Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEDATANGAN SESEORANG
"Damar pergi," jawab Ratna sambil menunduk pada selembar kertas kecil di tangannya.
"Dan itu kenapa?" Sekar menghela nafas panjang. "Hanya karena aku tidak berkencan, aku layak dijodohkan, begitu?"
"Ya," jawab Ratna sambil menyilangkan tangan di dadanya. "Kamu hampir tiga puluh tahun, dan masih tinggal di rumah, di kamar lamamu, berteman dengan mainan yang bisa diputar."
"Waku itu ikan," jawab Sekar tajam, "Dan aku masih dua puluh tujuh tahun."
"Intinya, kamu butuh seseorang yang bisa menjagamu," kata Ratna, berjalan ke sisi Sekar dan meletakkan tangan di bahunya. "Pria itu menawarkan banyak uang untuk membangkitkan restoran kita. Dia ingin membantu kita, dan dia juga ingin membantu kamu," tambah Ratna, menyentuhkan jarinya ke dagu Sekar. "Dia menyukaimu, dia sudah menyukaimu sejak pertama kali melihatmu. Beri dia kesempatan, kamu akan belajar mencintainya."
"Aku tidak ingin belajar mencintainya. Aku ingin kebebasanku. Aku tidak mau masuk dalam daftar perempuan yang pernah dia tiduri," ujar Sekar, memalingkan wajahnya dari ibunya.
"Kalau begitu jangan mau diperlakukan begitu," jelas Ratna. "Buat dia berusaha. Serius, buat dia merasa kosong saat kamu tidak ada di hidupnya." Ratna melanjutkan, "Kisah cinta hebat hanya ada di film, atau di pikiran Laras setiap kali ada pria tersenyum padanya." Dia mengibaskan tangannya, mengabaikan komentar terakhirnya, dan kembali duduk di kursi. "Kamu berbeda, kamu butuh dorongan."
Sekar Mengerutkan kening, bangkit dari kursinya, dan membuka pintu menuju dapur yang panas. Laras berdiri di sebelah Panji, bersandar di meja, berbicara dengan cara yang jelas menunjukkan dia berharap Panji akan mengajaknya keluar. Sekar memutar matanya, berjalan mendekat, dan menyilangkan tangan di dadanya saat tiba di hadapan mereka.
"Kamu tahu, saudara perempuanku ada di industri fashion," kata Panji sambil mengaduk adonan. "Dia terbang ke New York hanya untuk pekan mode. Mungkin kalau kamu memberikan beberapa sketsamu ke Sekar, Sinta bisa menemukan seseorang yang mungkin bisa membantumu."
"Bagaimana dengan meja kotornya?" tanya Sekar, menatap Laras dengan mata menyipit.
Laras berdiri tegak dan tersenyum kecil, meletakkan tangannya di pinggul. "Sudah selesai," jawabnya dengan penuh percaya diri.
"Bagus, ini," kata Sekar, membungkuk dan mengambil kotak tisu baru. "Isi ulang tempat tisunya."
Laras memutar matanya sambil mengambil kotak itu. "Ya ampun, kamu sangat suka memerintah," kata adiknya sebelum berbalik dan keluar dari dapur.
"Dia manis," komentar Panji sambil melirik Sekar. "Sepertinya dia memiliki semua rasa percaya diri di antara kalian berdua, dan dia memiliki niat baik."
Sekar Menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, jika aku mau, aku bisa tidur dengan adikmu sebelum kita melangsungkan pernikahan," kata Panji sambil tertawa.
"Apakah kamu serius?" Sekar Tertegun, tidak percaya.
Alis Panji terangkat saat dia menatapnya langsung, menghentikan adukannya.
"Dia adikmu," katanya dengan nada sedikit jijik.
"Pastikan kamu tetap menjaga batasmu," kata Sekar, mengambil wajan dari rak. Dia meletakkannya di atas kompor, tetapi langsung terkejut saat berbalik dan menemukan dirinya berhadapan dengan dada Panji yang berdiri tepat di belakangnya. "Apa yang kamu—"
Ucapannya terputus ketika bibir Panji menubruk bibirnya dengan keras, seperti air yang memadamkan api. Tangannya naik ke pipinya, menahannya di tempat saat dia memperdalam ciumannya. Punggung Sekar melengkung saat dia mencoba menarik diri, tapi Panji mengikutinya. Sekar mendorong Panji kembali hingga mereka berdiri tegak lagi, dan Panji melepaskan dirinya, terengah-engah, sambil mengangkat jari ke bibir Sekar, menghentikan protesnya sebelum keluar. "Berhenti melakukan itu," katanya pelan.
Sekar terpaku, menatapnya berjalan ke panci berisi daging, mengangkatnya, lalu membawanya ke wastafel untuk disaring. Jarinya menyentuh bibirnya, memastikan apakah bibir itu masih ada, karena dalam keadaan seperti sekarang, dia hampir tidak bisa merasakannya. Yang dia rasakan hanyalah sensasi kesemutan di tempat bibir Panji menyentuhnya.
