Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 26
Melihat ibu mertuanya baru saja selesai sholat ashar, Sukma berjalan mendekat. Memang sengaja ia menunggu nenek Ratih dari beberapa menit lalu. Wanita sepuh itu sedikit terkejut saat melihat Sukma berada di depannya.
“Ehm… I-Ibu, bisakah kita berbincang sebentar?”
Nenek Ratih mengangguk, lantas memilih duduk di amben bambu yang terletak di dapur, tepat di samping pintu belakang yang masih terbuka. Di sana ada Wijaya yang tengah mengasah pisau untuk menyembelih ayam, Sukma ingin memasak hidangan spesial untuk keluarga kyai Usman yang akan datang.
Sukma kira bisa dengan mudah mengutarakan perasaannya pada ibu mertuanya itu, tapi kenyataan yang ada keduanya masih sama-sama diam, tak ada satupun dari mereka yang berinisiatif membuka percakapan.
Nadira yang baru saja keluar dari kamar mandi menatap keduanya dengan kening berkerut, gadis itu memilih tak peduli. Ia belum melaksanakan shalat ashar, dan bergegas menuju ruang khusus sholat.
“Ibu, tak adakah yang ingin ibu katakan pada Sukma?” Kalimat pertama yang berhasil lolos dari mulut wanita itu, lama-lama ia kesal dengan kesunyian di antara mereka.
Tapi siapa sangka nenek Ratih justru meninggalkannya, wanita itu berjalan menuju ruang tengah dan masuk ke dalam kamar. Sukma sengaja mengikutinya, melihat ibu mertuanya mengambil sebuah kotak kayu dari dalam lemari di kamar.
“Ini, lihatlah sendiri Sukma.” Menyerahkan kotak kayu yang telah terbuka pada menantunya itu. Lantas duduk di atas ranjang, dan Sukma melakukan hal sama.
Sukma melihat sebuah tespek dan sepucuk surat, ia meraih kertas berwarna ungu muda itu, lantas meletakkan kotak kayu di atas pangkuan. Sukma membuka kertas dan mulai membaca tiap baris kalimat yang tertulis rapi di dalamnya.
Air matanya menetes saat menyelesaikan kalimat terakhir dari surat itu, lantas melipatnya kembali dan menatap ibu mertuanya yang juga memandangnya.
“Itu surat Memey pada Bagas, di dalamnya tertulis jelas bahwa gadis itu meminta maaf pada suamimu, karena dengan sengaja memulai yang tak seharusnya terjadi malam itu. Bagas hanya sedang berada dalam pengaruh alkohol, aku tahu putraku tak akan pernah memiliki perasaan spesial pada Meylani. Ia hanya menganggap Memey sebagai adik saja, meski ia juga bersalah, kalau saja malam itu anak itu tidak mabuk.”
Sukma masih diam, ternyata suaminya bukanlah yang memulai, dan ini jelas bukan kesalahan Bagas ataupun kedua mertuanya.
“Nduk, sedari awal ibu dan bapak hanya menyukaimu, kami merestuimu sebagai menantu, istri dari Bagas. Adapun apa yang terjadi pada Memey, sudah menjadi takdirnya harus seperti itu.”
Belum juga Sukma menjawab perkataan ibu mertuanya, saat tiba-tiba saja mereka berdua mendengar suara kyai Usman menyela di samping pintu.
“Yang dikatakan mbah Ratih benar, mbak Sukma. Adapun arwah mbak Memey yang terlihat seperti mendendam itu tidaklah nyata. Orang mati, ruhnya sedang sibuk mempertanggung jawabkan amal selama di dunia, sementara yang selama ini mengganggu hanya jin qorin yang sedang tersesat.
Jin itu mengira dirinya lah Memey, dan bersembunyi di dalam rumah kosong bertahun-tahun lamanya. Saat melihat mbak Sukma dan Nadira datang, jin itu lantas mengganggu kalian berdua.”
“Kyai,” ucap keduanya hampir serentak. Sukma dan nenek Ratih bergegas keluar kamar, ternyata kyai Usman sudah bersama Wijaya disana.
“Loh mana bu nyai Hasna, Kyai?” tanya nenek Ratih menyadari sang kyai datang seorang diri.
“Maaf mbah, rencananya memang nanti malam kita sekeluarga datang kesini. Tapi ternyata istri saya sedang kurang enak badan. Jadi saya memutuskan datang sendiri.”
“Ya Allah, semoga bu nyai lekas sehat kembali. Mari Kyai pinarak dulu.” Nenek Ratih meminta Wijaya mengajak kyai Usman ke ruang depan, sementara ia meminta Sukma segera menyiapkan hidangan untuk beliau.
Tanpa basa basi kyai Usman mengutarakan niat beliau datang sore itu, karena waktu antara ashar dan maghrib sangat terbatas. Beliau mengatakan jika rumah nenek Ratih harus dipasang pagar gaib, agar makhluk-makhluk tak kasat mata itu tidak lagi mengganggu.
