Seoramg gadis yang berprofesi Dokter harus menikah dengan seorang pria yang ia tolong.
Dokter Manya Aidila adalah nama gadis itu. Usianya dua puluh enam tahun. Bertugas di sebuah daerah terpencil minim sarana dan prasarana. ia bertugas di sana selama tiga tahun dan sudah menjalankan tugas selama dua tahun setengah.
Suatu hari gadis itu mendengar suara benda terjatuh dari tebing. Ia langsung ke lokasi dan menemukan mobil yang nyaris terbakar.
Ada orang minta tolong dari dalam mobil. Dengan segala kekuatanmya ia pun menolong orang yang ternyata seorang pria bule.
Si pria amnesia. Gadis itu yang merawatnya dan ketua adat desa memintanya untuk menikah dengan pria bernama Jovan itu.
Awalnya biasa saja Hingga kejadian menimpa Manya. Jovan dijebak dan pria itu merenggut kesucian gadis itu.
Hingga tinggal dua bulan lagi Manya selesai masa dinas. Jovan yang sudah ingat akan dirinya pergi begitu saja meninggalkan istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BIBIT UTAMA
"Jadi kau ingin menikah setelah melihat anak-anak ini?" tanya Eddie pada putranya.
"Ya, aku mau tapi jangan jodohkan aku dengan perempuan itu!" sahut Gerard memberi peringatan.
"Ayolah, Anna adalah gadis baik dan cantik, terlebih ia mencintaimu," sahut Eddie.
Anak-anak sedang makan buah. Manya selalu memperhatikan vitamin yang masuk pada tujuh anak kembarnya.
"No dad ... dia nggak cinta aku tapi cinta duitku!" tolak Gerard keras.
"Dari mana kau bisa memutuskan begitu, uangnya banyak dan dia juga mandiri!" terang Eddie bingung.
"Ck ... kalau mandiri dia nggak perlu laki-laki buat nafkahin, terutama dia suka ngungkit nominal uang yang bisa dikumpulkan jika kami bersama!" terang Gerard.
Baik Jovan, Abraham dan Clara hanya diam. Sedang Manya dan Maira memilih tak ikut campur dengan urusan mereka. Maira memilih mendengarkan ocehan tujuh cucu kembarnya yang kini seperti sandi morse itu.
"Nwnwjjejejshjwhgehwnsubbuhb!" teriak Bhizar tak mau kalah.
"Jehdbhejauwnshbsnejwj majjejebdhuhs!" kali ini Laina menengahi pertikaian saudaranya.
"Hehendhwjnahshsuhsnshsj!" tolak Bhizar membuang muka.
"Hehdgbshnwnwusjshsnajj!" Abraham ikut membuang muka.
"Kalian ngobrolin apa sih?" tanya Maira gemas.
"Sayang, kau tau apa yang mereka bicarakan?" tanyanya pada menantunya.
Manya menggeleng tanda tak tau. Wanita itu sudah pasrah jika para bayinya memakai bahasa mereka sendiri.
"Baby, kalian ribut kenapa?" tanya Maira pada Bhizar cucunya yang lahir pertama.
"Moma ... Abi pilan talo hali lahin peda syama hulan pahun," adu Bhizar dengan mimik sedih.
"Peda lah!" sahut Abi yakin.
"Hali lahin ipu hali watu lahin ... talo hulan pahun ipu pahun yan biulan!" terangnya begitu yakin dengan apa yang ia ucapkan.
Maira menggaruk pelipis dengan jarinya. Abi tak salah begitu juga Bhizar. Kecerdasan bayi-bayi itu memang di atas rata-rata.
"Sebenarnya artinya sama sayang," ujar Maira.
"Tot syama! Tenapa pisa bedithu!" sahut Abi seakan protes.
Maira gemas dengan keberanian cucunya itu. Para dewasa lainnya akhirnya berhenti berbicara karena melihat perdebatan para bayi.
"Hari lahir sama ulang tahun itu sama-sama memperingati jika kita lahir di tanggal yang sama dengan tahun yang berbeda," jawab Maira.
Akhirnya para bayi akur. Memang tak ada kue ulang tahun dan hal itu membuat para bayi protes karena tak ada acara potong kue.
"Tuena mana?" tanya Lika bingung.
"Lita bawu matan tue hulan pahun," lanjutnya.
"Papa yayah Lelat udah tua, jadi nggak pake kue ulang tahun," sahut pria itu.
"Papa yayah Lelat budah pua? Tot didinya eundat pindal bua?" tanya Syah sampai miring kepalanya.
"Apa kau kira papa yayah ini burung kakak tua?!" sergah Gerard gemas.
"Halusna beudithu papa yayah Lelat! Talo budah pua, didina ya pindal bua," sahut Lika dengan mengajukan tiga jari.
Gerard gemas bukan main. Ia menciumi bayi cantik itu hingga membuat semuanya ingin dicium.
Usai makan siang, mereka pun pulang. Clara memaksa untuk menginap, tapi anak-anak menolak. Mereka mau mandi bola.
