Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Penjaga Keamanan Kosan
"Buka, bangsat!!!"
Suara gedoran beserta teriakan saling bersahutan, membuatku langsung menghentikan aktivitas menangkap kecoak dan fokus ke arah pintu. Sedangkan mbak Bian dan mas Jems jangan ditanya, seperti acuh dengan suara gedoran di pintu, mereka justru menarik-narik sarungku, mendesak agar aku segera menuntaskan kecoak yang terakhir.
"Lo nggak buka pintu ini gue dobrak!"
Teriakan kembali terdengar. Seketika aku dilema, membuka pintu atau menerkam kembali kecoak yang sudah menegakkan antenanya, seakan menantangku.
"Mamposs, dia terbang kesini!!"
Mas Jems berteriak panik. Tarikan tangannya di sarungku semakin kuat, membuatku hampir tercekik.
“Mampus gue! Mampus!!"
Mbak Bian ikut berteriak saat kecoak itu mulai mengitari kami, dengan sombongnya menantangku menggunakan sayap cokelat beserta antenanya yang bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Tak tahan dengan tarikan dan suara gedoran yang membuatku pusing, aku langsung memukul kepala mas Jems dengan sekop sekeras mungkin, sebelum akhirnya mulai memburu kecoak terakhir.
Kecoak satu ini sepertinya bisa dikategorikan sebagai kecoak mafia mantan atlit. Gerakannya sangat lincah, tetapi begitu dia hinggap di rambut atau di wajah mbak Bian, kaki tajamnya langsung membuat mbak Bian dan mas Jems menggeliting kepanasan.
Tentu saja yang paling menderita adalah aku! Harus melindungi 2 manusia super penakut sementara aku sendiri juga gemetaran setengah mati. Padahal secara penampilan, mas Jems cukup kekar dan atletis.
Akhirnya, setelah berlari kesana kemari, si kecoak berhasil kulumpuhkan.
"Hahhhh, syukurlah!"
Kami bertiga sontak menghela nafas lega.
"Nggak lo buka gue dobrak nih!"
Kelegaanku tak berlangsung lama karena uara teriakan di balik pintu semakin terdengar tak sabaran, bahkan aku bisa melihat engsel pintu yang hampir lepas akibat gedoran yang terlalu keras.
Mbak Bian mendorong mas Jems hingga tersungkur di depan tubuh kecoak yang baru saja kukalahkan, membuat teriakan macho mas Jems keluar dari mulutnya.
Aku mengerlingkan mata sebal, rasanya ingin kujitak saja kepala mas Jems. Dalam hati aku turut prihatin dengan selera mbak Bian. Sekalipun mas Jems cukup ganteng dengan tubuh tinggi dan atletis bak model iklan L-Men, tetap saja tingkahnya nggak jauh-jauh dari model iklan Bebelac. Ngakunya macho, sama kecok aja takut!
"Apaan sih?"
Mbak Bian membuka pintu dengan tiba-tiba, bertepatan dengan serobotan pria kekar yang sedari tadi menggedor pintu. Sepertinya pria itu berniat untuk mendobrak. Tapi gerakan mbak Bian yang membuka pintu secara tiba-tiba membuat tubuhnya masuk ke dalam dan berakhir menabrak dinding kamar mbak Bian.
"Auuu!!"
Aku meringis saat mendengar suara yang cukup keras. Ya tuhan, aku yakin pasti sakit.
Tapi, seperti tak merasakan apapun, pria kekar itu menegakkan tubuhnya, memandang kami satu persatu dengan tatapan garang. Aku menyipitkan mata saat melihat wajah pria itu. Aku ingat! Pria inilah yang tadi menghajar mbak Nina. Seketika emosiku kembali memuncak saat mengingat perlakuan pria itu kepada mbak Nina.
"Ngegas banget sih bang. Pintu gue rusak elu ganti ya."
Protes mbak Bian sewot, membuat pria itu kini menatap mbak Bian dengan ekspresi galak.
Melihat wajahnya dari dekat membuatku teringat dengan preman kembar di salah satu sitkom yang sering ku tonton dulu, judulnya preman pensiun. Sitkom yang menceritakan para preman yang sudah bertaubat. Kuperkirakan umurnya sekitar 30 tahun, dengan kepala plontos dan badan yang sangat tegap. Mungkin bukan sixpack lagi, tapi mendekati sixtypack.
"Lo harusnya buka pas gue masih gedor baik-baik!"
Bantahnya dengan suara berat. Dia lagi-lagi memandangi wajah kami satu persatu.
"Lo siapa? Bukannya isi kosan ini cewek semua?"
Pria itu mengalihkan tatapannya ke arah mas Jems.
