Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minta sekolah
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri, Kak?" Ayu menegur putra pertamanya yang tampak bahagia.
Hanan menoleh lalu merangkul Ayu dengan erat. Menyandarkan kepalanya di perut wanita yang sudah berjuang membahagiakan nya tersebut.
Tidak ada ucapan, namun tawa kecil itu masih terdengar jelas di telinga.
"Gak ada apa-apa, Ma. Aku cuma ingat pak pilot yang tadi." Mendongakkan kepalanya menatap wajah sang mama dari bawah.
Tak hanya Hanan, bahkan Ayu juga mengingat pesan-pesan seorang pria yang mereka temui di mall tadi.
Pria itu memberi pesan pada Hanan untuk tetap semangat supaya bisa meraih cita-citanya, dan itu sangat menyentuh hingga terpahat dalam hati dan pikiran.
Ayu menghela napas berat. Melihat antusias dan semangat Hanan yang ingin menjadi seorang pilot membuatnya tak pantang menyerah.
"Hanan berdoa saja, semoga Allah mengijabah doa mama setiap waktu."
Hanan mengangguk tanpa suara. Lalu melepas pelukannya saat mendengar suara Alifa dari arah luar.
"Besok aku mau sekolah, Ma," pinta Alifa penuh harap sambil membawa tas barunya yang dibeli tadi siang.
Kali ini Ayu tak bisa mencegah ataupun mengelabui mengingat usia Alifa yang satu bulan lagi berumur enam tahun. Terlebih, bocah itu sudah antusias untuk segera menimba ilmu seperti anak seumurannya.
"Baiklah, besok kita sekolah." Mencium kening Alifa. Anak yang paling sabar dan penurut.
Disaat anak-anak sibuk bermain, Ayu kembali bergulat dengan ponselnya. Ia mengisi data sebagai salah satu syarat bisa masuk kontrak.
"Mudah-mudahan ini jalan yang terbaik untukku dan anak-anak."
Kini selain sibuk menulis, Ayu juga banting setir jualan online. Barang yang dijual bukan miliknya, melainkan milik Irma. Lumayan, dengan begitu ia tak perlu bersusah payah mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin besar.
Ayu mempromosikan barang jualannya di sosmed. Setelah itu menulis di waktu tertentu hingga anak-anak tetap mendapat perhatian yang lebih darinya. Sebab, tumbuh kembang mereka lebih penting diatas segala-galanya.
Di tengah sibuknya merangkai kata-kata puitis yang manis dan indah, pintu diketuk dari arah luar. Ayu bergegas membukanya.
Ternyata Ninik yang datang. Wanita itu membawa kantong kresek di tangannya.
"Silahkan masuk, Bu. Maaf berantakan," ucap Ayu seraya merapikan meja.
Ninik meletakkan kantong kresek itu di atas meja.
"Ada oleh-oleh dari suami, kemarin dia baru pulang dari luar kota."
Ayu tersenyum malu. Selama ini Ninik sangat baik padanya, sedangkan ia belum bisa membalas kebaikan wanita tersebut.
"Tidak usah repot-repot, Bu. Ibu sudah mau berkunjung saja aku seneng," ungkap Ayu dari hati.
"Tadi pagi ada laki-laki yang mencarimu," timpal Ninik mengingat kedatangan Ikram.
Ayu menghentikan langkahnya dan kembali menghampiri Ninik.
"Siapa?" tanya Ayu menyelidik. Selama ini ia tidak pernah dekat dengan pria kecuali Calvin. Apakah pria itu yang datang? Ataukah orang lain? Begitulah hatinya menerka.
Ninik mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.
"Orangnya tinggi, pakai kacamata. Dia punya tahilalat di bawah bibir. katanya sahabat kamu."
Tak perlu dijelaskan secara detail. Ayu sudah bisa menebak siapa yang dimaksud Ninik.
Pasti mas Ikram. Untuk apa dia datang ke sini. Bukankah dia sendiri yang bilang tidak akan peduli dengan anak-anak lagi?
"Apa dia menitipkan sesuatu pada, Ibu?" Ayu tak menjelaskan siapa gerangan yang mencarinya, namun ia masih kepo dengan tujuan kedatangan pria itu.
"Tidak, dia langsung pulang. Mungkin akan kembali lagi di lain waktu."