Malam saat pertama mereka bertemu, Sekar dikenalkan oleh ibunya. Dia tidak tahu apa-apa tentang hubungan mereka yang akan segera terjalin atau siapa Panji sebenarnya. Yang dia tahu hanyalah bahwa Panji sering datang ke restoran dan selalu memesan semur dagingnya. Ketika tangan mereka bersentuhan, Sekar bersumpah dia merasakan percikan, seperti aliran kesemutan yang menjalar ke lengannya. Dia bahkan sempat memandang tangannya, memastikan apakah tangannya tidak tiba-tiba menghilang secara ajaib.
"Tutup mulutmu kak," suara Laras terdengar dari jendela dapur.
Sekar tersentak dan berbalik ke arah adik perempuannya. "Isi tempat tisunya!" katanya gugup sambil mengusap keningnya.
"Kamu punya tamu," kata Laras dengan dahi berkerut. "Seseorang dari masa lalu. Dia datang mencarimu."
"Siapa?" tanya Sekar, melongok ke ruang makan. Jantungnya hampir berhenti, dan tubuhnya mendadak dingin. "Damar?" suaranya terdengar kecil, nyaris melengking, saat dia melompat mundur dan bersembunyi di sudut. "Apa yang dia lakukan di sini?"
"Dia ingin bertemu denganmu," jawab Laras sambil memutar matanya. "Aku dudukkan dia di meja delapan."
"Aku tidak bisa keluar ke sana," bisik Sekar, mengintip dari balik jendela ke arah mantan pacarnya. "Aku terlihat mengerikan."
"Tidak lebih buruk dari biasanya," sahut Laras santai sambil melirik Dika yang sedang memotong cabai dan bawang. "Apakah dia akan bekerja di sini terus untuk selamanya?"
"Singkirkan dia," desis Sekar.
"Menyingkirkan siapa?" tanya Panji, membungkuk hingga sejajar dengan Sekar untuk melihat ke ruang depan. Dia melihat pria yang duduk di meja, tampak penasaran sambil mengedarkan pandangan.
"Dia mantan pacarku," kata Sekar sambil kembali bersembunyi.
Panji melirik Laras. "Orang itu?"
"Orang itu," jawab Laras sambil menjauh dari jendela dan kembali ke mesin kasir untuk mengisi ulang tempat tisu.
Panji mengalihkan perhatiannya kembali ke Sekar, yang sibuk mencoba merapikan rambut kuncir kudanya dan menyembunyikan rambut-rambut kecil yang mencuat. "Kamu tidak serius, kan?"
"Diam kamu," bisik Sekar sambil berdiri. "Dia adalah pria terakhir yang benar-benar membuatku jatuh cinta," tambahnya dengan helaan napas sambil mengintip ke ruang makan.
"Benarkah," kata Panji, terdengar sedikit terkesan. "Aku harus minta tips darinya."
"Jangan berani-berani," Sekar berkata sambil kembali bersembunyi. "Ya Tuhan, ibuku benar. Aku seharusnya berhenti makan terlalu banyak karbohidrat. Aku terlihat seperti kuda nil yang panik."
Panji mengangkat alis. "Aku suka saat kamu makan."
"Ya Tuhan, lihat kantong mata di bawah mataku," Sekar meratap.
"Apa istimewanya pria ini?" tanya Panji, kembali melirik ke arah pria yang duduk di meja sambil mengetuk-ngetukkan jarinya pelan di permukaan meja. "Dia sama gugupnya denganmu."
"Dia?" Sekar mencondongkan kepala ke luar lagi. "Dari mana kamu tahu?"
"Dia tidak bisa duduk diam," Panji menjelaskan dengan dahi berkerut. "Dia berkeringat, dan dia belanja di Meimart." Panji menoleh ke Sekar. "Pria ini yang membuatmu jatuh cinta?"
"Panji," ujar Sekar, bersandar di dinding sambil memegangi perutnya dan menatapnya tajam. "Tolong, tinggalkan pendapatmu di luar sana."
Panji mengangkat tangan, mengangkat bahu. "Baiklah, aku hanya akan berdiri di sini dan menonton daging rebusku selama tiga puluh lima menit kedepan."
Sekar menghela nafas, melihat pantulan dirinya di permukaan panci sekali lagi sebelum berdiri, melepas apronnya, dan menggantungnya di kaitan. Dia kemudian berjalan menuju ruang depan. Panji mengawasinya dari jendela dapur saat dia mendekati pria di meja. Pria itu segera berdiri begitu melihatnya, dan senyuman di wajahnya membuat Panji sadar ada alasan kenapa ini tidak akan berjalan baik.
Panji berbalik dan mendapati Dika sedang memandanginya. "Apa?"
"Tidak ada, Pak," jawab Dika sambil kembali memotong cabai.
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'