Sistem Sepak Bola

Setelah selesai melihat statusnya, Leo merebahkan dirinya di ranjang. Tubuhnya terasa lelah, tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Efek hukuman itu nyata—tubuhnya lebih lamban, setiap gerakan terasa berat, seakan-akan energi di dalam dirinya disedot habis.

Ponselnya kembali bergetar, kali ini pesan dari ayahnya masuk:

Ayah: "Ingat, Nak. Kekalahan terbesar adalah ketika kita berhenti mencoba. Terus maju, Leo. Kami percaya padamu."

Leo tersenyum kecil membaca pesan itu. Kata-kata ayahnya selalu tepat sasaran. Meskipun ia tahu kondisinya saat ini tidak dalam puncak, dukungan keluarga memberikan kekuatan tersendiri.

Keesokan harinya, Leo tiba lebih awal di lapangan latihan. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih akibat hukuman sistem, dia tahu tidak ada waktu untuk bersantai. Dia harus bangkit. Semangat itu yang membawanya ke lapangan sebelum pemain lain datang.

Saat sedang berlatih sendiri, Pelatih Roger datang menghampirinya. "Kamu datang lebih awal lagi, Leo?"

Leo tersenyum tipis, mengangkat bola di tangannya. "Saya merasa butuh lebih banyak waktu untuk memulihkan diri Coach,"

Pelatih Roger memperhatikan gerak gerik Leo selama beberapa detik, lalu mengangguk. "Aku bisa melihatnya. Ada sesuatu yang berubah, Leo. Kamu terlihat lebih lambat hari ini."

Leo tak bisa menyangkal. Pengurangan atribut yang ia alami benar benar berdampak. "Iya, saya merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Tapi saya akan berusaha keras untuk memperbaikinya."

Roger menepuk bahunya. "Ini bukan hanya soal fisik, Leo. Pemulihan itu juga soal mental. Kembali bangkit setelah jatuh adalah hal tersulit bagi seorang pemain. Tapi aku yakin kamu bisa."

"Terima kasih, Coach," jawab Leo sambil tersenyum lemah. Meski kondisinya tidak ideal, semangat pelatihnya menguatkan tekadnya untuk terus maju.

Roger lalu mengeluarkan sebuah rencana latihan baru. "Kita akan fokus pada kekuatan mental dan ketahananmu. Aku ingin kamu bekerja lebih keras dari biasanya, tapi ingat, ini bukan soal siapa yang tercepat atau terkuat. Ini soal konsistensi."

Leo mengangguk mengerti. Ini adalah bagian dari proses pemulihan. Meskipun sistem menghukumnya, ia harus membuktikan bahwa dengan kerja keras, ia bisa bangkit lagi.

Setelah sesi latihan pribadi selesai, pemain-pemain lain mulai berdatangan. Leo melihat Lukas dan Jonas sedang duduk di bangku pinggir lapangan. Kali ini, dia merasa lebih yakin untuk mendekati mereka. Setelah percakapan kemarin, suasana antara mereka terasa sedikit lebih cair.

"Lukas, Jonas, bisa ngobrol sebentar?" tanya Leo ketika ia mendekati mereka berdua.

Lukas, yang kemarin terlihat dingin, kini tampak lebih santai. "Tentu, Leo. Ada apa?"

"Aku cuma mau bilang, terima kasih sudah mendengarkanku kemarin. Aku tahu kita semua punya tujuan yang sama, yaitu membuat tim ini lebih baik. Aku benar-benar ingin kita bisa bekerja sama lebih baik dari sebelumnya."

Jonas tersenyum. "Aku rasa kita semua harus belajar untuk lebih terbuka. Kami juga minta maaf kalau selama ini membuatmu merasa tidak nyaman."

Lukas akhirnya angkat bicara. "Aku pikir... kita bisa memulai dari awal, ya? Lagipula, ini bukan soal siapa yang lebih baik, tapi soal bagaimana kita bisa menang bersama."

Leo mengangguk, merasa lega. "Benar, Aku setuju."

Dari belakang Lars dan Max berjalan menghampiri mereka bertiga, Lars tiba-tiba menyela. "Apakah kita sudah mendapatkan kesepakatan di sini teman teman?"

Leo menjawab dengan tenang "Ya, Lars. Semua sudah selesai."

"Kalau begitu, Aku dan Max akan ikut, mari kita raih kemenangan bersama."

Mereka semua saling menatap dan tertawa bersama.

Percakapan itu mungkin terdengar sederhana, tapi bagi Leo, ini adalah langkah besar untuk memperbaiki hubungan di dalam tim. Mereka semua ingin yang terbaik, dan sekarang dengan masalah personal mulai terselesaikan, ia merasa tim ini bisa mulai berkembang ke arah yang lebih baik.