Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Kunyit Asam
Di rumah, Alfi mengecek file yang dikirim Aghnia. Pria itu sangat puas dengan materi presentasi yang dibuat oleh Aghnia.
Tiba tiba ia mengingat pertemuannya tadi pagi, tentang pertanyaan yang ia lontarkan pada Aghnia, juga perhatian yang ia berikan. Ia hanya berharap semoga Aghnia segera sembuh agar bisa lebih intens bertemu lebih banyak dan bisa mengartikan perasaan rumit yang ia rasakan saat ini.
Tak masalah dengan syarat dari Abah Aghnia, toh dia juga tak serendah itu menyentuh wanita yang bukan mahram bahkan hingga berhubungan. Ia selalu memegang prinsip yang ia buat, tak akan menyentuh lawan jenis sebelum ia mengikrarkan akad pada wanita yang ia pilih.
Alfi tersentak dalam lamunannya, ponselnya berdering. Ia mengernyit melihat Aghnia menelfonnya.
"Untuk apa gadis tengil ini menelfon", gumam Alfi seraya mengangkat telfon Aghnia.
"Ya", jawab Alfi.
"Emm, besok saya akan menjadi operator pak Alfi", tutur Aghnia.
"Lalu bagaimana jika kamu merasa capek dan perutmu nyeri? Berjalan saja kamu belum mampu jarak jauh", jelas Alfi tak mau mengambil resiko.
"Menjadi operator kan hanya duduk pak, saya tidak akan merasa lelah. Saya bisa bisa mati kebosanan jika berada di dalam kontrakan terus", keluh Aghnia.
"Dasar gadis keras kepala", batin Alfi.
"Huft, ya sudah lah terserah kamu. Besok kamu bisa langsung ke ruang dosen. Kamu koreksi tugas mahasiswa saya, tak perlu menjadi operator di kelas. Lagi pula saya tidak mau mengambil resiko jika sakitmu semakin parah", putus Alfi.
"Iya pak, terimakasih pak Alfi", ucap Aghnia.
"Yes!" Girang Aghnia.
Alfi bisa mendengar lirih suara kegirangan Aghnia sebelum telfon ditutup, pria itu tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.
Karena Aghnia memaksa masuk dengan kondisi yang belum stabil, Alfi berinisiatif membelikan minuman herbal yang mampu meredakan nyeri pada luka jahitan. Namun pria itu tak tahu minuman herbal apa yang bagus.
Ia menghubungi rekan dokternya via chat, menanyakan minuman herbal yang mampu meredakan nyeri pada jahitan. Setelah mendapat balasan dari temannya, Alfi tersenyum bahagia.
Keesokan harinya, Aghnia berangkat pagi mengikuti jadwal Monica konsultasi dengan dospemnya.
"Ingat Nia nanti kalo udah selesai kerjaan kamu, hubungi aku loh", ucap Monica memperingatkan.
"Kalo capek, sakit, nggak kuat cepat hubungi aku", ujar Monica lagi
"Iya iya Monic bawel", keluh Aghnia. Ia benar benar merasa segan merepotkan teman temannya.
Monica menurunkan Aghnia di dekat lapangan basket tak jauh dari ruang dosen, ia tak masalah harus putar balik menuju parkiran fakultas, terpenting kesehatan temannya.
Aghnia berjalan pelan melewati lapangan basket, gadis itu berhasil berjalan 200 meter tanpa berhenti. Ia memutuskan duduk di tangga samping lapangan, istirahat dan meminum air yang ia bawa dalam tumbler pink.
Alfi baru saja datang, berjalan santai melewati lapangan basket. Ia mengernyit melihat Aghnia duduk di tangga dengan keringat yang membanjiri wajahnya. Pria itu melihat arloji di tangannya.
"Bukankah ini masih terlalu pagi dari jadwalku mengajar", gumam Alfi.
Ia melihat Aghnia beranjak dari duduknya, menaiki tangga dengan pelan, berpegangan pada pinggiran tangga.
Alfi mempercepat langkahnya, memperpendek jarak dengan Aghnia. Pria itu telah berdiri di belakang gadis itu, berjarak satu tangga dengan Aghnia.
