"Kita sudah ditakdirkan untuk bertemu. Kamu adalah milikku. Kita akan bersatu selamanya. Maukah kamu menjadi ratu dan permaisuri ku, Lia?" ucap Mahesa.
Dia di lamar oleh Mahesa. Pemuda tampan itu dari bangsa jin. Seorang pangeran dari negeri tak terlihat.
Bagimana ini...?
Apa yang harus Lia lakukan...?
Apakah dia mesti menerima lamaran Mahesa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minaaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15. Hati - hati Bekerja di sini, Mbak!
Sepeninggal Iteung, Mbak Nah datang dan menghampiri Lia. Wanita berhijab itu heran melihat Lia yang kini bermandikan keringat.
"Lia, ini ada handuk kecil untuk menyeka keringat di dahi mu", ujar mbak Nah sembari menyerahkan selembar handuk kecil pada Lia.
"Makasih, mba..", ucap Lia. Dia menerima handuk dari tangan mbak Nah dan langsung mengelap keringat di dahinya.
Dia duduk di sebuah kursi sambil menenangkan diri.
"Nih, minum. Kamu kayaknya terlihat cape. Apa kamu sakit, Lia?" tanya Mbak Nah.
"Ahh, tidak kok, Mbak. Mungkin karena belum terbiasa saja. Lagi pula aku belum terbiasa berada di depan kompor berlama-lama," ucap Lia.
Dia menerima segelas air putih yang di sodorkan Enah padanya. "Terima kasih, mbak,"
"Sama - sama, Lia", jawab Mbak Nah.
Sampai hari menjelang siang, Lia menghabiskan waktu dengan ngobrol dengan Enah. Melalui obrolan itu, Lia akhirnya mengenal Enah lebih dalam. Bahkan keduanya sempat menanyakan asal usul masing-masing.
"Lia, sebentar lagi jam makan siang tiba. Ayo kita makan siang dulu. Nanti kita nggak sempat makan, loh!", ujar Enah pada Lia.
"Aku belum lapar, Mbak. Mbak aja yang makan duluan. Aku entar aja," ujar Lia.
"Tapi kamu sejak pagi belum makan, Lia", ujar Enah khawatir.
"Nanti saja, Mbak."
"Kamu yakin, Lia ? Nanti kamu nggak sempat makan loh," ujar Enah.
"Nggak apa, Mbak makan aja dulu. Aku belum lapar. Perutku masih kenyang karena tadi sudah makan bubur", ucap Lia.
"Ya udah,... kalau begitu mbak makan duluan ya", ucap Enah.
Lia melempar tersenyum tipis pada Enah. Dia sedikit tenang kalau ada mbak Enah di sana karena sejak tadi tak ada penampakan hantu di dekatnya.
Benar kata Enah, saat jam makan siang tiba, sudah ada banyak pesanan makanan yang harus di masak dadakan oleh mereka berdua.
Enah dan Lia sampai kewalahan menangani pesanan yang membludak siang itu. Mereka berdua bahkan merasa seperti tak bisa bernapas lega sedikit pun.
Lia dan Enah sibuk sedari pagi hingga sore. Perut Lia sekarang sudah merasa lapar karena siang tadi dia belum makan.
Malam hari pun tiba,..
Lia sama sekali belum mengisi perutnya yang terasa lapar. Lia sama sekali tidak mau makan makanan yang ada di rumah makan itu.
Bagaimana mau makan?
Lia sangat jijik melihat makhluk - makhluk itu Menaruh liur dan cairan mereka ke semua makanan di sana.
"Mba Nah,... sudah mau tutup ya?" tanya Lia pada Enah.
"Iya,...kenapa emang? Oh iya,... Lia, kamu kan belum makan. Ayo, cepat makan dulu Lia mumpung masih di sini," Ujar Enah.
"Nah,... itu dia, Mba. Aku nggak berselera makan di sini. Apa di sekitar tempat ini ada orang yang jualan makanan jam segini, ya mbak?" tanya Lia.
"Jualan makanan, ya?", Enah sejenak berpikir
"Kalau malam, biasanya ada penjual sate keliling. Paling sebentar lagi juga lewat kok," ucap Enah.
"Nah,.. aku beli itu aja, Mbak," ucap Lia.
Enah nampak mengernyitkan dahi. "Aneh,...di sini banyak makanan enak loh, Lia. Kenapa kamu mesti repot - repot beli makanan di Bukankah itu sama saja dengan pemborosan. Entar uang simpanan mu habis. Atau jangan - jangan kamu nggak suka masakan ku ya?"
