NovelToon NovelToon
My Love Story

My Love Story

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintapertama / Teen School/College
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Rian solekhin

"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"

Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.

Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.

Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2: Ketenangan sebelum badai

"Maaf," ucapnya, hampir berbisik.

Rei menaikkan alis, seolah terkejut mendengar kata itu. Namun, senyum dingin segera kembali di wajahnya.

"Kau minta maaf?" tanya Rei, suaranya pelan tapi jelas terdengar penuh kepuasan. "Bagus. Sudah seharusnya begitu."

Ryan menunduk. "Aku… akan bermain bersama kalian," lanjutnya, suaranya masih gemetar. Dia merasa kecil, terjepit di antara mereka, tanpa jalan keluar.

Ivan tertawa kecil, melepaskan kerah Ryan. "Nah, itu lebih baik."

"Jadi, mari kita mulai," Rei menepuk bahu Ryan dengan kasar. "Kau tahu aturannya, kan?"

Ryan mengangguk lemah. Tak ada pilihan lain. Mereka akan bermain, seperti yang selalu mereka lakukan. Permainan di mana dia selalu kalah, dan mereka selalu tertawa di atas rasa malunya.

Tapi kali ini, dia tidak punya energi untuk melawan atau lari.

Puncaknya, dia di pukuli di gang.

(Baca Plorog)

...----------------...

Dua hari berlalu, tapi bayang-bayang insiden itu tak pernah hilang dari pikiran Ryan. Setiap kali melangkah di lorong sekolah, rasanya seperti semua orang tahu apa yang terjadi. Tatapan-tatapan itu menghujamnya, penuh ejekan yang tak pernah diucapkan. Tak ada yang peduli. Tak satu pun.

Di rumah, ia berusaha bersikap biasa. Saat makan malam, duduk berhadapan dengan ibunya yang tenggelam dalam layar ponselnya. Tangannya gemetar saat memegang sendok, namun ibunya tak memperhatikan.

"Bagaimana sekolah hari ini?" tanya ibunya, tanpa mengangkat kepala.

"Baik," jawab Ryan, singkat, tanpa emosi.

Ibunya mengangguk, kembali fokus ke dunianya sendiri.

Ryan menunduk, mengaduk makanannya. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi suaranya tertahan. Ia tahu, bahkan jika ia bicara, tak ada yang akan berubah.

Hari Sabtu datang. Ryan bangun dan menatap wajahnya di cermin kamar mandi. Kantung mata menghitam. Tidur bukan lagi pelarian, setiap malam mimpi buruk menghantamnya. Dia hanya berdiri di depan cermin, memaksa senyum yang tak pernah sampai ke hatinya.

"Semangat, Ryan," bisiknya, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri, meski tahu itu bohong.

Saat sampai di sekolah, suasana tampak tenang. Tidak ada tanda-tanda Rei atau Ivan di sekitar. Ryan sedikit lega, meski hatinya tetap penuh waspada.

Di dalam kelas, pelajaran Matematika dimulai. Ryan mencoba fokus pada angka-angka di papan tulis, tapi pikirannya terus melayang. Setiap suara langkah di luar kelas membuat tubuhnya tegang, seolah menunggu sesuatu yang buruk terjadi.

Saat bel istirahat berbunyi, Ryan memutuskan pergi ke kantin lebih awal. Ia mengambil tempat duduk di sudut, menjauh dari keramaian. Bekal yang dibawa ibunya pagi tadi tergeletak di depannya, tapi tak ada nafsu makan.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Ivan duduk di depannya, senyum licik menghiasi wajahnya.

"Hai, Ryan," sapanya dengan nada yang sudah Ryan kenal.

Ryan berusaha tetap tenang. "Hai," jawabnya singkat.

"Sendirian? Lagi?" Ivan bertanya sambil memainkan sedotannya.

Ryan mengangguk. "Aku suka sendiri."

Ivan tertawa pelan, tatapannya beralih ke bekal Ryan. "Bekal dari mama, ya?"

Ryan hanya mengangguk, tidak ada gunanya menjawab lebih banyak.

