Demand adalah seorang petarung maniak dan menakutkan di sekolah Giulietta. Pertarungan selalu ada di depan mata, tanpa pandang bulu, hanya ada perkelahian baginya. Sebuah geng ataupun seorang individu, yang kuat ataupun yang lemah, yang memiliki kuasa atau tidak, semuanya akan dimusnahkan.
Rekannya Miller sedang diculik oleh sekelompok geng misterius, tanpa ragu Demand datang seorang diri ke markas geng tersebut. Dalam beberapa saat geng itu dibuatnya tak berkutik dan hancur dikalahkan olehnya.
Namun ternyata seorang wanita cantik terlibat dalam masalah itu dan juga sedang disandera, ia bernama Lasiana. Seorang wanita cantik dengan karakter pemalu dan baik hati itu membuat Demand mengalami cinta pandangan pertamanya. Tapi... siapa sangka hal itu akan membawanya kepada kematian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M. Novri Al-zanni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakek
Aku membantu Shania memberikan obat salep kepada tubuhnya yang penuh dengan lebam itu. Dia terlihat kesakitan meskipun aku sudah melakukannya dengan perlahan-lahan untuk mengoleskan obat di tubuhnya yang lebam. Setelah itu aku membantunya berdiri, karena kakinya juga terluka, dia sangat kesulitan untuk berjalan dengan sendirinya.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa melalui semua ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia hari ini di masa lalu, siapa yang membantunya pulang? Apakah ada seseorang yang membantunya?. Dia pasti sendirian di UKS dan kesulitan untuk berjalan pulang ke rumahnya.
"Shania ... Apa kau tidak apa pulang dengan kondisi seperti ini?" Ucapku yang merasa khawatir padanya.
"Tidak apa ... Lagi pula tidak ada seorangpun yang menungguku di rumah" ucapnya dengan wajah sedih dan murung.
"Maaf, apa maksudmu kau tidak punya keluarga?" Tanyaku.
"Bukan begitu, orang tuaku bekerja di luar negeri. Jadi aku hidup sendirian di rumah, dan setiap bulan orang tuaku selalu mengirim uang untukku" ucapnya yang tersenyum kembali sambil menatapku.
Tatapannya ... Benar-benar mengingatkanku pada tatapan matanya yang sebelumnya. Artinya, dia terlihat sangat senang bukan? Jadi ... Dia benar-benar merasa senang dengan keberadaanku di sampingnya. Dia bisa tersenyum dan memiliki tatapan yang indah.
Itu artinya dia telah menaruh kepercayaannya padaku dan mungkin saja dia menganggapku adalah orang yang spesial baginya. Aku takut ia akan jatuh cinta lagi padaku, dan menyatakan perasaannya. Aku takut itu akan terjadi, karena aku harus menolaknya demi Lasiana.
"Bukannya, benar-benar indah ya" ucapnya dengan mata yang berbinar-binar sambil menatap indahnya langit di malam hari.
"Ya ... Sangat indah" ucapku.
Hanya dengan melihat langit malam saja sudah membuatku merasa lebih baik dan damai. Rasanya seluruh beban dan penat dari punggungku hilang begitu saja. Padahal sebelumnya aku tidak pernah merasa seperti ini, kecuali saat bersama kakek dan Lasiana.
"Apakah menurutmu bulan itu sangat indah?" Ucapnya dengan tiba-tiba dan aku hanya menganggukkan kepalaku.
"Apakah ada yang lebih indah daripada bulan yang kau lihat saat ini?" Ucapnya sambil membuang wajahnya dari hadapanku.
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan, tapi apakah ada yang lebih indah dari bulan katanya?. Apa mungkin maksudnya adalah langit malam yang dihiasi oleh bintang-bintang yang berkilauan. Kalau itu sih aku setuju, langit malam memang terlihat sangat indah, jauh lebih indah jika tidak ada polusi cahaya.
Banyak penggunaan cahaya lampu pada rumah-rumah, membuat cahaya bintang-bintang di langit meredup. Padahal dahulu bintang-bintang yang bersinar nampak di langit, kini bintang bintang itu telah jatuh ke bumi (Lampu-lampu yang menggantikan sinarnya cahaya bintang).
"Mungkin ... Bintang di langit" ucapku sambil menatap bintang-bintang di langit.
"Hmm ... Iya, bintangnya sangat indah" ucapnya yang entah kenapa dia terlihat kecewa dengan ucapanku. Apakah jawabanku salah? Jadi apa yang harusnya benar? Kalau begitu mungkin maksudnya matahari terbenam?.
Setelah berjalan beberapa menit, kami akhirnya sampai di depan sebuah rumah. Rumah yang sangat besar dan terlihat mewah sekali. Aku hanya bisa menatapnya dan mulutku menganga seakan tidak percaya kalau di komplek ini ada rumah sebesar ini.
