Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Mengintai
Suara binatang malam memecah kesunyian, menembus kedalaman gelap yang menyelimuti desa kecil tempat keluarga Surya tinggal. Bulan, seolah enggan menyinari kegelapan, menciptakan suasana sunyi dan suram, seakan alam pun turut merasakan kesedihan yang melingkupi malam.
Angin malam yang lembut menyusup melalui celah-celah jendela, menggerakkan tirai dengan bebas, seperti sehelai kain yang menari-nari. Udara dingin melingkupi ruangan kecil itu, membawa aroma tanah basah setelah hujan, mengingatkan akan harapan baru yang selalu datang di setiap pagi.
“Cup-cup.. anak ibu, tidur, ya, Sayang,” suara lembut Selvi menggema, menggenggam bayi mungil yang baru tujuh bulan menghiasi hidupnya. Sebuah nyanyian lullaby lembut pun mengalun, menyejukkan hati, melindungi sang buah hati dari kegelapan malam yang menakutkan.
Semilir angin bertiup semakin kencang, mengacak dedaunan yang tergeletak di halaman, menciptakan simfoni alam yang menyeramkan. Dalam hening yang tegang itu, terdengar suara burung gagak mengisi keheningan, terbang mengelilingi rumah seperti mengawasi setiap detak jantung keluarga kecil tersebut.
Selvi menatap ke arah atap, terheran-heran. Sejak kelahiran buah hatinya, burung hitam itu seakan tak pernah jauh dari rumah mereka. Beberapa kali, Surya mencoba mengusirnya, namun selalu kembali, seakan terikat oleh suatu misteri.
“Kenapa, sih, selalu ada burung itu selepas Maghrib?” gumam Selvi, ketidaknyamanan membayangi wajahnya. “Pak, bisa tolong usir burung itu lagi?” pintanya kepada Surya yang sedang duduk di ruang TV.
Surya menghampiri, wajahnya menunjukkan ketegasan. “Tak coba dulu, ya, Bu,” ujarnya, berjalan keluar mencari burung yang mengganggu.
Matanya melintasi atap, sampai akhirnya menemukan sosok burung gagak, hitam mengkilap, bertengger dengan tenang. Dengan hati-hati, ia mengambil batu, bersiap untuk melempar.
“Pergilah, burung!” teriak Surya, melempar batu dengan tujuan tepat. Burung itu terbang tinggi, melontarkan suara khasnya, Kiak! Kiak! Kiak! seolah menantang, menciptakan suasana yang kian mencekam.
“Ah, dasar, bikin pusing,” gerutunya saat ia kembali ke dalam rumah, menutup pintu, seolah menutup semua kekacauan di luar.
Selvi mendekat, menggenggam bayinya erat. “Gimana, Pak? Udah diusir?” tanyanya penuh harap.
“Ulah, Bu. Bawa Kusuma tidur, ini sudah malam,” jawab Surya, matanya melirik jam dinding. Sudah setengah delapan, saatnya sang bayi terlelap dalam mimpi yang indah.
“Iya, Pak. Ibu bawa Kusuma ke kamar dulu,” jawab Selvi, mengangguk patuh.
“Jangan lupa, Bu. Taruh kaca sama gunting di atas bantal bayi, kata Mbah Rejo biar gak ada yang ganggu, Bu,” Surya mengingatkan, suaranya lembut namun tegas.
“Iya, Pak. Nanti aku taruh,” Selvi berjanji, langkahnya sudah menuju ambang pintu kamar.
Di dalam kamar, dengan hati-hati, ia meletakkan Kusuma ke dalam box bayi yang terbuat dari kayu, dilengkapi kelambu berwarna senada, seolah menjaga putri kecilnya dari dunia luar. Bayi mungil itu tertidur damai, seolah tak terpengaruh oleh kegaduhan malam.
“Tidur, ya, Sayang,” bisik Selvi, senyum manis menghiasi wajahnya. Ia membelai lembut rambut halus Kusuma, merasakan ketenangan yang baru, saat tiba-tiba ingat.
“Ah, iya, aku lupa meletakkan gunting dan kaca,” gumamnya, cepat-cepat mengambil kedua benda itu dari atas meja, menyiapkan perlindungan untuk tidurnya yang nyenyak.