Tanpa permisi, Ivan meraih kotak bekal Ryan dan membuka tutupnya. "Hmm, lumayan nih kayaknya."

"Hei, kembalikan," kata Ryan, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar.

"Tenang aja," sahut Ivan sambil tersenyum. Tapi bukannya mengembalikan, dia membalik kotak bekal itu, menjatuhkan sandwich ke lantai.

Ryan terdiam, menatap makanannya tergeletak di lantai yang kotor. "Kenapa kau lakukan itu?"

Ivan tersenyum dingin. "Tangan gw licin."

Tiba-tiba, Rei muncul di samping Ivan, tatapannya menelusuri kejadian itu tanpa ekspresi. "Ada masalah di sini?"

"Nggak, cuma kecelakaan kecil," sahut Ivan, tertawa kecil.

Ryan merasakan kemarahan dan ketakutan bercampur aduk di dalam dadanya. "Tolong, pergi."

Rei mendekatkan wajahnya ke Ryan. "Kau nyuruh kami pergi?"

"Aku cuma mau sendiri," jawab Ryan, suaranya hampir tak terdengar.

Rei menatapnya lama. "Kenapa kau selalu menghindar? Kami cuma mau berteman."

"Kalian bukan teman," kata Ryan, tanpa sadar kata itu keluar begitu saja.

Ivan tersenyum tipis. "Aduh, kami sakit hati nih. Kami berusaha baik padamu."

"Kalau begitu, tinggalkan aku sendiri," pinta Ryan, lebih berani dari biasanya.

Rei menghela napas, seolah kecewa. "Sayang sekali. Kupikir kita bisa akrab."

Mereka tertawa, lalu beranjak pergi. Sebelum itu, Ivan menepuk bahu Ryan keras. "Sampai ketemu lagi, teman."

Setelah mereka pergi, Ryan merasa lututnya lemas. Ia menunduk, memungut sandwich yang jatuh, tangan gemetar. Orang-orang di kantin menatapnya, sebagian dengan kasihan, sebagian lagi acuh tak acuh. Tak ada yang bergerak untuk membantunya.

"Ahh... aku lelah?" bisiknya, menahan air mata yang hampir tumpah.

Ryan tahu, dalam hatinya, ini belum berakhir. Mereka belum selesai dengannya.

...----------------...

Ryan duduk sendirian di kelas pada jam terakhir, kepalanya masih terngiang-ngiang kejadian di kantin tadi. Ia memegang pensil, tapi tak satu pun kata atau angka yang ia tulis. Pikiran itu terus berputar, menyiksa.

Saat bel berbunyi, semua orang bergegas keluar. Ryan mengemasi barang-barangnya dengan perlahan, berharap bisa menghindari kerumunan. Namun, suara yang ia kenal terlalu baik muncul dari pintu.

"Ryan, kau nggak buru-buru?" Suara Rei menggema di belakangnya, disusul dengan Ivan yang berdiri di samping.

Ryan menghela napas, kepalanya menunduk. "Aku cuma mau pulang," jawabnya, tanpa menoleh.

"Ah, masa? Kami juga," Rei mendekat, langkah kakinya terdengar berat. "Mungkin kita bisa pulang bareng?"

Ryan tahu apa artinya itu. Bukan 'pulang bersama', tapi lebih kepada 'pulang di bawah tekanan'. Ia bisa merasakan ketakutan yang sudah biasa muncul kembali, menggigit dari dalam.

"Kalian pulang saja dulu," katanya pelan, berusaha terdengar tenang, meski di dalam, jantungnya berpacu.

Ivan tertawa kecil, suaranya dingin. "Jangan begitu. Kami cuma mau ngobrol kok."

Rei menepuk bahu Ryan dengan keras. "Ayo, jangan jadi pengecut."

Ryan akhirnya berdiri, tak punya pilihan. Ia keluar kelas dengan Rei dan Ivan di belakangnya, mengintimidasi tanpa harus berkata banyak. Setiap langkah mereka terasa seperti pukulan kecil di punggung Ryan, semakin menambah beban yang sudah ia rasakan sepanjang hari.

