Novel ini diilhami dari kisah hidup Nofiya Hayati dan dibalut dengan imajinasi penulis.
🍁🍁🍁
Semestinya seorang wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung.
Namun terkadang, ujian hidup memaksa seorang wanita menjadi tangguh dan harus terjun menjadi tulang punggung. Seperti yang dialami oleh Nofiya.
Kisah cinta yang berawal manis, ternyata menyeretnya ke palung duka karena coba dan uji yang datang silih berganti.
Nofiya terpaksa memilih jalan yang tak terbayangkan selama ini. Meninggalkan dua insan yang teramat berarti.
"Mama yang semangat ya. Adek wes mbeneh. Adek nggak bakal nakal. Tapi, Mama nggak oleh sui-sui lungone. Adek susah ngko." Kenzie--putra Nofiya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19 Kang Cilok
Happy reading 😘
Hari-hari yang dilalui oleh Zaenal dan Nofiya terasa semakin indah setelah mengantongi restu dari orang tua mereka.
Ibarat kata, tinggal selangkah lagi keduanya akan menyatu dan saling memiliki. Membangun bahtera rumah tangga dan berlayar mengarungi samudra kehidupan dengan saling menautkan hati, menggapai sakinah, mawadah, warahmah, bahagia hingga akhir usia. Itu harapan mereka.
Namun jika garis takdir berkata lain, Zaenal dan Nofiya harus ikhlas menerima.
Kini hubungan Zaenal dan Nofiya sudah diketahui oleh seantero kampus.
Mereka dikenal sebagai pasangan yang serasi dan ter-sweet. Setiap ada Nofiya, pasti ada Zaenal di sisi. Begitu pun sebaliknya.
Namun ujian cinta senantiasa mengintai. Ia akan hadir di waktu yang tak pasti.
Hari ini, mentari bersinar terang. Langit terlihat cerah, secerah wajah Zaenal yang tengah berbahagia setelah berkencan dengan Nofiya.
Sepulang dari rumah Nofiya, Zaenal berniat mampir ke taman untuk menemui salah seorang teman mereka.
"Bro!" Zaenal menepuk pundak seorang penjual cilok yang sedang mangkal di taman. Dia adalah Atta. Teman sekampus Zaenal dan Nofiya.
Refleks Atta menoleh ke arah asal suara yang berada tepat di belakangnya.
"Jiahhh ... elu, Zen." Atta berganti menepuk pundak Zaenal. Namun tepukannya lebih keras dibanding tepukan yang dilabuhkan oleh Zaenal.
Ingin mengumpat, tapi Zaenal sedang insyaf. Apalagi yang ingin di umpatnya bukan seorang penjual cilok biasa, melainkan seorang ustadz yang bekerja paruh waktu menjajakan cilok.
"Tumben lu jalan sendiri. Mana Nyai?"
"Nyai siapa?"
"Nyai Fiya lah. Aelah, mang ada Nyai lain?"
"Ada. Nyai Cantika," seloroh Zaenal diikuti tawanya yang terdengar renyah.
"Hus, jangan nyebut nama doi."
"Mang kenapa?"
"Noh, doi lagi nongkrong di sonoh! Barusan jajan cilok dimari." Atta menunjuk dengan gerakan mata.
Gadis yang dimaksud terlihat sedang menikmati cilok sambil duduk di ayunan yang berada tidak jauh dari tempat mangkalnya.
"Jiaahhh. Kapokkk! Pasti kamu malu 'kan? Dibilang jangan jualan cilok, malah ngeyel."
"Gua kaga' malu. Gua malah demen. Dia jadi tau gimana perjuangan gua buat nyari duwit. Bukan kaya' lu-lu pada. Ongkang-ongkang kaki udah dapet duwit dari bokap nyokap."
"Helehhh, sebenernya kamu juga bisa. Dilihat dari tampangmu aja kelihatan banget kalau kamu anak orang kaya."
Atta menghembus nafas kasar, lalu mendaratkan bobot tubuh di kursi taman. Celotehan Zaenal membuatnya teringat pada dua orang yang teramat dirindu. Mereka adalah papa dan mamanya yang berada di pulau seberang. Kalimantan. Tepatnya di Kalimantan Barat.
"Sebenernya gua anak pejabat, Zen. Bokap gua anggota DPR, nyokap gua pemilik butik."
"Nah 'kan, bener yang aku bilang tadi. Sebenarnya kamu anak orang kaya."
"Gua kabur dari rumah. Bokap ama nyokap gua kaga' tau kalau gua ada dimari."
"Seriusan?" Zaenal terkejut mendengar pengakuan Atta.
"Iya. Bokap gua pingin jadiin gua polisi, kaya' Bang Akbar--kakak sepupu gua. Tapi gua kaga' mau. Gua lebih demen jadi arsitek. Lantaran kaga' bisa menuhin keinginan bokap, gua milih kabur ke Malang, sekalian ngikutin Cantika yang kebetulan kuliah dimari."
