Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melawan dari Dalam Sistem
Dari semua anggota kelompok, Mayuji adalah yang paling tenang dan penuh perhitungan. Dia tahu bahwa perlawanan di jalanan dan media sosial penting, tetapi dia juga sadar bahwa ada kekuatan besar lain yang harus mereka hadapi—hukum. Pemerintah menggunakan hukum sebagai senjata untuk menekan siapa saja yang menentang, dan Mayuji tahu bahwa untuk melawan mereka, mereka harus bisa menggunakan senjata yang sama.
Setiap hari, Mayuji bekerja di balik layar, mempelajari setiap undang-undang dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dia mencari celah—poin-poin lemah yang bisa mereka gunakan untuk menggugat balik atau setidaknya memperlambat langkah pemerintah.
Siang itu, Mayuji berada di perpustakaan fakultasnya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan buku-buku hukum. Ia telah menemukan beberapa peraturan yang dikeluarkan secara tergesa-gesa oleh pemerintah setelah kerusuhan mahasiswa terakhir. Peraturan ini, meskipun kuat di permukaan, memiliki banyak lubang yang bisa dieksploitasi.
“Gue yakin pemerintah terlalu terburu-buru pas bikin undang-undang ini,” gumam Mayuji sambil menandai beberapa poin di dokumen yang sedang ia baca. “Mereka takut, dan karena itu, mereka bikin kesalahan.”
Sore itu, setelah berjam-jam tenggelam dalam dokumen, Mayuji memutuskan untuk menghubungi salah satu pengacara yang mendukung gerakan mereka. Ia mengatur pertemuan dengan pengacara senior bernama Rudi, yang sudah beberapa kali berhasil menantang kebijakan pemerintah di pengadilan.
Ketika bertemu di sebuah kafe yang sepi, Rudi langsung mengangguk setuju setelah mendengar temuan Mayuji. “Kamu punya poin yang bagus, Mayuji,” katanya sambil mengamati catatan yang dibawa oleh Mayuji. “Undang-undang ini memang tergesa-gesa. Kita bisa menantangnya di pengadilan, terutama soal bagaimana pemerintah menggunakan hukum darurat untuk menekan hak-hak mahasiswa.”
Mayuji tersenyum tipis. “Itu rencananya. Kalau kita bisa bawa ini ke pengadilan, kita nggak cuma bisa lindungi mahasiswa yang ditangkap, tapi juga bisa mempermalukan pemerintah di depan publik.”
Namun, Rudi memperingatkan bahwa ini bukan langkah yang mudah. “Meskipun kita punya dasar hukum yang kuat, pemerintah masih punya kekuasaan besar di pengadilan. Kita harus hati-hati.”
Mayuji paham risikonya. Ia tahu bahwa bertarung di jalur hukum tidak secepat bertarung di jalanan, tapi itu adalah jalur yang bisa memberikan dampak jangka panjang. “Gue nggak buru-buru, Pak,” jawabnya dengan mantap. “Kita bergerak pelan, tapi pasti. Gue yakin kita bisa dapet hasil kalau kita tetap konsisten.”
Setelah pertemuan itu, Mayuji kembali ke apartemen dengan semangat baru. Ia tahu bahwa perlawanan mereka membutuhkan lebih dari sekadar aksi-aksi langsung. Dengan dukungan dari pengacara seperti Rudi, mereka bisa memaksa pemerintah untuk bermain di wilayah yang selama ini mereka kuasai—hukum.
Selain berperan dalam jalur hukum, Mayuji juga diberi tugas untuk melindungi gerakan mereka dari infiltrasi dan penyerangan hukum yang lebih subtil. Ia menyadari bahwa pemerintah tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga mencoba menggunakan jalur hukum untuk menjerat mereka. Itu sebabnya, setiap langkah yang mereka ambil harus diperhitungkan dengan hati-hati.
Malam itu, setelah berbicara dengan Rudi, Mayuji mengumpulkan teman-temannya di apartemen untuk mendiskusikan strategi baru. “Gue nemuin celah hukum di undang-undang darurat yang pemerintah pake buat nutup mulut kita,” kata Mayuji sambil meletakkan dokumen-dokumen di meja. “Gue rasa kita bisa pakai ini buat balik menyerang mereka di pengadilan.”
Haki, yang duduk di sisi meja, menatap dokumen-dokumen itu dengan rasa penasaran. “Apa yang lo temuin?”
“Gue nemuin pasal yang terlalu luas interpretasinya. Mereka nulis ini dengan tergesa-gesa pas kerusuhan terakhir, dan kita bisa pakai ini buat gugat balik. Kalo kita bisa buktikan bahwa undang-undang ini melanggar hak dasar kita, kita bisa bikin mereka kelimpungan.”
Luvi menatap Mayuji dengan penuh kekaguman. “Ini bisa jadi game changer, Mayu. Kalau kita menang di pengadilan, itu bakal jadi kemenangan besar buat kita.”
