Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 - Pesan Papa
"Gutama Darmawangsa adalah ay_ papa atau apalah namanya, intinya pembawa bencana yang menghancurkan hidup ibuku."
Satu hal yang Ameera tahu tentang Cakra hari ini, pria itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan ayah kandungnya. Cukup lama Ameera renungi, dia bahkan tidak bisa tidur hingga larut malam hanya karena memikirkan hal itu.
Sejak dahulu Ameera ketahui, bahwa Cakra memang hidup sendiri, selebihnya tidak karena memang Cakra tidak begitu terbuka tentang kehidupan pribadinya. Bahkan, kesakitan Cakra menjalani hidup sebagai yatim piatu baru dia dengar tadi siang kala berziarah ke makam mendiang mamanya, itu juga mungkin beberapa persen saja.
"Ada apa, Nona? Kenapa wajah Anda kusut sekali? Apa Anda gagal mendapatkan restu dari calon mertua?"
Ameera sedang banyak pikiran, karena itu ucapan Mahendra hanya dia tanggapi dengan tatapan tajam, malas sekali berdebat sekalipun dia ingin. "Ah, sepertinya benar dugaan saya ... kasihan, padahal sudah berusaha terlihat solehah seperti nona Zalin_"
"Tukang gali kubur tidak begitu jauh dari sini, Mahen ... biar aku yang menanggung biaya pemakamanmu," celetuk Ameera ketus yang membuat Mahendra meneguk salivanya pahit. Bicaranya memang lembut dan elegan, tapi selalu berhasil membuat lawan bicaranya bungkam.
Kendati demikian, sebagai orang yang dipercayai Papa Mikhail dalam hal ini, Mahen sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Ameera, toh memang sudah biasa. Pria itu menarik napasnya dalam-dalam sebelum kemudian turut duduk di hadapan Ameera, dapat dia pastikan nona mudanya ini tampak penuh akan masalah.
"Katakan, Nona? Apa dia meminta Anda pergi setelah ini?"
Tanpa menjawab, wanita itu hanya menggeleng sebelum kemudian menatap balik Mahendra yang kini terlihat serius, bukan bercanda seperti sebelumnya. "Apa yang kau ketahui tentang Cakra?" tanya Ameera serius, dia menegaskan pada Mahendra jika memang butuh informasi itu.
"Seperti yang Anda lihat saat ini, begitu juga yang saya ketahui tentang Cakra ... kenapa memangnya?" Penjelasan yang dia berikan belum begitu memuaskan, tapi Mahendra justru balik bertanya hingga Ameera hanya menatapnya dengan tatapan tak terbaca.
"Kau berbohong?"
"Tidak, Nona ... hanya tempat tinggalnya saja yang saya tahu, dan sudah saya tunjukkan pada Anda. Selebih itu, tidak ada yang lain, bahkan untuk mencari info tentang itu termasuk hal sulit," jelas Mahendra panjang lebar, mencoba membuka hati Ameera agar tidak terlalu banyak pikiran.
"Kalau begitu lakukan lagi, bukankah kau mampu mencaritahu banyak hal ... kita sudah di sini, bisa kau selidiki lagi seluk-beluknya? Masa-lalu keluarganya, dan juga perihal pembataian satu keluarga yang terjadi beberapa tahun lalu di desa ini." Ameera menarik napas lebih dulu, panjang sekali jika dia lanjutkan dalam sekali bicara.
"A-aku merasa ada beberapa sisi dari Cakra yang tidak aku kenali, semua terasa asing dan aku sejauh itu dengannya," lanjut Ameera mengutarakan keresahannya tentang Cakra.
Setelah pertemuan kemarin, dia merasa Cakra yang dia kenal hanya beberapa persen saja, sisanya orang lain dan dia tidak bisa menyimpulkan apa yang dirasakan sebenarnya. "Maksud, Nona?"
Ameera mulai menjelaskan secara detail apa yang terjadi malam kemarin, malam dimana dia bertemu Cakra dalam keadaan galau segalau-galaunya, begitu juga dengan keesokan hari hingga berakhir tentang pembahasan tentang sosok bernama Gutama Darmawangsa itu.
"Benarkah? Cakra biasa saja?"
"Hm, bahkan awalnya dia tidak mengakui jika makam itu adalah makam ayahnya ... setelah pamit pulang justru sebaliknya, tapi dengan kalimat yang tidak begitu baik dan seperti tengah menegaskan jika dia membenci ayahnya."
