"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Ketenangan sebelum badai
"Maaf," ucapnya, hampir berbisik.
Rei menaikkan alis, seolah terkejut mendengar kata itu. Namun, senyum dingin segera kembali di wajahnya.
"Kau minta maaf?" tanya Rei, suaranya pelan tapi jelas terdengar penuh kepuasan. "Bagus. Sudah seharusnya begitu."
Ryan menunduk. "Aku… akan bermain bersama kalian," lanjutnya, suaranya masih gemetar. Dia merasa kecil, terjepit di antara mereka, tanpa jalan keluar.
Ivan tertawa kecil, melepaskan kerah Ryan. "Nah, itu lebih baik."
"Jadi, mari kita mulai," Rei menepuk bahu Ryan dengan kasar. "Kau tahu aturannya, kan?"
Ryan mengangguk lemah. Tak ada pilihan lain. Mereka akan bermain, seperti yang selalu mereka lakukan. Permainan di mana dia selalu kalah, dan mereka selalu tertawa di atas rasa malunya.
Tapi kali ini, dia tidak punya energi untuk melawan atau lari.
Puncaknya, dia di pukuli di gang.
(Baca Plorog)
...----------------...
Dua hari berlalu, tapi bayang-bayang insiden itu tak pernah hilang dari pikiran Ryan. Setiap kali melangkah di lorong sekolah, rasanya seperti semua orang tahu apa yang terjadi. Tatapan-tatapan itu menghujamnya, penuh ejekan yang tak pernah diucapkan. Tak ada yang peduli. Tak satu pun.
Di rumah, ia berusaha bersikap biasa. Saat makan malam, duduk berhadapan dengan ibunya yang tenggelam dalam layar ponselnya. Tangannya gemetar saat memegang sendok, namun ibunya tak memperhatikan.
"Bagaimana sekolah hari ini?" tanya ibunya, tanpa mengangkat kepala.
"Baik," jawab Ryan, singkat, tanpa emosi.
Ibunya mengangguk, kembali fokus ke dunianya sendiri.
Ryan menunduk, mengaduk makanannya. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi suaranya tertahan. Ia tahu, bahkan jika ia bicara, tak ada yang akan berubah.
Hari Sabtu datang. Ryan bangun dan menatap wajahnya di cermin kamar mandi. Kantung mata menghitam. Tidur bukan lagi pelarian, setiap malam mimpi buruk menghantamnya. Dia hanya berdiri di depan cermin, memaksa senyum yang tak pernah sampai ke hatinya.
"Semangat, Ryan," bisiknya, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri, meski tahu itu bohong.
Saat sampai di sekolah, suasana tampak tenang. Tidak ada tanda-tanda Rei atau Ivan di sekitar. Ryan sedikit lega, meski hatinya tetap penuh waspada.
Di dalam kelas, pelajaran Matematika dimulai. Ryan mencoba fokus pada angka-angka di papan tulis, tapi pikirannya terus melayang. Setiap suara langkah di luar kelas membuat tubuhnya tegang, seolah menunggu sesuatu yang buruk terjadi.
Saat bel istirahat berbunyi, Ryan memutuskan pergi ke kantin lebih awal. Ia mengambil tempat duduk di sudut, menjauh dari keramaian. Bekal yang dibawa ibunya pagi tadi tergeletak di depannya, tapi tak ada nafsu makan.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Ivan duduk di depannya, senyum licik menghiasi wajahnya.
"Hai, Ryan," sapanya dengan nada yang sudah Ryan kenal.
Ryan berusaha tetap tenang. "Hai," jawabnya singkat.
"Sendirian? Lagi?" Ivan bertanya sambil memainkan sedotannya.
Ryan mengangguk. "Aku suka sendiri."
Ivan tertawa pelan, tatapannya beralih ke bekal Ryan. "Bekal dari mama, ya?"
Ryan hanya mengangguk, tidak ada gunanya menjawab lebih banyak.
Tanpa permisi, Ivan meraih kotak bekal Ryan dan membuka tutupnya. "Hmm, lumayan nih kayaknya."
"Hei, kembalikan," kata Ryan, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar.
"Tenang aja," sahut Ivan sambil tersenyum. Tapi bukannya mengembalikan, dia membalik kotak bekal itu, menjatuhkan sandwich ke lantai.
Ryan terdiam, menatap makanannya tergeletak di lantai yang kotor. "Kenapa kau lakukan itu?"
Ivan tersenyum dingin. "Tangan gw licin."
Tiba-tiba, Rei muncul di samping Ivan, tatapannya menelusuri kejadian itu tanpa ekspresi. "Ada masalah di sini?"
"Nggak, cuma kecelakaan kecil," sahut Ivan, tertawa kecil.
Ryan merasakan kemarahan dan ketakutan bercampur aduk di dalam dadanya. "Tolong, pergi."
Rei mendekatkan wajahnya ke Ryan. "Kau nyuruh kami pergi?"
"Aku cuma mau sendiri," jawab Ryan, suaranya hampir tak terdengar.
Rei menatapnya lama. "Kenapa kau selalu menghindar? Kami cuma mau berteman."
"Kalian bukan teman," kata Ryan, tanpa sadar kata itu keluar begitu saja.
Ivan tersenyum tipis. "Aduh, kami sakit hati nih. Kami berusaha baik padamu."
"Kalau begitu, tinggalkan aku sendiri," pinta Ryan, lebih berani dari biasanya.
Rei menghela napas, seolah kecewa. "Sayang sekali. Kupikir kita bisa akrab."
Mereka tertawa, lalu beranjak pergi. Sebelum itu, Ivan menepuk bahu Ryan keras. "Sampai ketemu lagi, teman."