Ayu tertunduk lesu. Meskipun kemungkinan Ikram merebut anak-anak sangat kecil, tetap saja ia diselimuti rasa takut. Takut kehilangan mereka yang sangat berharga lebih dari apapun. Terlebih, Ikram memiliki banyak harta dan bisa menjamin kehidupan ketiga anaknya, sedangkan ia hanya bisa memberi makan dan tempat yang sederhana.
"Ada apa, Yu?" Ninik membuyarkan lamunan Ayu yang hampir dalam.
Ayu menggeleng. Tak perlu menjelaskan isi hatinya saat ini. Dan berharap apa yang dia takutkan tidak akan terjadi.
Pagi sekali, Ayu sudah berbenah rumah. Merapikan perabot dan juga mencuci baju. Memasak untuk anak-anak. Hari ini ia akan mendaftarkan Alifa ke sekolah seperti keinginan bocah tersebut.
Hanan keluar dengan membawa sepatu di tangannya. Seperti biasa, bocah itu memakainya setelah sarapan.
"Mama ke sekolah Alifa naik apa?" Hanan mengambil roti bakar rasa coklat.
"Jalan. Sekolahnya dekat, jadi gak perlu kendaraan." Ayu menyusun bekal untuk sang putra lalu memasukkannya ke dalam tas milik Hanan.
Itulah kenapa Hanan ingin cepat besar dan sukses. Salah satunya adalah supaya bisa meringankan penderitaan sang mama.
"Aku berangkat dulu ya, Ma." Hanan mencium punggung tangan Ayu. Berlari keluar setelah mendengar ada yang memanggilnya.
Ayu hanya bisa menatap punggung Hanan yang mulai menjauh. Lantas, membantu Alifa mandi dan mengganti baju serta menyiapkan popok untuk Adiba.
"Gak pakai seragam, Ma," protes Alifa saat Ayu mengganti bajunya dengan baju biasa namun terlihat rapi.
Ayu tersenyum. Mengusap lembut rambut lurus putri keduanya.
"Seragamnya nanti kalau Alifa sudah masuk. Sekarang pakai ini dulu," jelas Ayu panjang lebar.
Alifa turun dari kursi melompat kegirangan. Akhirnya apa yang diinginkan akan terkabul.
Ayu tersenyum melihat kedua putrinya yang dipenuhi dengan tawa. Perlahan mereka mulai tenang dan tidak pernah menanyakan Ikram lagi.
"Kita berangkat yuk!" Ayu menggiring kedua anaknya ke luar kemudian mengunci pintu.
Alifa mencangklong tas punggungnya begitu juga dengan Adiba yang melakukan hal sama. Mereka berjalan saling beriringan melewati beberapa orang yang ada di depan rumah masing-masing. Namun, langkahnya harus terhenti saat melihat seseorang yang berjalan menghampirinya.
Ayu segera meraih kedua tangan anaknya dan menarik ke belakang, menyembunyikan. Dadanya tiba-tiba bergemuruh saat orang itu semakin mendekat.
Ngapain mas Ikram ke sini? Apa dia mau mengambil anak-anak?
Ayu menatap kedua tangan Ikram yang dipenuhi dengan paper bag. Lalu kembali fokus pada wajah pria tersebut.
Alifa mengintip di sela-sela tangan sang mama. Menatap wajah seseorang yang tak asing di matanya.
Tidak ada pertanyaan yang meluncur dari bibir Ayu maupun Ikram. Mereka saling membisu dengan sejuta pertanyaan.
"Apa kabar, Yu?" tanya Ikram setelah sekian lama hanya ada keheningan.
"Baik," jawab Ayu lugas.
Menggendong Adiba dan menggandeng tangan Alifa dengan erat. Sedikitpun tak memberi celah pada Ikram untuk bisa menyentuh mereka.
Jika dulu mereka langsung meranggeh dan ingin ikut, kali ini Ikram nampak tak berarti lagi. Bahkan, Alifa pun tak menyapa sang papa yang mengharap sapaan darinya.
"Alifa apa kabar, Nak?" Ikram membungkuk. Mensejajarkan wajahnya dengan tinggi putri keduanya.
Tidak ada jawaban, justru Alifa kembali mundur dan bersembunyi di belakang Ayu, dan itu sukses membuat dada Ikram terasa sesak.
nambah kesni nambah ngawur🥱