"Di lumah Moma Lala eundat lada pola!" tolak Abi.
"Moma bisa beli!" sahut Clara.
"Moma ... eundat poleh puan-buan uan ... puat papa yayah Lelat beunitah!" sahut Agil sekenanya.
Clara cemberut, mungkin pikiran bayi masih lurus hingga menyuruhnya untuk menabung. Padahal jika ia mau, seluruh pabrik bola plastik yang diinginkan bayi itu, ia bisa beli.
"Maaf mom, anak-anak memang saya ajarkan untuk tidak boleh menghamburkan uang. Tapi, saya malah tidak menyangka mommy disuruh nabung buat pernikahan Gerard," ujar Manya tak enak hati.
"Kalau dia mau menikah ya harus pakai uangnya sendiri!" ketus Clara melirik kesal pada putranya itu.
"Mom," rengek Gerard.
"Moma, basa nanat seundili bisuluh payal beulnitahan seundili?!" protes Agil lagi.
"Baby, moma kalian pelit," adu Gerard pada para bayi hingga membuat Clara makin kesal dibuatnya.
"Eundat pa'a-pa'a papa yayah, pita cali uan pantuin papa yayah Lelat!" ujar Abraham menenangkan pria besar itu.
"Memang dengan cara apa baby?" tanya Jovan penasaran.
"Pita namen papa yayah," jawab Abraham yakin.
"Ngamen?"
"Biya ... pita namen bi bampu palupintas, bas melah pita namen bapet uan deh!" jawab Abraham dengan sangat santai.
Hal itu membuat Eddie, Abraham dan Jovan tertawa keras. Sedang Manya, Maira dan Clara tersenyum lebar.
"Kalian ya," gerutu Gerard benar-benar tak tahan akan kecerdasan bayi-bayi itu.
"Gue nggak bisa mikir lu ngamen sambil bawa kecrekan di perempatan lampu merah bro," kelakar Jovan.
"Sialan lu!" gerutu Gerard sebal.
Sedang para bayi sepertinya memiliki rencana agar papa ayah Gerardnya bisa menikah.
"Pototna pita halus pantu papa yayah Lelat!" aju Abraham memberi semangat pada saudaranya.
Mansion keluarga Downson sepi. Clara melihat ruangan yang tadi penuh dengan anak-anak dengan tatapan kosong. Ia juga mau punya cucu langsung sebanyak kakak kandungnya itu.
"Sayang, apa kau masih kepikiran tujuh kurcaci menggemaskan itu?" tanya Eddie lalu memeluk istrinya dari belakang.
Clara menenggelamkan diri dalam rengkuhan suaminya. Lalu ia berbalik dan menatap sang suami.
"Tumben kau pulang cepat hari ini?" tanyanya heran.
"Karena aku merindukanmu," jawab Eddie lalu mencium bibir istrinya.
"Sayang, kalau kita punya cucu langsung banyak seperti itu, apa kau tak keberatan?" tanya Clara lalu mengalungkan lengannya di leher sang suami.
Gerard sudah pergi tadi, ia harus ke perusahaannya karena mendadak ada laporan menyimpang di perusahaannya.
"Aku tak masalah, yang penting Gerard menikah dulu baru punya anak," ujar Eddie terkekeh.
"Kau pikir putramu sebejat apa!" gerutu Clara tak suka. "Aku sudah mengingatkannya agar tak main-main dengan perempuan di luar sana!"
"Maaf sayang, aku percaya akan ajaranmu. Tapi kau lihat kumpulan pertemanan putramu, terlebih empat sahabatnya itu," ujar Eddie khawatir.
"Tapi Jovan bisa tahan dan tetap lurus," Eddie mengangguk setuju.
"Sayang, ke kamar yuk," ajak pria itu.
Clara menatap suaminya yang sudah diselimuti gairah. Eddie memang pejantan tangguh, kadang wanita itu kesulitan mengikuti ritme hubungan intim sang suami yang sangat panas. Tapi, sebagai istri, ia wajib melayani suaminya. Clara langsung menarik tangan sang suami menuju kamar mereka.
Sedang Jovan dan keluarga akhirnya sampai mansion mewah mereka. Semua sibuk menurunkan anak-anak dari mobil hingga mereka tak menyadari jika ada sepasang suami istri yang telah lanjut usia menatap mereka dengan tatapan marah.
"Dari mana kalian?"
Abraham, Maira, Jovan dan Manya menoleh, berikut para suster. Sedang tujuh bayi kembar menatap pria dengan wajah sama dengan ayah mereka mengerutkan alis.
"Wah ... nanat mama lada aghi!" Abigail bersorak takjub.
"Wah piya ... nanat mama lada aghi ... pati yan imi peubih pua dali papa yayah ya?!" sahut Alaina ikutan takjub.
Sedang sepasang suami istri yang lanjut usia itu begitu takjub dengan tujuh bayi kembar yang sangat mirip dengan biangnya yakni Tuan Aldebaran Rougher Dinata.
bersambung ...
lah ... nanat mama Manya lada aghi!
next?
kurang ngudeng aku