Di luar sekolah, mereka mulai berjalan menuju gang kecil yang biasa mereka lalui. Sebuah jalan pintas, atau lebih tepatnya, jalan yang selalu jadi tempat penyiksaan mental bagi Ryan. Setiap kali mereka melewati sana, sesuatu buruk terjadi.

"Jadi, Ryan," mulai Rei, sambil memasukkan kedua tangannya ke saku. "Kau mau cerita apa hari ini? Atau… kami yang akan mulai?"

Ryan tetap diam. Ia tahu apa pun yang ia katakan akan berakhir buruk. Sementara itu, Ivan berjalan di sebelahnya, melempar senyum sinis setiap kali Ryan menoleh.

Tiba-tiba Ivan meraih tas Ryan, menariknya kasar.

"Lihat ini, apa yang kau bawa kali ini?" Ivan tertawa sambil membongkar isi tas Ryan.

Ryan hanya bisa diam, berusaha menahan marah dan frustasi yang meluap dalam dirinya. Ivan mengeluarkan buku dan barang-barang dari tas Ryan, melemparkannya ke tanah dengan cengiran puas.

"Kenapa kau selalu diam, Ryan?" tanya Rei sambil melangkah mendekat, wajahnya serius. "Kau pengecut, ya?"

Ryan menggertakkan giginya, tapi tak mengatakan apa-apa. Semua yang terjadi membuatnya merasa tak punya pilihan. Mereka ingin reaksinya, mereka ingin membuatnya pecah.

"Jawab, Ryan," tekan Rei lagi, lebih dekat sekarang, suaranya dingin dan penuh ejekan.

"Apa yang kau mau?" tanya Ryan akhirnya, suaranya rendah, hampir putus asa.

Rei tersenyum kecil. "Kami cuma mau main-main. Kau terlalu serius."

Ivan tertawa, masih sibuk dengan tas Ryan. "Iya, rileks lah. Hidup itu bukan buat diseriusin."

Ryan merasakan amarah yang mulai membara di dadanya. Tapi, seperti biasa, ia menelannya kembali. Tak ada gunanya. Mereka lebih kuat. Mereka selalu menang.

Rei menepuk bahu Ryan lagi, kali ini lebih keras. "Santai aja, Ryan. Kami cuma bercanda. Jangan terlalu dipikirin."

Ryan tak menjawab. Ia hanya ingin ini segera selesai.

Namun, sebelum mereka pergi, Ivan meraih botol minum dari tas Ryan, membukanya, dan menuangkannya ke kepala Ryan tanpa peringatan. Air dingin langsung membasahi rambut dan seragamnya.

"Ups, maaf, tergelincir," kata Ivan, tertawa terbahak-bahak.

Ryan membeku, air menetes dari wajahnya ke tanah. Hatinya terasa hancur, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Lagi-lagi, ia kalah. Lagi-lagi, ia menjadi bahan tertawaan mereka.

"Sudahlah, kita pulang," kata Rei akhirnya, puas dengan apa yang terjadi. Ia berjalan pergi dengan santai, diikuti oleh Ivan yang masih tertawa.

Ryan berdiri di sana, basah kuyup, menatap tanah di bawah kakinya. Tak ada satu pun yang lewat untuk melihat, tak ada yang peduli.

"Kenapa?" bisiknya pelan, suaranya tertelan oleh angin dingin yang berhembus.