Aku benar-benar tidak tahu kalau ada rumah sebesar ini di komplek rumahku. Mungkin karena banyak pohon-pohon besar yang menutupi pagar-pagar rumah, jadi aku tidak terlalu memperhatikannya. Tapi aku tidak menyangka kalau ternyata Shania adalah anak orang kaya.
"Baiklah kita sudah sampai, apa kau sudah bisa berjalan sendiri?" Ucapku yang sedang membopongnya.
"Kurasa bisa ... Tapi, apakah kau langsung segera pulang?" Ucapnya yang terlihat seperti menantikan sesuatu.
"Ya, memangnya ada apa?" Ucapku yang tidak mengerti dari gerak tubuhnya.
"Apa kau mau menemaniku malam ini?" Ucapnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Me-menamanimu malam ini?! Apa kata orang jika anak laki-laki dan anak perempuan bersama di rumah pada malam hari, terlebih lagi rumahmu tidak ada siapapun" ucapku yang terkejut mendengar hal itu darinya.
"Ba-baiklah, maafkan aku ... Kalau begitu apakah aku boleh meminta satu hal padamu?" Ucapnya yang terus membuatku merasa tidak enak untuk menolak keinginannya.
Sepertinya aku sudah benar-benar banyak berubah, bahkan aku menjadi orang yang tidak enakan seperti ini. Seingatku dulu aku tidak pernah peduli pada permintaan orang lain, kecuali Miller, walaupun kadang-kadang sih. Tapi, setidaknya tidak terlalu burukkan? Semoga saja aku tidak jadi gampangan di manfaatkan oleh orang lain.
"Selama aku sanggup melakukannya, katakan apa itu?" Ucapku sambil menghirup nafas dalam-dalam.
"Kapan-kapan datanglah ke rumahku untuk bermain" ucapnya yang terlihat sedih.
Aku berpikir mungkin dia merasa kesepian selama ini karena hanya tinggal sendirian disini dan tidak punya teman atau kerabat yang menemaninya. Pasti sangat sulit untuknya karena selalu sendirian, jadi aku tidak bisa menolak permintaannya.
"Baiklah, kalau kau butuh teman, jangan sungkan untuk meminta tolong padaku" ucapku yang kemudian aku pergi sambil melambaikan tanganku.
Gawat, aku sudah terlalu lama di luar dan tidak pulang ke rumah. Kakek pasti khawatir dan menunggu kedatanganku, aku tidak boleh membuat kakek khawatir. Aku segera berlari kencang untuk pulang ke rumah, hingga akhirnya aku sampai di rumah.
Aku masuk ke dalam dan melihat kakekku sedang menungguku di meja makan. Ternyata kakek sudah menyiapkan banyak makanan untukku pulang, dan semua makanan itu sudah dingin karena aku lama pulang. Bahkan kakek sampai rela menungguku pulang untuk makan bersama, kakek pasti sangat kelaparan.
"Akhirnya nak, kamu pulang juga" ucap kakek yang segera berjalan ke arahku dan membantuku untuk duduk di meja makan.
Kakek memang sangat baik, aku bersyukur memiliki kakek seorang.
"Maaf ya kakek, aku telah membuatmu khawatir dan menunggu terlalu lama. Tadi aku sedang membantu teman-temanku yang kesulitan saat di sekolah" ucapku sambil mengambil lauk yang ada di meja makan.
"Tidak apa, yang penting sekarang kau sudah pulang Demand" ucap kakek yang terlihat senang dengan kedatanganku.
Kemudian kami makan bersama meski makanan sudah dingin dan tak lagi hangat, rasanya masih tetap enak. Mungkin ini karena kakek memasak makanannya dengan tulus. Menurut orang-orang masakan yang dibuat dengan tulus akan menghasilkan makanan yang lezat dan enak.
Setelah kami makan, kakek mengajakku keluar rumah dan duduk di bangku teras depan rumah bersama. Entah apa yang ingin kakek bicarakan padaku, sepertinya ini akan menjadi pembicaraan yang serius. Aku harus mendengarkan ucapan kakek dengan baik.
"Nak ... Barusan kakek cek kondisi kakek ke dokter. Dokter bilang kondisi kakek sudah tidak lama lagi, hanya sekitar 1 tahun saja kakek akan hidup" ucap kakek sambil tersenyum tipis dan menatapku dengan lembut.
Mendengar kakek berbicara begitu, entah kenapa rasanya hatiku sangat sakit. Lebih sakit daripada saat kehilangan kakek, kakek bilang seperti ini saja sudah membuatku sakit melebihi saat kakek meninggal di kehidupanku yang lalu. Aku tidak tahu akan seberapa aku sakit saat kakek meninggal nanti.
Mataku berkaca-kaca dan hampir terjatuh, saat air mataku terjatuh, kakek dengan sigap langsung mengusap air mataku dengan senyuman yang menghangatkan. Kukira aku sudah benar-benar siap dengan kepergian kakek suatu hari nanti. Ternyata aku tak sanggup dan tidak kuat untuk menahannya.