Kembali ke masa lalu, adalah sesuatu yang mustahil bagi Nara.
Tapi demi memenuhi keinginan terakhir sang putri, ia rela melakukan apapun bahkan jika harus berurusan kembali dengan keluarga Nalendra.
Naraya bersimpuh di hadapan Tama dengan deraian air mata. Ia memohon padanya untuk menemui putrinya dan membiarkan sang putri melihatnya setidaknya sekali dalam seumur hidup.
"Saya mohon temui Amara! Jika anda tidak ingin menemuinya sebagai putri anda, setidaknya berikan belas kasihan anda pada gadis mungil yang bertahan hidup dari leukimia"
"Sudah lebih dari lima menit, silakan anda keluar dari ruangan saya!"
Nara tertegun begitu mendengar ucapan Tama. Ia mendongak menatap suaminya dengan sorot tak percaya.
****
Amara, gadis berusia enam tahun yang sangat ingin bertemu dengan sang ayah.
Akankah kerinduannya tak tergapai di ujung usianya? Ataukah dia akan sembuh dari sakit dan berkumpul dengan keluarga yang lengkap?
Amara Stevani Nalendra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan
Begitu mendengar namanya di panggil, persekian detik Tama memalingkan wajah ke arah kiri. Sepasang matanya menangkap sosok wanita dengan mengenakan paduan tunik dan celana legging.
"Naraya Stevani, benarkan itu?"
Sesaat pandanganpun bertemu, mereka saling menatap satu sama lain. Tatapan yang seakan menjelaskan perasaan cinta di antara keduanya.
Tama dan Nara, sama-sama membeku dengan irama jantung yang terasa lebih kencang.
Ada perasaan lega ketika wanita yang masih sangat dia cintai, berdiri di hadapannya setelah sekian tahun menghilang. Sejumput rasa rindu yang selalu bersemayam seolah terobati dengan kehadirannya. Tapi kecewa dan amarah seakan terus berkobar di hati Tama, membuatnya melemparkan tatapan tajam serta kepalan kuat di kedua tangannya. Tama menganggap Nara sudah berlaku kekanak-kanakkan ketika meninggalkannya dulu. Wanita yang tak pernah dia ceraikan, bahkan tak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan masalah mereka secara tatap muka. Apalagi ketika teringat pesan balasan dari ponsel Nara, Rasa bencinya seakan terus memuncak hingga berada pada level teratas. Padahal pesan itu sang bundalah yang menulisnya saat itu.
Sementara Aldika, tak kalah kaget dengan kemunculan Nara yang tiba-tiba. Ia pun termangu menatap wanita cantik yang saat ini tengah berjalan pelan mendekat ke arahnya.
Langkah demi langkah, jarak itu kian terkikis. Tepat di hadapan Tama, jantungnya kian meliar, rasa gugup dan takut pun mulai mendominasi.
Tama yang menampilkan wajah datar tanpa ekspresi, membuat Nara kian cemas.
"Mas Tama" lirihnya dengan sorot sendu.
Satu detik, dua detik, Tama masih bungkam dengan rasa kecewa yang tertahan. Hingga detik itu berganti menjadi tiga detik reflek mulutnya bersuara.
"Ada perlu apa anda datang kemari?"
Pertanyaan Tama, membuat Nara tercenung. Detik itu juga hatinya serasa tercubit dengan sangat keras. Ia tak menyangka dengan respon sang suami yang begitu dingin.
"Mas Tama, aku_"
Nara menggantung ucapannya hanya untuk mengambil napas. Ia berusaha keras menormalkan detak jantung yang di buat semakin menggila.
"Aku_"
"Maaf saya sibuk" ucapnya setelah melihat arloji yang melingkar di tangan kanannya.
"Ayo Dik" ajaknya pada sang sekertaris. Ketika Tama hendak melangkah, Nara buru-buru mencegahnya.
"Tunggu mas"
Tama pun mengurungkan niatnya lalu bersuara.
"Maaf saya tidak memiliki banyak waktu"
Mendengar Tama berbicara dengan bahasa yang resmi, tak ada pilihan lain Nara pun menggunakan bahasa resminya.
"Beri saya waktu sebentar saja, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan"
"Sekali lagi dengan berat hati saya katakan, saya tidak ada waktu, saya harus menemani calon tunangan ke butik"
Mendengar ucapan Tama, tiba-tiba dadanya sesak dan nyerinya justru kian terasa ketika ia berusaha menyalurkan udara ke dalam paru-parunya.
"Lima menit, beri saya waktu lima menit" kata Nara meminta.