"Bu-bukan gitu, mbak. Aku itu paling susah kalau makan. Aku tuh jarang makan. Hanya makanan kesukaanku saja baru aku mau makan,"
"Lagi pula, apa mbak lupa,... aku loh juga masak di sini. Tapi aku juga nggak selera makan masakan ku sendiri. Jadi bukan karena masakan mbak Nah yang tidak enak, tapi karena memang aku nya saja yang susah makan." ucap Lia sedikit panik.
"Aduh,... aku jadi enggak enak sama Mbak Nah,"
Enah tampak tersenyum simpul.
"Iya, nggak papa, kok. Sudah kamu bantu di luar aja, sambil menunggu tukang satenya lewat," ujar Enah.
"Jadi mbak Nah sendirian di sini?"
"Panggil saja Iteung kemari untuk gantiin kamu," ucap Enah.
"Oh iya, kalau begitu Lia ke depan dulu ya, Mbak," ucap Lia.
Wanita berhijab itu kembali tersenyum. Begitulah Enah, wanita itu sangat baik dan berpenampilan lembut. Dia juga terlihat sangat sabar.
Lia menuju ke luar. Dia melihat Iteung sedang menyapu lantai.
"Teung, aku saja yang di sini. Kamu d dalam aja bantu Mbak Nah.
"Loh,... emang nya kamu kenapa?"
"Kata mbak Nah, biasanya kalau malam ada tukang sate keliling yang biasa lewat. Aku mau beli sate, Teung. Dari tadi siang aku belum makan. Aku lagi males makan masakan di sini," ujar Lia.
Hal itu tentu saja bagi Iteung terdengar aneh. Biasanya para karyawan yang bekerja di sini, mereka akan mengambil lauk pauk yang mereka sukai karena setiap karyawan rumah makan ini mendapatkan jatah satu orang satu setiap hari.
"Aneh,... padahal banyak pilihan menu yang tersedia di sini, Lia. Kamu bebas kok mau ambil apa aja lauk yang kamu suka. Ada ayam, daging, udang, ikan atau cumi kalau mau, Lia. Bukankah itu enak. Meskipun kita di jatah satu kali saja yaitu malam hari." ujar Iteung.
"Iya, ... tapi aku malas, Teung." ujar Lia.
"Haisss,.... kamu memang aneh dari dulu," ujar Iteung.
"Ya sudah,... ini sapunya. Aku mau ke belakang bantu Mbak Nah," ucap Iteung lagi.
"Oke,... makasih ya teung," ucap Lia seraya tersenyum manis.
Lia fokus menyapu dengan menundukkan wajahnya. Dia sengaja memilih melihat ke arah lantai saja karena makhluk halus yang dia lihat sebelumnya kini sedang menatap ke arah nya. Mereka terus memperhatikan Lia dengan tatapan tajam.
Ting...Ting... Ting....
Suara mangkok keramik yang di pukul sendok terdengar.
"Sate,....sate.....!", teriak penjual sate dari luar. Lia berlari keluar untuk membeli sate.
"Mas,.... beli satenya," teriak Lia.
Tukang sate pun berhenti tepat di depan rumah makan.
"Mas,.... bikinin sate satu porsi ya," ujar Lia.
"Oke, Mba," jawab si tukang sate.
Pria itu mulai membakar satenya. Aroma harum dari bumbu sate semerbak membuat perut Lia semakin keroncongan.
"Mba baru ya, kerja di sini?" tanya tukang sate itu.
"Iya, mas. Kok masnya tau, sih?" tanya Lia.
"Adik saya dulu kerja di sini, Mba. Jadi saya kenal betul dengan semua karyawan yang kerja di sini," ujar penjual sate.
"Ohh,... jadi sekarang adek mas nggak kerja di sini lagi?", tanya Lia.
"Nggak, mbak. Waktu kerja di sini, adik saya itu sering sakit-sakitan. Tapi setelah pulang sembuh. Jadi nggak saya izinin kerja di sini lagi."
"Ohh, begitu ya, mas", ucap Lia.
"Ini Mba, satenya sudah siap, mau pake lontong, kah?"
"Boleh, mas," ucap Lia senang. Kebetulan juga dia belum makan. Tak ada nasi, lontong juga bisa jadi pengganjal perut.
Penjual sate menyerahkan bungkusan sate lengkap dengan sebatang lontong kepada Lia.
"Jadi berapa , mas?" tanya Lia.
"20 ribu aja, Mbak."
Lia menyerahkan uang pecahan dua puluh ribu kepada Penjual sate seraya mengucapkan terima kasih.
"Mbak,....hati - hati kerja di sini ya," pesan penjual sate sebelum pergi meninggalkan tempat itu.
Kening Lia berkerut heran mendengar pesan penjual sate itu.
Kira - kira, ada apa ya, ... dengan rumah makan yang di tempati Lia bekerja sekarang?
Penasaran? Simak lagi kelanjutannya, ya...