Malam ini, di bawah naungan bulan yang malu-malu, keluarga kecil itu berusaha menemukan ketenangan di tengah hiruk-pikuk dunia luar.
Selvi meletakkan gunting dan kaca di atas bantal bayi Kusuma, berpegang pada kepercayaan bahwa benda-benda itu dapat melindungi sang bayi dari gangguan makhluk halus.
Setelah memastikan putrinya tertidur lelap, ia beranjak dari box bayi, melangkah lembut menuju ruang TV untuk menemani Surya, suaminya yang sudah menunggu.
Detik pun berganti menit, dan keheningan malam mengisi setiap sudut ruangan. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama. Kedua tangan mungil Kusuma mulai bergerak, menandakan bahwa ia terbangun, tetapi tak ada tangisan yang keluar. Manik mata hitamnya menatap langit-langit kamar dengan penuh rasa ingin tahu, seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sana.
Di atasnya, sosok wanita berambut panjang tergantung di langit-langit, memutar kepalanya hingga 180 derajat, menghadapkan wajahnya yang hancur dan mengerikan ke arah bayi itu. Wajahnya terlihat seolah tergerus aspal jalanan; sebelah matanya melorot, menggantung di wajahnya, sementara darah hitam mengalir deras dari luka-lukanya.
“Anak.. manis,” bisik wanita itu dengan suara serak, lidahnya menjulur seakan-akan tak sabar untuk mencicipi manisnya daging segar bayi yang ada di hadapannya.
Kaki wanita itu hancur, tubuhnya remuk, dan tulang belulang mencuat dari daging yang tersisa. Belatung yang menggerogoti tubuhnya jatuh berjatuhan, menyentuh kulit lembut Kusuma. Anehnya, sang bayi tidak terkejut. Ia justru tertawa riang melihat sosok mengerikan itu, seolah menemukan mainan baru.
Tawa renyah Kusuma menggema, tangan mungilnya bergerak-gerak penuh suka. Tanpa sadar, telapak tangan kecilnya menyentuh sisi tajam gunting. Perlahan tapi pasti, goresan kecil muncul di telapak tangannya, darah segar mengucur, menambah kesan menyeramkan pada malam yang sunyi.
Sosok wanita itu terjatuh dari langit-langit, berdiri tepat di samping box bayi. Tangan panjangnya terulur ke arah sang bayi, kuku-kuku tajamnya siap mengoyak tubuh mungil yang rapuh itu. “Datanglah padaku, Anak manis,” ucapnya, suaranya mengerikan namun lembut, saat ia mulai menyentuh pipi Kusuma.
Dengan lembut, sosok itu terserap ke dalam tubuh sang bayi, membawa kegelapan yang tak terduga.
Sementara itu, di ruang TV, Surya dan Selvi masih asyik menikmati acara malam, seakan dunia di luar mereka terabaikan. Sejak kelahiran putri mereka, waktu berdua kian berkurang, tetapi malam ini, mereka mengupayakan kebersamaan dengan menonton televisi, sejenak melupakan tugas-tugas yang menunggu.
Namun, kedamaian itu segera terusik. Suara benda jatuh menggema dari arah kamar bayi, membuat kedua orang tua itu saling menatap dengan rasa cemas.
“Suara apa itu, Bu?” tanya Surya, ketidakpastian terlihat di wajahnya.
“Aku juga nggak tahu, Pak,” jawab Selvi, terkejut.
Suara benda jatuh terhenti, menggantung dalam keheningan yang tegang. Namun, tak lama kemudian, suara tangisan Kusuma terdengar nyaring, mengoyak malam dan melahirkan kecemasan dalam hati mereka.
“Itu Kusuma nangis, Bu. Takut ada apa-apa sama Kusuma,” pinta Surya, wajahnya penuh khawatir.
“Iya, Pak. Aku pergi dulu, lihat keadaan bayi kita,” jawab Selvi, segera melangkah menuju kamar bayi, bertekad untuk menenangkan putrinya yang tercinta.
Kamar bayi itu remang-remang, bayang-bayang melintas di sudut-sudutnya, membuat Selvi sedikit terhalang. Ia mendekat ke box bayi, hatinya berdebar saat ingin melihat keadaan sang buah hati yang baru lahir beberapa bulan lalu.