Hening, Tama seperti tengah menimbang-nimbang apakah harus memberikan waktu itu atau tidak. Namun, rasa penasaran atas apa yang ingin Nara katakan membuatnya memberikan kesempatan itu.
"Baiklah, hanya lima menit" responnya masih dengan raut datar. "Mari ikut saya" lanjutnya seraya melangkah.
Ketika di dalam lift menuju lantai paling atas diamana ruangan Tama berada, Aldika dan Nara yang berdiri di belakang Tama, sedikit berbincang mengenai kabar mereka masing-masing.
"Kemana saja selama ini Na?" tanya Dika sedikit canggung.
"Saya tinggal di Korea pak Aldi"
"Oh, ikut suami?"
Nara menggeleng, Dika mengira jika Nara sudah menikah kembali. Dan diam-diam, ada sepasang telinga yang mencuri obrolan di antara mereka. Namun sayang sekali Tama tak melihat gelengan Nara karena posisinya berada di balik punggungnya.
"Saya bekerja di sana pak"
Dika mengangguk meresponnya. "Sudah menikah lagi?"
"Belum" sahut Nara lirih.
Ada jantung yang kembali berdetak ketika mendengar jawaban dari seorang wanita.
Selang dua detik, terdengar bunyi lift tanda telah sampai di lantai tujuan.
Tama lebih dulu keluar sementara Dika menahan tombol agar pintu lift tetap terbuka.
"Silakan Na?"
"Iya terimakasih"
****
"Silakan duduk" ucap Tama sesaat setelah mendudukan dirinya di kursi kerja.
Begitu Nara sudah duduk, ada hening selama beberapa saat. Tama dengan pandangannya yang pura-pura fokus mengecek laptop di atas meja, sementara Nara menatap Tama dengan tangan saling bertaut di atas pangkuan.
"Waktu saya tidak banyak, cepat katakan apa yang ingin anda sampaikan"
"Maaf, jika kedatangan saya mengganggu kesibukan anda"
Jari Tama yang berada di atas keyboard bergerak seolah tengah mengetik sesuatu.
"Saya hanya ingin menyampaikan kalau saat ini anak kita sakit"
Deg,,, Tama menghentikan gerakan jarinya di atas keyboard begitu mendengar ucapan Nara. Ia sama sekali tak menyangka jika wanita yang masih tinggal di dalam hatinya kembali dan mengatakan kita punya anak.
Pandangan Tama yang tadinya terarah ke layar monitor, kini beralih menatap Nara. Sepasang mata mereka lekat saling mengunci. Jakun Tama tampak naik turun dengan rahang terkatup rapat.
"Apa yang anda katakan?"
"Kita punya anak"
Bibir Tama seketika tersungging, namun itu terkesan meremehkan.
"Kita punya anak?" Tama mengulang ucapan Nara dengan kalimat tanya. "Maaf mungkin anda salah orang" lanjut Tama dingin.
"Saya serius pak Gautama Nalendra"
Mendengar nama lengkapnya di sebut, rahang Tama kian mengeras, wajahnya memanas, degup jantungnya pun seakan berontak. "Saya tidak pernah memiliki anak dari wanita manapun" tegasnya tanpa menatap Nara.
"Apa anda lupa kita pernah menikah?"
"Dan apa anda lupa, satu bulan setelah pernikahan anda meninggalkan saya?"
"Saya datang kemari bukan untuk membahas siapa yang tinggal dan meninggalkan" Kata Nara setenang mungkin. Nara sangat tahu, jika Tama masih di kuasai kesalah pahaman yang di buat oleh Rania. "Saya hanya meminta anda untuk menemui darah daging anda yang sangat merindukan anda"
Lagi-lagi Tama menyunggingkan senyum miring lalu kembali berucap. "Apakah saya harus percaya, pada wanita yang sudah meninggalkan saya begitu lama, dan ketika kembali, dia malah mengatakan tentang anak?"
"Karena dia memang anak anda"
"Sudah saya katakan saya tidak memiliki anak dari rahim wanita manapun"
Tanpa Tama duga, tiba-tiba Nara bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke samping kiri dimana Tama duduk. Nara bersimpuh di hadapan Tama dengan deraian air mata. Ia memohon padanya untuk menemui putrinya dan membiarkan sang putri melihatnya setidaknya sekali dalam seumur hidup.
Saking fokusnya dengan percakapan mereka, tanpa di sadari ada sosok yang membuka pintu dan menguping pembicaraan mereka.
"Saya mohon temui Amara! Jika anda tidak ingin menemuinya sebagai putri anda, setidaknya berikan belas kasihan anda pada gadis kecil yang bertahan hidup dari leukimia"
"Sudah lebih dari lima menit, silakan anda keluar dari ruangan saya!"