Dito, yang selama ini lebih fokus di dunia digital, juga melihat potensi besar dari strategi ini. “Gue bisa bantu lo buat nyebarin informasi ini ke mahasiswa-mahasiswa lain. Gue yakin orang-orang bakal tertarik kalau kita mulai bicara soal hukum yang melanggar hak mereka.”
Namun, Yudi yang lebih praktis tetap khawatir. “Tapi ini bakal lama, Mayu. Lo sendiri tau proses hukum nggak secepat itu. Sementara itu, kita tetap harus bertahan di jalanan dan ngelindungin mahasiswa dari serangan aparat.”
Mayuji mengangguk setuju. “Gue tau, Yud. Makanya ini cuma salah satu langkah dari banyak strategi kita. Gue nggak bilang kita bakal berhenti beraksi di jalan, tapi kita butuh strategi multi-lapis. Kita main di banyak jalur, biar pemerintah nggak bisa fokus ngalahin kita di satu tempat.”
Diskusi itu berlangsung hingga larut malam. Mayuji menjelaskan langkah demi langkah bagaimana mereka bisa menggunakan jalur hukum untuk melindungi mahasiswa dari ancaman penangkapan, sekaligus mempermalukan pemerintah yang terlalu tergesa-gesa membuat kebijakan yang menekan kebebasan berekspresi.
Mereka semua sepakat bahwa jalur hukum adalah strategi penting yang harus diambil, meskipun mereka tahu bahwa ini bukan langkah yang cepat. Namun, dengan kombinasi aksi langsung di jalanan, perlawanan digital, dan pertarungan hukum, mereka yakin bahwa mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk membuat perubahan nyata.
Malam itu, setelah semua orang pulang ke kamar masing-masing, Mayuji duduk sendirian di ruang tamu, merenungkan strategi yang baru saja mereka bicarakan. Ia tahu bahwa perjuangan ini tidak akan mudah, tapi ia merasa yakin dengan jalur yang ia pilih. Perlahan tapi pasti, mereka sedang membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar gerakan mahasiswa. Mereka sedang membangun sebuah perlawanan yang terkoordinasi dan terorganisir, siap untuk menghadapi rezim yang kuat dan represif.
Perjuangan melalui jalur hukum yang telah lama disusun oleh Mayuji dan tim pengacaranya akhirnya mencapai titik penting. Setelah berbulan-bulan mempersiapkan argumen, mengumpulkan bukti, dan merancang strategi yang matang, gugatan terhadap undang-undang darurat pemerintah diterima oleh pengadilan. Ini adalah langkah awal yang telah mereka rencanakan dengan hati-hati, mengetahui bahwa jika berhasil, proses ini dapat menjadi pukulan telak terhadap legitimasi pemerintah.
Mayuji, yang selama ini bergerak dalam senyap, kini mulai tampil sebagai sosok yang lebih vokal. Di balik setiap sidang, setiap dokumen hukum yang diajukan, ia mengatur strategi dengan hati-hati bersama tim pengacaranya. Gugatan tersebut menyoroti bagaimana pemerintah menggunakan undang-undang darurat untuk menekan kebebasan berekspresi dan hak berkumpul, melanggar hak-hak dasar yang dilindungi oleh konstitusi.
Di salah satu pertemuan dengan pengacaranya, Mayuji mengulas poin-poin penting yang akan mereka angkat di sidang mendatang. “Kita harus fokus pada aspek ketergesa-gesaan mereka,” kata Mayuji sambil menunjuk beberapa bagian undang-undang yang jelas-jelas dibuat tanpa melalui proses konsultasi yang seharusnya.
Rudi, pengacara senior yang membimbing Mayuji, setuju. “Mereka bergerak terlalu cepat, terutama saat mereka merasa terancam oleh aksi-aksi mahasiswa. Undang-undang ini lemah secara hukum, dan jika kita bisa mengekspos ini di depan hakim, kita bisa menekan pemerintah.”
Sidang pertama berlangsung dengan cukup dramatis. Mayuji dan pengacaranya mengajukan argumen bahwa undang-undang darurat tersebut tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga dibuat dengan melanggar prosedur hukum yang sah. Pejabat pemerintah yang hadir sebagai saksi mulai merasa terpojok ketika tim pengacara Mayuji mulai mengorek detail-detail yang membuktikan bahwa undang-undang tersebut dibuat dalam waktu yang terlalu singkat, tanpa melibatkan lembaga hukum yang seharusnya memberi masukan.
“Apakah benar bahwa undang-undang ini dibuat tanpa melibatkan Dewan Konstitusi?” tanya Rudi dengan suara tegas di ruang sidang.
Saksi dari pihak pemerintah tampak gugup, berusaha mencari kata-kata. “Kami bergerak cepat karena situasinya mendesak,” jawabnya dengan suara gemetar, tapi jawabannya justru memperburuk citra pemerintah. Di mata publik, terbukti bahwa pemerintah bertindak sembrono dan tanpa dasar hukum yang kuat.