Ketika ia membuka tirai kelambu, kegelapan dan kehadiran sesuatu yang asing membuatnya terhenti. Rasa dingin merayap di sepanjang punggungnya, menyadarkannya bahwa malam ini, bukan hanya ketenangan yang menyelimuti ruang kecil itu.
Berikut adalah pengembangan kalimat yang kamu berikan menjadi sebuah narasi yang lebih puitis dengan nuansa "anak senja":
---
Namun, suasana tenang itu segera pecah ketika Selvi terkejut. Di dalam box bayi, hanya tersisa kain bekas gendongan, sementara bayi mungilnya, Kusuma, menghilang tanpa jejak.
"Di mana Kusuma? Bukankah dia tadi menangis?" batinnya bergetar dalam kegelisahan, langkahnya mulai mencari ke segala penjuru.
Ia berusaha mengingat kembali, takut jika bayinya terjatuh dari box. Namun, mustahil sisi box bayi itu tingginya mencapai setengah meter. Ketakutan mulai menyergap, dan berbagai pikiran buruk menyelimuti benaknya.
"Pak! Pak! Ke sini!" teriak Selvi, suaranya bergetar oleh kepanikan yang melanda. Keheningan malam seolah terdistorsi oleh teriakannya, menggema di dalam kamar yang seharusnya tenang.
Surya, mendengar jeritan histeris istrinya, segera berlari menuju kamar bayi. "Ada apa, Bu?" tanyanya, panik melihat wajah Selvi yang pucat ketakutan.
"Kusuma, Pak! Kusuma gak ada!" jawab Selvi, suaranya pecah oleh tangis yang sudah tidak tertahankan.
"Apa?! Kok bisa? Tadi kan ada di sini, Bu!" Surya merasa jantungnya berdegup kencang, ketakutan menyelimuti pikiran logisnya.
"Bagaimana ini, Pak! Kusuma diculik!" Selvi berspekulasi, kengerian merasuki jiwanya.
"Tenang dulu, Bu," pinta Surya berusaha menenangkan, meski dalam hatinya, kecemasan pun merasuk.
Tiba-tiba, suara tangisan bayi terdengar dari sudut kamar, membuat keduanya terkejut. "Itu Kusuma, Pak!" seru Selvi, mulai melangkah mencari sumber suara.
"Ayo kita cari, Bu. Suaranya gak jauh dari sini, dia ada di kamar ini," ujar Surya, harapan mulai menyala di antara kepanikan.
Mereka berdua segera melangkah mencari, mengikuti tangisan yang kian mendekat, seolah membawa mereka ke petunjuk yang diharapkan. Saat mendekati lemari kayu tempat mereka menyimpan baju, Selvi menunjuk, “Mungkin ada di sana, Pak.”
"Aku cek dulu," ucap Surya dengan hati-hati, melangkah mendekati lemari.
Perlahan, ia membuka pintu lemari, berharap menemukan putrinya. Namun, saat ia memeriksa, tak ada tanda-tanda bahwa Kusuma ada di sana. Suara tangisan itu pun menghilang, dan Surya merasakan kebingungan semakin mendalam.
"Gak ada, Bu," katanya, suaranya penuh kekhawatiran.
"Ya Tuhan. Di mana anakku," ucap Selvi, ketakutan menggerogoti hatinya.
Oek! Oek!
Suara tangisan kembali muncul, lebih dekat dari sebelumnya. Selvi dan Surya segera memalingkan pandang ke pojok kamar, terkejut oleh sebuah penampakan. Bayi yang mereka cari ada di sana, tetapi sesuatu terasa sangat salah. Itu bukanlah Kusuma, melainkan sosok wanita yang merasuk ke dalam tubuh bayi mereka.
Bayi itu berdiri tegap di pojok ruangan, matanya menatap tajam ke arah Surya dan Selvi, seolah menantang keberanian mereka. Manik matanya yang gelap menyiratkan sesuatu yang tidak biasa, dan kedamaian malam seakan sirna seketika, tergantikan oleh nuansa mencekam yang menyelimuti.