1
TAG
semangat der.. keren loh bahasanya
TAG: oke tapi gak sampe langsung tamat ya wkwk
RYN: baca aja weeh, gak usah mikir/Proud/
total 4 replies
TAG
belum 5 menit /Grin/
RYN: apanya?
total 1 replies
TAG
belajar silat harusnya si ryan/Grin/
Emi Lia Wulandari
lanjuttttt .. semangat kak
Emi Lia Wulandari: sama kak.. aku kadang nulis juga gitu🤣🤣🤣
RYN: thanks udah support walaupun nulis ni Bab setengah turu/Facepalm/
total 2 replies
Emi Lia Wulandari
semangat thor
putri cobain 347
absen kak 🙏🙏
TAG
Oke sih. tapi harus banyak mikir kalo baca yang puitis gini /Smile/
TAG: Ok gw ikutin
RYN: pelan-pelan aja... btw nanti kedepan nya banyak dialog nya/CoolGuy/
total 2 replies
TAG
titiknya satu aja sih kayanya
RYN: makasih udah ngasih tau
RYN: wkwk ketinggalan koma nya/Facepalm/
total 2 replies
nao chan
wah novel tentang pembulian seru juga
RYN: jangan lupa ninggalin jejak like nya/Proud/
total 1 replies
putri cobain 347
absen kk
RYN: oke, semangat/CoolGuy/
total 1 replies
Cherry
Justru enak pake titik koma yang jelas. Kalau ga pake, bacanya capek ga ada jeda. 😁
RYN: jangan berlebihan please/Facepalm/ gak nyambung itu
total 1 replies
Cherry
Kalau aku kadang malah dikobok pake tangan. Jorok 😂
Cherry: Ok ok
RYN: siap. Besok udah selesai tenang aja./Proud/ file jya masih progres ku revisi.
total 9 replies
Cherry
So farr.. aku suka sama ceritanya. Penuh motivasi dan filosofi hidup yang mendalam. BTW, dah coba dengar lagu Jepang belum? Terutama genre alternatif rock 😁
RYN: ya... BTW say suka beberapa lagu Jepang judul nya 'aimyon—anone', 'Yuika—Sukidakara' dan 'mosawo—koiiro'

sudah setengah tahun saya jatuh cinta pada 3 lagu itu
Cherry: Karyaku juga belum bener, tapi kamu dah baca. Makasih ya
total 4 replies
Cherry
Belum ada adegan dia minum cokelat panas, sudah tersedak. Mungkin kalau sebelumnya di jelasin seperti “ia meminum cokelat panas sambil menunggu pertanyaan berikutnya, juga untuk menghilangkan ketegangan di hatinya,” bakal lebih nyambung untuk adegan berikutnya yang tersedak itu. 😁
RYN: lupa kirim kayak nya versi full revisi nya, karena 3 kali revisi/Frown/
total 1 replies
Cherry
Itu bukan tebak-tebakan.. tapi sejenis Truth or Dare hanya saja ga ada tantangannya, cuma kejujuran. 😁
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂
RYN: terinspirasi dari berbagai manhwa sih/Sweat/ kayak manhwa 'The Girl From Random Chatting'
total 1 replies
Cherry
Kyk aku.. 24 jam, musik apapun selalu terngiang. Mau saat dengar musik atau enggak, selalu nempel dibenak. Walau ga keingat lagu, ya pikiran ramai dengan masalah atau ide-ide novel atau gambar lainnya. Pokonya isi kepala ga pernah tenang. 😁
Cherry: Tapi bikin ga fokus, kadang. 😁
RYN: saya menulis juga pake musik agar dapat momen nya/Sweat/
total 2 replies
Cherry
Pulang-pulang, emaknya ngambek. Ya, ga tau kenapa aku merasa walau terkesan cuek ibunya MC tetep peduli sama anaknya. Buktinya tetep nyiapin sarapan, bekal makan siang, dan nanyain keadaan anaknya di sekolah. Mungkin aja kalau tahu anaknya ga pulang, bakal habis dimarahin. 😁
RYN: Nah di sini letak Mistery nya, bakal ku buat rumit. clue nya bunuh diri. silahkan berfantasi.
total 1 replies
Cherry
Ini kan dah pernah dibahas di episode dia duduk di taman sekolah. Kenapa Hana nanyain musik lagi? Dia lupa kah?
RYN: yah telat./Sweat/ udah ku revisi lagi untuk ke sekian kali nya.

kalau gaya tulisan ku aneh di bawah itu. sebenernya habis nulis, harus totalitas jangan ada celah. aneh pas gw baca jir/Facepalm/
Cherry: Ga perlu sempurna, yang penting jadi.
Kelamaan nunggu sempurna mah, ga bakal pernah beres.
total 3 replies
Cherry
Beneran Chopin dong.. 😂
Cherry
Ini juga, ketulis dua kali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!