Mbak Bian berjalan dengan langkah dihentakkan tepat ke depan pria kekar itu.
"Apa urusannya sama lo? Harusnya lo yang siapa? lo kan juga cowok. Atau jangan-jangan lo perempuan, bukan laki-laki?"
Sewot mbak Bian sambil berkacak pinggang.
"Jaga omongan lo, perempuan sialan!"
Wajah pria itu memerah, sepertinya perpaduan amarah akibat perkataan mbak Bian sekaligus tindakan mbak Bian yang membuka pintu secara tiba-tiba. Dia lalu beringsut maju, mendorong mbak Bian berkali-kali dengan telunjuknya. Tapi mbak Bian tidak sedikitpun bergeming. Entah bagaimana mbak Bian bisa tetap berada di posisinya tanpa bergeser sedikitpun. Padahal aku yakin pria kekar itu mendorong bahu mbak Bian dengan kekuatan penuh, walaupun hanya menggunakan jari telunjuk.
"Wow, lo laki atau separoh matang hah? Beraninya main kasar dengan perempuan!"
Mbak Bian nggak mau kalah, sekarang gantian mbak Bian-lah yang mendorong bahu pria kekar itu, membuat pria itu mundur beberapa langkah. Aku hanya bisa terplongo menyaksikan pemandangan di depanku. Selama ini aku hanya pernah melihat mbak Bian yang selalu bersikap lemah lembut. Mbak Bian yang bar-bar dan menyeramkan seperti ini belum pernah kulihat sebelumnya,
Perseteruan mbak Bian dan pria kekar itu hampir saja berubah menjadi adu jotos, kalau saja mas Jems tak bergerak maju dan menengahi mereka.
"Sorry bang, gue pacarnya Bian. Karena gue sibuk, gue selalu dateng malam-malam kesini. Sorry kalau abang keganggu"
Ucap mas Jems panjang lebar, menjelaskan siapa dirinya.
Entah kenapa aku seakan mendengar nada tak ikhlas sekaligus kerutan di dahi mas Jems saat dia menyebutkan kata pacar, membuatku bertanya-tanya. Ah.. apa jangan-jangan dia tak ingin hubungannya dengan mbak Bian diketahui orang ya? Mungkin saja mas Jems adalah tipe orang yang suka menjalani hubungan se-privat mungkin. Atau.. Jangan-jangan, mbak Bian selingkuhan mas Jems? Aku langsung menggelengkan kepala, menepuk jidatku untuk menghilangkan segala spekulasi gila dipikiranku.
Pria itu tak serta merta menerima alasan mas Jems, dia masih memandangi mas Jems dengan tatapan curiga, mengamati mas Jems dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Tiba-tiba jarinya tertunjuk ke arahku, begitu pula pandangannya.
"Dia, kok bisa ada disini?"
Tanyanya tiba-tiba, membuatku sedikit kaget.
"Kita bertiga lagi main uno tadi"
Jawab mbak Bian tenang sambil menunjuk kartu uno yang entah sejak kapan sudah berserakan di lantai.
"Oh ya? Jadi kenapa kalian berisik dan lama buka pintu tadi?"
Mbak Bian menghela nafas berat, melipat tangannya di depan dada. Ekspresi kesal semakin tergambar di wajah cantiknya
"Ini kenapa gue harus laporan sama elu ya? Kita bedua penghuni sah di kos ini. Suka-suka kita dong mau jungkir balek kek, buka sirkus kek, main engklek kek disini. Toh tante Ella nggak pernah protes!"
"Tapi gue penjaga keamanan baru disini. Gue sepupunya tante Ella."
Balas pria kekar itu, membuatku sontak membelalakkan mata.
Aku yakin 1 juta persen melihat pria kekar itu memukuli mbak Nina, dan tiba-tiba dia menjadi penjaga keamanan kos yang baru? Ya tuhan, big no! Bagaimana mungkin orang sekasar ini bisa menjadi tenaga keamanan?.
"Oh, iya? Gue nggak tahu dan nggak mau tahu tuh."
Sahut mbak Bian acuh. Dia lalu menunjuk ke arah pintu yang masih terbuka lebar
"Sekarang lo keluar dari kamar gue. Ganggu orang aja."
Pria kekar itu mengerutkan alis sebentar, lagi-lagi memandangi kami dengan tatapan penuh selidik sebelum akhirnya berjalan menuju pintu.Tapi, baru beberapa langkah dia berjalan, dia tiba-tiba berhenti dan berbalik, memandang lurus-lurus ke arahku
"Apa tadi diantara kalian ada yang berdiri di balkon dan ngeliat ke bawah?"