"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Siapa?
Setelah istirahat, Ryan duduk di bangkunya dengan gelisah. Suasana kelas seperti dipenuhi bisikan-bisikan beracun. Gosip tentang dirinya dan Hana sudah menyebar bak api liar. Setiap melewati kelompok siswa, ia bisa merasakan tatapan mereka, sinis dan penuh tawa kecil.
haa... haa... haa…
Ryan mendengar tawa samar dari sudut kelas. Dia menoleh, melihat beberapa temannya menatapnya dengan senyum mengejek. Cengkeraman tangannya pada pensil semakin kuat.
Kriiiing!
Bel berbunyi nyaring. Guru masuk, pelajaran dimulai, tapi Ryan tak bisa fokus. Kata-kata guru hanya terdengar seperti gumaman tak jelas. Otaknya mendidih dengan kemarahan.
Setelah semua pelajaran selesai, Hana menghampirinya di pintu kelas, tersenyum hangat.
"Ryan, kamu mau pulang bareng?"
Ryan bahkan tak menjawab. Tanpa menoleh, ia berjalan melewatinya, langkahnya semakin cepat.
"Hei, Ryan!" Hana memanggilnya, bingung, tapi Ryan tak peduli. Ada satu tujuan yang menguasai pikirannya.
Aku harus menemukan mereka.
Lorong sekolah yang mulai sepi terasa dingin. Langkahnya menggema di sepanjang dinding.
tap… tap… tap…
Beberapa siswa menoleh saat melihatnya, tatapan heran di wajah mereka, tapi Ryan tetap melangkah lurus, matanya tajam.
Rei dan Ivan, mereka yang harus dia temui.
Ryan tahu di mana menemukannya. Sejak awal, Rei dan Ivan selalu membolos, terutama di jam terakhir. Mereka sering berkumpul di gang belakang sekolah, tempat sepi di mana masalah-masalah kecil sering diabaikan.
Setelah sampai di gang, ia melihat mereka. Rei duduk santai di atas kotak kayu, sementara Ivan bersandar di dinding dengan tatapan malas. Keduanya terlihat begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk gosip yang mengganggu pikiran Ryan.
"Rei!" seru Ryan, suaranya tegang dan nyaring.
Rei mendongak perlahan, wajahnya menunjukkan sedikit kejutan. "Oh, Ryan. Ada apa?"
"Apa maksudmu menyebarkan gosip itu?" Ryan berdiri dengan tangan terkepal, matanya menatap tajam ke arah Rei.
Rei menaikkan satu alis, menukar pandang dengan Ivan yang hanya menyeringai kecil. "Gosip apa?"
"Jangan pura-pura bodoh!" teriak Ryan, suaranya penuh kemarahan yang terpendam. "Kalian yang menyebarkan rumor tentang aku dan Hana, kan?"
Ivan tertawa pendek. Hah... "Hah? Kita bahkan nggak tahu gosip apa yang kau maksud," jawabnya sinis.
Rei menatap Ryan, matanya berkilat dengan ketertarikan aneh. "Serius. Kita nggak ada urusan sama gosip. Tapi menarik juga kalau ada drama kayak gitu."
'Bukan mereka?'
Senyum licik muncul di wajah Rei, seolah dia baru saja menemukan permainan baru. "Menarik… benar-benar menarik."
Dia berdiri, mendekati Ryan yang berdiri kaku di tempatnya. Dengan gerakan perlahan, Rei membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke telinga Ryan.
Hmm…
"Aku ingin lihat kelanjutannya," bisiknya pelan, nyaris berbisik.
plak!
Rei menepuk kepala Ryan dengan ringan, mengejutkannya. Ryan mundur selangkah, matanya penuh kemarahan dan kebingungan.
Ryan membalas tatapan Rei dengan pandangan tajam.
Rei tertawa kecil, tawa dingin yang membuat bulu kuduk berdiri. "Tenang aja. Sekolah bakal makin seru kalau ada drama kecil, kan?"
Ivan, yang berdiri di belakang Rei, menyeringai lebar. "Iya, kita lihat saja nanti. Seru kali ya?"
