.
"Aku mau minta izin, ingin melihat ke Ruko yang di lantai dasar. Mau beli handphone karena aku belum pernah punya benda itu." Dilara menulis kembali.
"Oh ya Allah, nanti Bibi sampaikan ya Non. Sebentar, Bibi ambil ponsel dulu ... jadul sih, cuma bisa buat telpon tapi lumayan masih dapat dipakai." Bi Inah meninggalkan ruang makan menuju kamar.
Nyonya muda yang tak diakui oleh Tuan mudanya itu setia menunggu di sofa ruang keluarga. Ia mengagumi interior ruangan demi ruangan di hunian yang Ezra miliki.
"Semuanya indah dan lux," lirih Dila.
Tak lama kemudian, wanita yang Ezra hormati menghampirinya. Beliau menelpon Rolex dan langsung mendapatkan jawaban iya dari sang Tuan Muda.
"Boleh, Non. Kata Den Ezra." Bibi menulis, saat sambungan telah terputus.
Ingin rasa hati bersorak, namun Dilara enggan. Dia masih sungkan, hanya senyum manis yang dia tunjukkan pada Bibi sebagai ucapan terimakasih.
Tidak ingin membuang waktu, gadis belia dengan keterbatasan yang dimiliki itu pun bergegas menuju kamarnya. Mengganti baju, tak lupa membawa serta dompetnya.
"Aku akan pakai uang mahar saja. Jika sudah ada ponsel, aku akan mendaftar ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisiku serta menyusun langkah agar aku dapat berkomunikasi lebih baik lagi. Ayo, semangat Dilara," gumam Dila menyemangati dirinya saat membuka handle pintu kamarnya.
"Mahar adalah hakku, untuk kebutuhanku. Aku sudah bertekad, tak akan meminta padanya jika bukan tangan dia sendiri yang memberikan. Eh, juga harus ikhlas saat memberikannya padaku," Dilara berazam dalam hati.
Setelah pamit pada Bi Inah, Dilara keluar dari unitnya menuju lift yang akan membawa gadis itu menuju lantai dasar.
Matanya takjub melihat deretan toko di kanan kirinya, yang memajang berbagai jenis ponsel keluaran terbaru, saat Dilara tiba di lokasi yang ia tuju.
Gadis itu sudah mengantongi spesifikasi apa saja yang dia butuhkan. Pilihannya jatuh pada smartphone android keluaran terbaru.
Merah, menjadi warna favorit casing ponsel miliknya. Setelah membayar nominal yang disepakati dan tak lupa membeli kartu perdana dengan deretan angka yang mudah diingat, Dila kembali ke unitnya segera.
Jemari lentik itu menekan bel di depan unit Ezra. Ia lupa menanyakan pass code kediaman sang suami, pagi tadi.
"Loh Non, cepat sekali. Memang sudah dapat?" tanya Bi Inah saat membuka pintu, mendapati Dila yang telah kembali.
"Dapat," jawab Dila seraya mengangkat barang bawaanya dengan tangan kanan.
"Wah, Non Dila pinter ya," seru Bibi mengangkat jempol dan mempersilahkan majikannya masuk.
"Dila izin ke kamar ya Bi, mau duha dulu dan melanjutkan mempelajari tentang ini agar semua urusanku lancar." Dila kembali menulis dan menunjukkan pada Bi Inah yang masih setia menemaninya berdiri di ruang keluarga.
"Oh Nggih, monggo Non." balas Bi Inah mengangguk, dan meninggalkan tempat itu.
Saat tiba di kamar, ia bersorak melompat kegirangan. Hati Dilara bahagia bukan kepalang, impiannya terwujud. Ia lalu segera berwudhu dan melakukan niatan kegiatan seperti yang ia ucapkan tadi.
Setelah serangkaian aktivitas ibadah selesai. Dila mulai mempelajari ponsel, laptopnya ia nyalakan, searching rumah sakit terbaik untuk memeriksa kondisi pendengarannya.
Rekomendasi muncul, dengan cekatan, gadis itu mencatat satu persatu nomor kontak rumah sakit yang lokasinya dekat dengan kediaman saat ini.
"Alhamdulillah, dua rumah sakit dengan fasilitas terbaik. Semoga Abang mengizinkan," Dila berharap dalam hati. Ia lalu melanjutkan mencari lowongan pekerjaan yang bisa dilakukan secara online agar tak banyak berinteraksi sosial selama kondisinya belum memungkinkan.
...***...
Sebelumnya di EQ Building, Jakarta.
Rolex menerima panggilan telepon saat akan memasuki ruang meeting. Ia kemudian mendengarkan dengan seksama perkataan Bi Inah di ujung sana.
"Bos, Nona ingin beli ponsel di bawah, boleh?" tanya Rolex saat Ezra hendak mencapai pintu ruang meeting.
"Buat apa? padahal bisa mendengar pun tidak," cibir Ezra.
"Kan gak melulu telpon, bisa untuk berkirim pesan atau melakukan hal lainnya," ungkap Rolex.
"Sesukanya lah," balas Ezra asal.
Rolex menyampaikan pada Bi Inah bahwa Ezra mengizinkan Dilara pergi.
Saat meeting berlangsung, Rolex baru ingat mengapa tidak bertanya pada Bibi apakah Nona memiliki uang atau sebaliknya.
Ia meraih ponsel dari saku dalam jas, mengirim pesan pada Bibi yang ternyata sang informan pun tidak tahu jawabannya.
"Nona, jadi beli handphone gak ya?" Rolex merasa bersalah akibat kecerobohannya.
.
.
..._________________________...
...GO, Dila Go.......
⭐⭐⭐⭐⭐