“Karena jika fokus kita pada rumah kosong di sebelah itu jelas sulit, Mbah. Misalkan kita membongkar rumah kosong itu, kita harus dapat persetujuan kerabat pemilik rumah. Sedangkan menurut yang saya dengar kerabat almarhum pak Dasuki tinggal jauh di luar kota, dan tidak ada yang punya kontaknya.
Jadi, lebih baik kita fokus pada rumah nenek Ratih saja, kita pasang pagar gaib untuk melindungi seisi rumah.”
“Kami manut saja Kyai, yang terpenting jin itu tidak lagi mengganggu cucu dan menantu saya,” ucap nenek Ratih.
Wijaya pun setuju, begitu juga Sukma dan Nadira yang baru saja datang membawa teh panas dan beberapa camilan.
Tanpa berlama-lama lagi, kyai Usman meminta izin untuk segera memasang pagar gaib yang sudah beliau bawa dari rumah. Ada beberapa kertas dan dua botol kaca berisi air, beliau lantas memanggil Dafa yang ternyata menunggu di luar.
Nadira sempat mencari-cari jika saja Dafa membawa Rendra, tapi ternyata kyai hanya membawa Dafa saja. Ada sedikit perasaan kecewa, tapi lega disaat bersamaan. Sungguh Nadira belum siap menghadapi lelaki itu, ada perasaan malu dan rendah diri mengingat Rendra terlalu banyak mengetahui rahasia keluarganya, belum lagi ketika ia kesurupan saat itu.
“Pasti mukaku jelek sekali kan waktu itu?” gumamnya dalam hati.
Kyai Usman meminta Dafa membakar kertas di depan pintu, pintu depan, pintu samping dan pintu belakang. Sementara Wijaya diminta untuk membantu kyai mengubur botol kaca di depan rumah, tepatnya di sudut gerbang, tepat di samping rumah kosong.
“Dafa, jangan lupa sebelum membakar pastikan dalam keadaan suci, lantas baca adzan, iqomah, surat al mu'awwidzatain dan surat al-ikhlas, setelah itu baru kamu bakar sampai habis tak tersisa. Ingat, jangan sampai menyisakan secuil saja dari kertas itu. Kamu mengerti?”
“Inggih Kyai, insya Allah sampun mengerti.”
Kyai Usman mengangguk, lantas mengajak Wijaya menuju depan rumah. Tak lupa membawa cangkul sebab harus mengubur botol dalam-dalam, agar tak ada yang bisa mengeluarkannya.
Wijaya mulai menggali, disaksikan Nenek Ratih, Sukma dan juga Nadira. Kyai Usman menunggu sambil terus membaca dzikir, botol berisi air digenggamnya erat. Sore itu hujan rintik-rintik, tak ada satupun tetangga yang keluar rumah.
Bahkan mbah Sani dan putranya yang terbiasa duduk di teras pun tak ada. Rumah wanita tua itu terkunci rapat, sepertinya mbah Sani dan Seno sedang bepergian.
“Sampun Kyai,” ucap Wijaya. Kyai Usman mengangguk, lantas mulai membaca adzan dan iqomah, serta beberapa ayat suci alquran sesuai yang diajarkan beliau pada Dafa tadi. Setelah itu beliau meletakkan botol kaca berisi air itu di dalam lubang, dan menutupnya sendiri dengan tanah.
Setelahnya kyai kembali berdoa, sementara Wijaya turut mengangkat tangan dan mengaminkan di dalam hati. Doa telah usai, kyai lantas kembali masuk ke dalam rumah.
“Alhamdulillah, sudah selesai mbah Ratih, mbak Sukma dan Nadira,” ucapnya tersenyum senang. Ditangan beliau masih ada satu botol tersisa.
"Botol yang ini tidak dikubur juga, Kyai?" tanya Sukma sambil menunjuk satu botol tersisa.
"Ini untuk diminum satu keluarga, jadi tolong mbak Sukma pindahkan air dalam botol ini ketempat yang lebih besar, lalu tambahkan air minum. Dan airnya dapat dikonsumsi sehari-hari, tapi ingat jangan pernah dihabiskan, saat air tersisa seperempat segera isi ulang, utamakan mengisinya di malam hari, agar air benar-benar tercampur keesokan harinya."
Semua orang mengangguk mengerti, tapi tidak dengan Nadira seorang. Gadis itu justru mengajukan pertanyaan tak terduga, “Sesimpel itu abah Kyai?” ucapnya penasaran, ibunya menyiku lengan gadis itu, dan Nadira tampak malu-malu.
“Iya, sesimpel itu. Tapi… ada syaratnya.” Kyai Usman masuk ke dalam rumah, duduk kembali di sofa sembari menunggu Dafa yang belum menyelesaikan tugasnya.
“Apa syaratnya Kyai?” tanya Wijaya mewakili keluarganya yang sama-sama penasaran seperti dirinya.
Kyai Usman kembali melempar senyum, beliau meraih cangkir teh dan mulai menyesap manisnya teh melati yang dihidangkan oleh tuan rumah. “Syaratnya adalah….”
.
Tbc