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rei dan Ivan berlalu, berjalan melewati Ryan, meninggalkan dia sendirian di gang yang dingin dan sepi.
Ryan berdiri terpaku, perasaannya campur aduk. 'Kalau bukan mereka, lalu siapa yang menyebarkan gosip itu?' pikirnya, kepalanya penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban.
Angin sore berembus pelan, membawa suara gemerisik daun di sekitar mereka.
srek... srek...
Ryan menghela napas panjang, mencoba meredakan amarah yang membakar dadanya. Frustasi dan bingung, ia memutuskan untuk kembali ke rumah.
Mungkin besok aku bisa mencari tahu lebih banyak, batinnya sambil melangkah pergi, meninggalkan suara-suara sisa bisikan dan tawa di belakangnya.
Ryan melangkah pelan, membiarkan dirinya terserap dalam suara angin dan dedaunan yang tergerus kakinya.
srek... srek...
...----------------...
"Semua ini salahku,' pikirnya, bibirnya mengepal menahan rasa sesak yang sejak tadi tertahan. 'Kalau bukan Rei atau Ivan... siapa lagi yang berani mengganggu hidupku?'
Langkahnya terasa semakin berat, beban pikiran menghantam tanpa henti. Setiap nama, setiap wajah yang terlintas, tak ada yang terasa benar. 'Kenapa mereka tidak bisa membiarkanku sendiri? Apa mereka pikir aku main-main sama Hana?'
Ia menendang batu kecil yang menghalangi langkahnya, perasaan marah, bingung, dan frustasi bercampur jadi satu. Tatapannya tajam, wajah-wajah yang muncul dalam ingatannya semakin kabur, tapi satu sosok tetap terpikir olehnya.
"Rangga…" desisnya, merasa perutnya bergejolak. 'Dia terlalu suka ikut campur urusan orang lain. menyebarkan Gosip adalah keahliannya. Tapi apa mungkin kali ini dia berani sampai sejauh ini?'
Suara burung di taman mengiringi langkahnya yang semakin cepat, semakin dalam pikirannya terbenam dalam dugaan yang belum pasti.
cuit... cuit...
'Kenapa mereka harus repot-repot membuatku terlihat buruk?' Kepalanya tertunduk, matanya menatap tanah dengan pandangan kosong. 'Apa semua ini cuma permainan buat mereka?'
Hujan mulai turun, rintik-rintik air menghantam wajah dan rambutnya, tapi Ryan tidak berhenti.
tik... tik...
'Kalau memang Rangga atau orang lain, apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku?' Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikiran yang kacau. 'Mereka pikir aku cuma mainan untuk membuang waktu mereka yang bosan?'
Begitu sampai di rumah, ia membuka pintu dengan cepat, suara berderit pintu memenuhi keheningan di dalam.
kreek...
Rumah terasa kosong, dan ini hanya membuat pikirannya semakin bising. "Sarah belum pulang,' pikirnya. Entah kenapa, ia berharap ada seseorang yang bisa mendengar kebingungannya, namun ruang kosong ini malah memperdalam kesepiannya.
Setelah melepas sepatu, Ryan naik ke kamar, menyalakan lampu dengan tangan gemetar.
klik.
Ia terjatuh ke atas tempat tidur, kepalanya terasa penuh sesak, hampir meledak oleh segala pertanyaan yang tidak ada jawabannya. 'Siapa yang menyebarkan gosip ini? Dan kenapa?'
Hening di sekeliling semakin menekannya, sementara suara hujan di luar terdengar seperti bisikan-bisikan dari mimpi buruknya.
drip... drop...
Ryan menarik napas dalam, menatap langit-langit dengan pandangan yang buram oleh rasa marah dan lelah. 'Mungkin besok aku bisa mendapatkan jawaban. Besok aku harus tahu siapa yang main-main dengan hidupku,' pikirnya, menggenggam kepalan tangan.
Ia berbaring lebih tenang, tapi matanya tetap terbuka lebar, pikirannya terus-menerus menyusun rencana yang mungkin tak akan selesai sampai ia menemukan kebenaran.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