Mahendra mendengarkan dengan seksama, sementara Ameera terus menjelaskan dengan rinci apa yang dia lihat dari Cakra agar jelas dan pria itu bisa menelaah sebagai pengamatnya, bahkan sampai adegan romantisnya juga dia ceritakan hingga Mahen memalingkan muka.
"Ah masih wangi, Cakra pakai minyak wangi apa ya?" Ameera bermonolog seraya mencium punggung tangannya.
"Ck, apa itu penting?"
"Itu selingan, jangan terlalu serius nanti sakit kepala, Mahen," dalih Ameera membela diri, padahal jelas-jelas dia juga tidak suka diajak bercanda jika sedang serius.
"Lalu apa lag_"
Brak!!
Jantung Mahendra sempat terguncang kala pertanyaannya dipotong dengan gebrakan meja dari Ameera kala mengingat fakta lainnya. "Dan yang paling menarik perhatianku adalah ... ketika Cakra melihat gua yang ada di perbatasan desa, dia berteriak dan matanya memperlihatkan rasa takut dan amarah yang bersatu, aku yakin dia tidak bercanda seperti yang dia katakan."
Ameera menghela napas panjang, dia yakin betul jika gelak tawa yang Cakra perlihatkan hanya untuk mengalihkan perhatian. Ya, sedikit banyak Ameera tahu seseorang memang bercanda atau sungguhan walau bukan pakar ekspresi, bertahun-tahun dia telah terjun ke dunia entertainment dan jelas dia sudah menyatu dengan seni peran.
"Sepertinya aku bisa menarik kesimpulan, entah benar atau tidak, tapi aku yakin Cakra dan ibunya mendapat banyak luka di masa lalu dari mendiang ayahnya ... masuk akal sekali kenapa dia begitu benci sampai makam ayahnya Nona injak saja dia tidak marah."
"Bu-bukan kuinjak, tapi tidak sengaja, Mahen ... abayaku kepanjangan," celetuk Ameera membenarkan. Walau tahu Cakra membenci ayahnya, tapi tetap saja dia merasa bersalah, bahkan khawatir kualat nantinya.
.
.
Tepat tengah malam, barulah Ameera masuk ke kamarnya, itu juga karena Mahendra bersedia berjanji akan memenuhi permintaannya. Namun, belum sempat membuka pintu kamar, Mahendra memanggil namanya.
"Ada apa, Mahen?"
"Tuan besar menghubungi saya tadi siang, beliau berpesan agar Anda harus pulang dan membawa laki-laki pilihan Anda ke hadapan beliau segera ... jika tidak, maka Anda tidak boleh pulang sama sekali, Nona."
"What? Apa kat_ papa yang bilang begitu?" Ameera mengerutkan dahi, bisa-bisanya sang papa masih saja mendesak padahal sebelum pergi sudah dijelaskan tidak bisa berjanji kapan pulangnya.
"Saya tidak akan menjelaskan dua kali, Anda pasti belum tuli," pungkas Mahendra kemudian berlalu meninggalkan Ameera yang tengah kebingungan begitu saja.
"Ma-mahen? Ya, Tuhan!!"
Tidak ingin semakin sakit kepala, Ameera masuk kamar dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Wanita itu masih berpikir keras, Cakra mungkin saja mau diajak menghadap papanya, tapi jika semua masih belum jelas Ameera tidak berani juga.
"Eh, kok?" Ameera terkejut setelah beberapa saat tenggelam dalam lamunan. Wanita itu tersenyum kala menyadari ada notifikasi pesan di ponselnya, tidak sia-sia dia meniru cara Ayumi dengan menggantung ponsel ke sudut dinding demi yang namanya signal.
"Masih suka begadang ternyata, kupikir kalau di kampung bakal tidur lebih cepat."
Ameera berdegub, jantungnya terpacu dua kali lebih cepat. Wanita itu sontak mengintip ke jendela lantaran penasaran dan menduga Cakra ada di sekitar rumah itu. Walau yang menghubunginya adalah nomor baru, Ameera yakin betul pengirimnya adalah Cakra. "Tidur, sekarang!!"
Berasa dibentak, Ameera naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut hingga lehernya. Dia tidak takut, tapi justru berdebar karena sudah lama perasaan ini dia rindukan. "Bentar, jangan-jangan ada CCTV ... tapi tidak mungkin, masa iya ada begituan," batin Ameera memandangi langit-langit kamar, walau terkesan tidak masuk akal, tapi entah kenapa terbesit begitu saja.
.
.
- To Be Continued -