Nara tertegun begitu mendengar ucapan Tama, ia mendongak menatap suaminya dengan sorot tak percaya.
"Keluar sekarang juga sebelum saya panggilkan satpam"
Wanita itu menatap Tama begitu dalam, begitu intens, sosoknya yang dia kenal sebagai pria lembut dan penuh kasih sayang, tapi sekarang sosok itu entah kemana. Bahkan sama sekali tak ada jejak yang tertinggal di dalam dirinya.
"Temuilah anakmu untuk terakhir kalinya tuan Gautama, sebelum penyesalan menggerogoti usiamu"
Tak ada respon dari Tama membuat Nara akhirnya bangkit. "Banyak hal yang tidak anda ketahui mengenai ibu anda. Dan saya harap, ketika anda menyadarinya, Amara masih hidup untuk menerima permintaan maaf anda, Permisi!"
Usai mengatakan itu, Nara langsung keluar tanpa memperdulikan raut wajah Tama yang berubah tegang.
Ia menerobos pintu melangkah menuju lift.
"Nara" panggil seseorang yang sempat menguping pembicaraan dirinya dengan sang suami.
Langkah Nara terhenti bergitu mendengar panggilan seorang pria dari arah belakang. Ia membalikkan badan dan netranya langsung bertemu dengan netra milik pria itu.
"Pak Aldi?"
"Maaf, aku sempat mendengar obrolan kalian" Kata Aldika tak enak hati. "Apa kamu serius dengan yang kamu katakan? kamu memiliki anak dari Tama?"
Nara menganggukkan kepala merespon pertanyaannya.
"Bisa kita bicara di ruanganku?"
Sempat ragu, akhirnya Nara menyetujui ajakannya.
"Mari" _______
"Silakan duduk Na" perintah Dika ketika sudah berada di dalam ruangannya.
"Maaf Na, kalau keingintahuanku membuatmu terusik"
"Apa yang ingin pak Aldi ketahui?" tanya Nara tanpa berani menatap wajahnya.
"Kalian memiliki anak?"
Nara kembali mengangguk.
"Lalu kenapa baru sekarang kamu memberitahu Tama, kenapa tidak dari dulu?"
"Saya sudah berusaha untuk memberitahukan, tapi saya justru di usir oleh satpam yang bekerja di pintu masuk kawasan rumah pak Nalendra, saya juga di usir oleh satpam bernama Sigit ketika saya datang kemari"
"Benarkah itu?" tanya Aldika dengan ekspresi serius.
"Apa ada raut bohong di wajah saya pak Aldi?"
Hening Aldika hanya menatap Nara lekat-lekat.
"Maaf saya harus pulang, Permisi!"
"Tunggu Na"
Cegah Aldika bersamaan dengan suara kursi yang di dorong ke belakang. Nara berdiri dengan raut heran.
Ia mengerjap menatap pria di hadapannya yang tengah menyorot tajam.
"Aku akan membujuk Tama agar dia mau menemui anaknya. Tapi jika Tama tatap tidak mau menemuinya, saya bersedia menjadi papa pura-pura untuk Amara"
Meneguk ludah, Nara merasa berada di posisi tersulit. Apa jadinya jika dia membohongi Amara, tapi bagaimana jika Tama benar-benar kekeh dengan pendiriannya, tidak mau menemui Amara barang sebentar.
Kekhawatiran itu seolah terus menghantui Nara.
"Aku sepupunya Tama, itu artinya, ada darahku yang mengalir di tubuh putrimu, iya kan?"
Nara masih terpaku dengan tawaran Aldika.
"Terimakasih, akan saya pikirkan?"
Aldi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Boleh minta nomor ponselmu?"
"Berikan ponsel pak Aldi"
Aldipun menyodorkan benda tipis miliknya ke tangan Nara.
Dengan cepat Nara mengetikkan nomornya di ponsel milik Aldi.
"Saya permisi pak Aldi" pamitnya seraya menyerahkan kembali ponselnya.
"Silakan"
Nara keluar dari ruangan Aldika.
Ketika tengah menunggu lift, begitu pintu itu terbuka menampilkan sosok wanita cantik dengan pembawaan sedikit angkuh. Itu menurut penilaian Nara. Dan wanita itu adalah Mishella, calon tunangan Tama.
Nara tak memperdulikan tatapan sinis dari Shella yang mungkin penasaran dengan dirinya. Ia langsung masuk lift yang akan membawanya turun ke lantai dasar.
Bersambung
suka banget sama karya2mu..
semoga sehat selalu dan tetap semangat dalam berkarya.. 😘🥰😍🤩💪🏻