Liputan media independen terhadap sidang ini mulai menyebar dengan cepat. Mayuji dan timnya telah berhasil membawa perhatian publik ke meja hijau, dan masyarakat yang selama ini tidak begitu peduli mulai memperhatikan proses hukum ini dengan lebih serius. Media sosial dibanjiri dengan diskusi tentang kesalahan pemerintah dalam pembuatan undang-undang ini.
Di salah satu artikel berita yang beredar luas, judulnya berbunyi: "Undang-undang Darurat yang Gagal: Pemerintah Terpojok di Pengadilan".
Artikel tersebut menyebutkan detail dari sidang pertama, bagaimana pemerintah gagal menjelaskan alasan di balik perancangan undang-undang tersebut. Komentar publik di artikel itu sebagian besar mendukung mahasiswa dan mulai menyuarakan kemarahan mereka terhadap langkah pemerintah yang sewenang-wenang.
“Ini bukan cuma soal mahasiswa lagi,” kata salah satu pengamat politik yang diwawancarai oleh media independen. “Apa yang mereka pertaruhkan di pengadilan ini adalah hak-hak dasar kita semua. Jika pemerintah bisa seenaknya membuat undang-undang darurat tanpa proses yang benar, siapa yang tahu apa lagi yang akan mereka lakukan di masa depan?”
Setiap perkembangan dari sidang ini menjadi perbincangan di seluruh negeri. Masyarakat yang sebelumnya acuh tak acuh kini mulai berpihak pada perlawanan mahasiswa. Mereka melihat bahwa pemerintah, yang selama ini terkesan kuat dan tidak tersentuh, ternyata rentan ketika harus berhadapan dengan hukum yang sah.
Sementara proses di pengadilan terus berjalan, Mayuji tidak hanya mengandalkan hasil sidang untuk mempermalukan pemerintah. Ia juga berperan penting dalam menjaga koordinasi dengan rekan-rekannya—Haki, Luvi, Dito, dan Yudi—agar pergerakan mereka tetap terkoordinasi di berbagai lini.
Di sebuah pertemuan rahasia di apartemen, Mayuji menjelaskan kepada kelompoknya tentang perkembangan di pengadilan. “Sidang berjalan sesuai rencana. Pemerintah makin terpojok, dan publik mulai berpihak sama kita,” katanya dengan nada percaya diri.
Haki, yang lebih fokus pada aksi lapangan, mengangguk. “Kabar bagus. Kalau kita bisa terus tekan di pengadilan, gue yakin kita bisa dapet lebih banyak dukungan buat aksi di jalan.”
Luvi, yang selalu update soal reaksi di media sosial, menambahkan, “Publik udah mulai mikir, Mayu. Video sidang itu viral banget, dan gue liat makin banyak orang mulai kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ini momen besar buat kita.”
Namun, meski optimis, mereka tetap waspada. Yudi, yang lebih pragmatis, mengingatkan, “Tapi kita juga harus siap sama respons pemerintah. Gue nggak yakin mereka bakal duduk diam sementara kita terus mendesak mereka.”
Mayuji menyadari hal itu. “Kita nggak boleh lengah. Gue yakin mereka bakal nyoba nyari cara buat balas, tapi selama kita tetap main di ranah hukum dan punya bukti kuat, mereka nggak akan bisa nyentuh kita tanpa mempermalukan diri sendiri.”
Pertemuan itu ditutup dengan tekad yang semakin kuat. Mereka tahu bahwa jalur hukum ini bukan hanya pertarungan untuk menang di pengadilan, tetapi juga cara untuk mendapatkan simpati publik dan mengubah persepsi masyarakat tentang gerakan mereka.
Dampak Sidang terhadap Pemerintah
Setelah beberapa sidang berjalan, pemerintah mulai benar-benar merasakan dampaknya. Setiap kali sidang diadakan, semakin banyak bukti yang menunjukkan betapa tidak transparannya proses pembuatan undang-undang darurat ini. Publikasi media independen terus menyoroti bagaimana pemerintah gagal mempertahankan argumen mereka di depan hakim.
Pemerintah, yang biasanya bisa mengendalikan narasi melalui media arus utama, kini terpaksa menanggung malu di hadapan publik. Pejabat-pejabat yang terlibat mulai ditekan oleh opini masyarakat yang semakin kritis. Protes dari berbagai kalangan—bukan hanya mahasiswa—mulai muncul di media sosial, menuntut agar pemerintah bertanggung jawab atas penyalahgunaan kekuasaan ini.
Namun, di tengah keberhasilan ini, ada rasa cemas yang mulai menyelimuti kelompok mahasiswa. Mereka tahu bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam. Di balik layar, pemerintah mulai merencanakan langkah balasan. Mereka tidak bisa membiarkan kelompok mahasiswa ini terus bergerak tanpa kontrol, apalagi setelah dipermalukan di pengadilan dan media.
Sebuah ancaman mulai terbentuk, tidak hanya dari sisi hukum, tetapi juga dari individu-individu misterius yang muncul dari dalam lingkaran kekuasaan. Karakter-karakter yang sebelumnya tak terlihat mulai bergerak dalam bayang-bayang, merencanakan langkah-langkah yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar serangan politik.