Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan - Dia Prioritas Utamamu
Amara baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Dari tadi Alvaro sudah menghubunginya, kalau dirinya nanti akan menjemputnya saat pulang. Meski Amara bilang tidak usah, tapi dalam hatinya ia sangat senang, baru kali ini suaminya seposesif itu setelah tadi siang bertemu di tempat kerjanya. Sepulang menemui Atasan Amara yang bernama Ilham, Alvaro terus intents mengirim pesan pada Amara, menanyakan hal yang mungkin tidak perlu ditanyakan.
“Ra, kamu benar gak mau ikut aku sama Agus?” tanya Dewi.
“Enggak, aku mau pulang cepat, suami mau jemput. Kamu tahu sendiri dari tadi ponselku bunyi terus, dia mau jemput katanya,” jawab Amara.
“Oh ya sudah.”
“Aku duluan ya, Wi?” pamit Amara.
“Oke.”
Amara keluar dari kantornya, ia menunggu suaminya yang katanya akan menjemputnya. Amara menunggu di halte depan kantor, seperti yang tadi ia katakan pada Alvaro.
Sudah hampir satu jam Amara menunggu suaminya, namun Alvaro tak kunjung datang, di hubungi pun tidak ada jawaban dari Alvaro.
“Ara!” panggil Rudi.
“Hai, Rud? Kamu katanya mau ikut Dewi sama Agus?”
“Enggak ah, malas! Masa mau menemani orang pacaran?” jawabnya. “Yuk pulang ikut aku? Kamu nunggu siapa? Mau hujan lho, Ra?”
“Ehm ... aku dijemput suamiku, Rud. Maaf, ya?” tolak Amara sopan.
“Oh ya sudah, tidak apa-apa. Lain kali saja deh,” ucap Rudi.
Amara mengangguk ramah, Rudi pun pulang karena ia gagal mengantar pulang Amara. Sebetulnya Rudi sedikit kecewa karena ditolak Amara untuk mengantarkan pulang, dari kemarin Rudi melihat Amara seperti memiliki masalah yang cukup berat, namun ia tidak mau tahu lebih jauh, karena itu bukan ranahnya.
Hujan turun dengan lebatnya, Amara masih setia menunggu suaminya menjemput. Padahal sudah hampir satu jam dari Rudi menawarinya untuk pulang bersama, akan tetapi ia setia menunggu suaminya yang katanya mau menjemput dirinya. Semua pegawai sudah pulang, hari semakin gelap, dan Amara masih setia menunggu suaminya sendiri, seperti orang yang bodoh.
Amara ingin kembali menelefon suaminya, namun ia rasa percuma saja, karena suaminya tak mungkin menerima telefonnya.
“Kalau tahu gini aku ikut sama Rudi! Niat jemput gak sih tuh orang!” gerutu Amara kesal.
Amara mencoba memesan taksi online, akan tetapi ditolak oleh drivernya dengan alasan hujan lebat dan angin, jadi driver tidak berani untuk menerima orderan.
Tint!!!
Amara terjingkat, sebuah mobil berhenti di depannya. Ia tahu itu mobil siapa, Amara langsug berlari ke arah mobil dengan menutup kepalanya dengan tas. Amara masuk dan menutup pintunya begitu keras.
“Lain kali kalau gak niat jemput, gak usah sok-sokan mau jemput! Kamu tahu aku nunggu kamu sampai dua jam! Aku nolak tebengan teman, jadinya begini? Pesan taksi onlie di tolak mulu! Harusnya aku sudah ada di rumah, sudah istirahat!” ucap Amara kesal.
“Maaf, tadi ada urusan sebentar, sangat mendadak juga,” jawab Alvaro.
Sebetulnya Alvaro sudah sampai di kantor Amara, akan tetapi ia melihat Rudi ngobrol asik dengan Amara, disaat yang sama, Alvaro mendapat telfon penting yang mengharuskan dirinya pergi.
Alvaro melepas jas yang ia kenakan, lalu menutup tubuh Amara yang basah. “Bajumu basah sekali, lebih baik lepas, lalu pakai jas milikku,” ucap Alvaro.
“Masa di sini buka baju?”
“Gak akan ada yang lihat, kaca mobilku tidak tembus pandang, lagian hanya ada aku, kenapa harus risih, setiap malam saja kita telanjang bareng?”