Setelah mereka pergi, Ryan merasa lututnya lemas. Ia menunduk, memungut sandwich yang jatuh, tangan gemetar. Orang-orang di kantin menatapnya, sebagian dengan kasihan, sebagian lagi acuh tak acuh. Tak ada yang bergerak untuk membantunya.
"Ahh... aku lelah?" bisiknya, menahan air mata yang hampir tumpah.
Ryan tahu, dalam hatinya, ini belum berakhir. Mereka belum selesai dengannya.
...----------------...
Ryan duduk sendirian di kelas pada jam terakhir, kepalanya masih terngiang-ngiang kejadian di kantin tadi. Ia memegang pensil, tapi tak satu pun kata atau angka yang ia tulis. Pikiran itu terus berputar, menyiksa.
Saat bel berbunyi, semua orang bergegas keluar. Ryan mengemasi barang-barangnya dengan perlahan, berharap bisa menghindari kerumunan. Namun, suara yang ia kenal terlalu baik muncul dari pintu.
"Ryan, kau nggak buru-buru?" Suara Rei menggema di belakangnya, disusul dengan Ivan yang berdiri di samping.
Ryan menghela napas, kepalanya menunduk. "Aku cuma mau pulang," jawabnya, tanpa menoleh.
"Ah, masa? Kami juga," Rei mendekat, langkah kakinya terdengar berat. "Mungkin kita bisa pulang bareng?"
Ryan tahu apa artinya itu. Bukan 'pulang bersama', tapi lebih kepada 'pulang di bawah tekanan'. Ia bisa merasakan ketakutan yang sudah biasa muncul kembali, menggigit dari dalam.
"Kalian pulang saja dulu," katanya pelan, berusaha terdengar tenang, meski di dalam, jantungnya berpacu.
Ivan tertawa kecil, suaranya dingin. "Jangan begitu. Kami cuma mau ngobrol kok."
Rei menepuk bahu Ryan dengan keras. "Ayo, jangan jadi pengecut."
Ryan akhirnya berdiri, tak punya pilihan. Ia keluar kelas dengan Rei dan Ivan di belakangnya, mengintimidasi tanpa harus berkata banyak. Setiap langkah mereka terasa seperti pukulan kecil di punggung Ryan, semakin menambah beban yang sudah ia rasakan sepanjang hari.
Di luar sekolah, mereka mulai berjalan menuju gang kecil yang biasa mereka lalui. Sebuah jalan pintas, atau lebih tepatnya, jalan yang selalu jadi tempat penyiksaan mental bagi Ryan. Setiap kali mereka melewati sana, sesuatu buruk terjadi.
"Jadi, Ryan," mulai Rei, sambil memasukkan kedua tangannya ke saku. "Kau mau cerita apa hari ini? Atau… kami yang akan mulai?"
Ryan tetap diam. Ia tahu apa pun yang ia katakan akan berakhir buruk. Sementara itu, Ivan berjalan di sebelahnya, melempar senyum sinis setiap kali Ryan menoleh.
Tiba-tiba Ivan meraih tas Ryan, menariknya kasar.
"Lihat ini, apa yang kau bawa kali ini?" Ivan tertawa sambil membongkar isi tas Ryan.
Ryan hanya bisa diam, berusaha menahan marah dan frustasi yang meluap dalam dirinya. Ivan mengeluarkan buku dan barang-barang dari tas Ryan, melemparkannya ke tanah dengan cengiran puas.
"Kenapa kau selalu diam, Ryan?" tanya Rei sambil melangkah mendekat, wajahnya serius. "Kau pengecut, ya?"
Ryan menggertakkan giginya, tapi tak mengatakan apa-apa. Semua yang terjadi membuatnya merasa tak punya pilihan. Mereka ingin reaksinya, mereka ingin membuatnya pecah.
"Jawab, Ryan," tekan Rei lagi, lebih dekat sekarang, suaranya dingin dan penuh ejekan.
"Apa yang kau mau?" tanya Ryan akhirnya, suaranya rendah, hampir putus asa.
Rei tersenyum kecil. "Kami cuma mau main-main. Kau terlalu serius."
Ivan tertawa, masih sibuk dengan tas Ryan. "Iya, rileks lah. Hidup itu bukan buat diseriusin."
Ryan merasakan amarah yang mulai membara di dadanya. Tapi, seperti biasa, ia menelannya kembali. Tak ada gunanya. Mereka lebih kuat. Mereka selalu menang.
Rei menepuk bahu Ryan lagi, kali ini lebih keras. "Santai aja, Ryan. Kami cuma bercanda. Jangan terlalu dipikirin."
Ryan tak menjawab. Ia hanya ingin ini segera selesai.
Namun, sebelum mereka pergi, Ivan meraih botol minum dari tas Ryan, membukanya, dan menuangkannya ke kepala Ryan tanpa peringatan. Air dingin langsung membasahi rambut dan seragamnya.
"Ups, maaf, tergelincir," kata Ivan, tertawa terbahak-bahak.
Ryan membeku, air menetes dari wajahnya ke tanah. Hatinya terasa hancur, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Lagi-lagi, ia kalah. Lagi-lagi, ia menjadi bahan tertawaan mereka.
"Sudahlah, kita pulang," kata Rei akhirnya, puas dengan apa yang terjadi. Ia berjalan pergi dengan santai, diikuti oleh Ivan yang masih tertawa.
Ryan berdiri di sana, basah kuyup, menatap tanah di bawah kakinya. Tak ada satu pun yang lewat untuk melihat, tak ada yang peduli.
"Kenapa?" bisiknya pelan, suaranya tertelan oleh angin dingin yang berhembus.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