"Nekat banget."
"Gua kaga' mau hidup gua terlalu diatur. Gua mau jadi diri gua sendiri, Zen."
Be yourself. Jadilah diri sendiri, itu semboyan Atta.
"Aku salut, Ta. Walaupun kamu anak orang kaya, kamu nggak malu jualan cilok demi memperjuangkan apa yang kamu mau dan kamu anggap benar. Tapi, apa kamu nggak merasa kasihan sama kedua orang tuamu? Aku yakin, mereka pasti khawatir."
"Gua kasihan ama bokap nyokap. Tapi gua dilema, Zen. Kalau gua pulang, bokap gua bakal nyuruh gua jadi polisi lagi. Gua beneran kaga' mau. Selain ntu, gua juga bakal jauh dari Cantika. Gua kaga' ikhlas kalau Cantika dideketin cowo' lain."
"Ya udah, kamu nikahin aja Si Cantika. Terus, kamu bawa pulang ke Kalimantan. Atau kalau nggak, pacarin dulu gih. Biar ada ikatan gitu."
"Kaga' semudah itu Verguso."
"Lah, kenapa?"
"Nunggu lulus kuliah dulu, Zen. Lagian, gua ama Cantika pan kaga' demen pacaran. Gua ama doi mau nya ta'aruf. Begitu lulus kuliah, insya Allah gua langsung gas ngelamar Cantika."
"Jiahhh, iya juga. Aku amnesia, Ta. Kamu 'kan ustadz ya? Jadi anti pacaran."
"Gua bukan ustadz. Gua cuman demen aja ngajarin anak-anak baca Al Qur'an di TPA."
"Ya tetep aja mereka manggil kamu ustadz 'kan?"
"Iya juga."
"Ya udah, berarti kamu memang ustadz."
"Oh gitu ya?" Atta berlagak pilon.
"Gini, Ta. Sebenernya ada yang mau aku omongin."
"Gas lah!"
Zaenal lantas mengutarakan keinginan. Ia meminta Atta untuk mengajarinya dan Nofiya membaca Al Qur'an.
"Gimana, Ta? Kamu mau 'kan?"
Tanpa berpikir panjang, Atta mengindahkan permintaan Zaenal. Dengan senang hati ia akan mengajari Zaenal dan Nofiya membaca Al Qur'an sampai kedua temannya itu fasih.
"Makasih banget, Ta," ucap Zaenal disertai senyum mengembang. Ia merasa lega sekaligus senang.
"Kaga usah bilang makasih dulu. Cukup borong dagangan gua, biar gua bisa cepet ke Masjid. Ngajar anak-anak ngaji."
"Okay, aku borong semua cilok mu. Dibungkus lima ribuan. Terus, tolong bagiin ke semua orang yang ada di taman. Terutama ke mereka." Zaenal menunjuk dengan gerakan dagu, ke arah segerombolan anak jalanan yang tengah duduk-duduk di atas rumput.
Raut wajah mereka tersirat sendu. Ada duka yang tak bisa terangkai oleh kata. Ada tangis yang tertahan dan hanya membingkai pelupuk mata.
Anak-anak jalanan itu berusaha menahan rasa lapar dan dahaga. Mereka enggan meminta dan berusaha mencari sekeping uang dengan mengais sampah berupa botol bekas, yang ditukar ke pengepul rosok.
Zaenal dan Atta merasa iba. Kedua pemuda itu bukan hanya membagi cilok, tetapi membagi sebagian uang mereka.
Wajah yang semula terlihat muram, kini terhias senyum merekah.
Secuil harapan ada di genggaman saat Atta dan Zaenal berjanji akan membawa mereka ke Rumah Pintar.
Rumah yang dibangun oleh Kirana khusus untuk anak-anak yang tidak mempunyai tempat bernaung dan ingin mencecap dunia pendidikan.
Kirana adalah seorang dokter obgyn yang berparas cantik dan gemar mengulurkan tangan.
Dia ... Istri Comel Pilihan Abi.
...🌹🌹🌹...
Puncak kesuksesan yang diraih bukan melulu karena harta yang melimpah ruah, atau tahta tertinggi di dunia ini, tapi karena ketulusan hati menebar cinta, bahagia, dan berbagi ilmu untuk membantu sesama.
🍁🍁🍁
Bersambung ....
Jangan lupa like dan subscribe. Terima kasih 😊🙏🏻
kalimatmu Thor..
mak nyesss dehh
Restu yang pergi entah kemana, sekarang datang juga...
Tu...Tu...lama amat sih lu datengnya..
Tapi beda cerita kalau kata Zaskia gotik.
Dia bilang..paijo...paijo..ditinggalke bhojhone....😄😄
Belajar sama² ya Zen udah ada lampu hijau dari Papa Ridwan.
semoga
eh Authornya duluan.
Terus siapa yg bisa jawab nih