Amara tersipu malu, pipinya memerah seketika. Ia menuruti suaminya, melepas bajunya yang basah, dan memaki jas milik suaminya untuk menutupi tubuhnya.
Sesampainya di rumah, Amara langsung membersihkan tubuhnya, tumben sekali Alvaro langsung menyiapkan air hangat untuk mandi Amara. Entah kenapa suaminya itu sedikit ada perubahan.
Setelah selesai mandi, Amara memakai baju santai. Alvaro bergantian untuk mandi, dan Amara langsung merebahkan tubuhnya yang sangat lelah sekali. Baru saja merebahkan tubuhnya, ia mendengar ponsel suaminya bergetar. Nama Cindi bertengger di layar ponsel Alvaro. Dengan beran Amara menerima panggilan Cindi, namun Amara tidak bersuara.
“Varo! Kenapa kamu pulang langsung sih? Kamu tahu Alea menangis karena cari kamu? Apa gak bisa nunggu Alea selesai mandi pulangnya?!
Amara langsung mengakhiri panggilannya. Sekarang Amara tahu, kenapa suaminya sampai telat jemput dirinya sampai dua jam lamanya.
“Baiklah, jika memang dia adalah prioritasmu, aku akan mundur perlahan, Mas. Aku tidak bisa, aku tidak mau hidup di dalam pernikahan yang seperti ini,” batin Amara dengan menyeka air matanya.
Amara masih memikirkan ucapan Cindi tadi. Alae? Siapa Alea? Apa anak dari perempuan itu? Amara terus memikirkan itu di dalam hatinya. Kalau memang itu anaknya berarti Cindi seorang janda.
“Kalau Alea anaknya Cindi, kok sampai nangis nyariin Varo? Sedekat itukah? Apa mereka masih sering bertemu sebelum mereka bertemu kemarin? Apa kalau Varo ada dinas ke luar negeri selalu menemui Cindi, makanya Alea dekat dengan Varo. Atau jangan-jangan Alea anak mereka berdua? Ah .... kenapa aku mikir sampai ke situ sih?” batin Amara.
Ponsel Alvaro bergetar lagi, ada panggilan dari Cindi lagi. Amara ingin tahu soal Alae itu siapa, ia mendial icon hijau di layar ponsel Alvaro.
“Varo .... kamu ke mana saja sih? Kamu dengar tidak Alea nangis terus, dia cariin kamu! Kamu sih main pulang saja!”
“Maaf, saya Amara. Saya istri Mas Varo. Ada apa ya, Mbak? Biar nanti saya sampaikan suami saya, dia sedang mandi.”
“Oh ini Amara? Maaf, Ra, anakku nangis, dia tadi lagi mandi, tapi Alvaro buru-buru pulang, gak nunggu Alea selesai mandi, dia jadi tantrum gini. Bisa tidak nanti sampaikan Alvaro, suruh dia ke sini, biar Alea tenang.”
“Oh iya, nanti aku sampaikan, tapi mbak kan mamanya, harusnya mbak bisa menenangkan putri mbak lebih dulu, suami saya sibuk,” ucap Amara.
“Aku yakin sesibuk-sibuknya dia pasti akan menemui Alae. Saat di Australi saja dia bela-belain menemui Alea, karena Alea sakit,” ucap Cindi.
“Oh begitu? Sudah kayak anaknya sendiri, ya?”
“Ya begitu Varo pada Alea. Maklum ya, dia kan pengin sekali punya anak? Sejak Alea lahir dia juga yang mengurusnya, dia yang menemani aku melahirkan, karena aku sudah berpisah dengan suamiku dulu, jadi semua Varo yang mengurus, itu kenapa Alea sangat dekat dengan Varo, seperti anak sendiri. Setiap sebulan sekali, pasti dia datang menemui kami,” ucap Cindi.
Amara sejenak berpikir saat Cindi mengatakan hal seperti itu. Entah Alea itu anak umur berapa tahun, tapi saat mendengar Alea nangis dengan menyebut nama Varo sangat jelas, tentu anak itu sudah besar, sudah berusia tiga atau empat tahun.
“Apa dia anaknya Mas Varo? Bahkan dia sampai rela menemuinya setiap bulan? Jadi perjalanan dia dinas ke luar negeri, karena menemui Cindi? Ya Tuhan ... bisa-bisanya aku tertipu selama ini? Ternyata mereka masih berhubungan sampai sekarang?”