"Auh", rintih Aghnia merasa perutnya sedikit nyeri. Gadis itu menghentikan langkahnya, sedikit menunduk.
"Ck, tuhkan lebih baik di kontrakan saja jika belum pulih", ucap Alfi membuat Aghnia terhenyak.
"Pak Alfi ih bikin kaget", keluh Aghnia.
"Ayo saya antar pulang, pulihkan kesehatanmu dulu. Baru bekerja dengan benar", ajak Alfi.
"Nggak! Tanggung udah setengah jalan", tolak Aghnia.
Gadis itu menegakkan tubuhnya, berjalan cepat menaiki tangga hingga ke ruang dosen. Lalu duduk di kursi panjang yang tersedia di samping pintu, bagian dalam ruang dosen, lantas menenggak minumannya lagi.
Alfi yang sedari tadi mengikuti Aghnia di belakang menggelengkan kepalanya melihat sikap keras kepala gadis itu. Pria itu pun ikut duduk di samping Aghnia, dengan memberi jarak di antara mereka.
"Pak Alfi mau ke kantin fakultas nggak?", tanya Aghnia.
Alfi mengernyit lalu mengangguk, ia memang akan ke kantin fakultas setelah meletakkan ranselnya di ruang dosen, mencari jamu kunyit asam rendah gula untuk Aghnia.
"Boleh saya titip siomay dan teh hangat pak?", ucap Aghnia, lantas merogoh uang di saku gamis yang ia kenakan, lalu menyerahkannya pada Alfi.
"Merepotkan saja", gumam Alfi berdiri akan melangkah, tanpa mengambil uang di tangan Aghnia.
"Membantu sesama muslim termasuk ibadah loh pak", ujar Aghnia.
"Huft, masuklah. Duduk di kursi milikku", sahut Alfi seraya melangkah menjauh.
"Galak tapi baik, eh gimana sih. Ah bodo amatlah", batin Aghnia, memandang punggung Alfi yang melangkah keluar dari ruang dosen.
"Eh uangnya dari tadi belum diambil, bodohnya aku", gumam Aghnia, memasukkan uangnya kembali ke saku.
Gadis itu tak berani masuk sendiri tanpa Alfi, ia memilih menunggu Alfi tiba, baru akan masuk bersama dosen killer itu.
Setelah lima belas menit, Alfi datang membawa satu kantong plastik berisi satu botol jamu kunyit, satu cup teh hangat dan satu bungkus siomay pesanan Aghnia.
"Kenapa tidak masuk lebih dulu?", tanya Alfi seraya menyerahkan kantong plastik pada Aghnia.
"Takut", jawab Aghnia sekenanya. "Ini yang botol kuning milik pak Alfi?", tanya Aghnia, melihat isi kantong plastik yang diserahkan Alfi.
"Buat kamu, ayo masuk", ajak Alfi.
Gadis itu mengekor di belakang Alfi. Sesampainya di bilik, Alfi menyuruh Aghnia duduk di kursi Alfi dan pria itu duduk di kursi depan Aghnia, dengan meja sebagai pembatas mereka.
"Saya boleh sarapan dulu pak?", tanya Aghnia, dijawab anggukan oleh Alfi.
Pria itu mengeluarkan laptopnya dan mulai berkutat dengan benda persegi panjang tipis itu. Mereka berdua berbagi meja.
"Pak Alfi nggak sarapan?", tanya Aghnia, mencoba mencari topik pembicaraan.
"Sudah, jangan banyak bicara. Segera selesaikan makanmu dan koreksi tugas yang ada di samping kamu itu!", ujar Alfi tanpa melepas pandangannya dari layar laptop.
"Huft, namanya killer tetep aja killer ngga ada hangat hangatnya, sekalinya hangat jadi hangat hangat ee ayam" batin Aghnia mendumel.
Selesai sarapan, Aghnia mengambil satu per satu kertas dari tumpukan di sampingnya, mulai mengkoreksinya. Ia beberapa kali menyender pada kursi merasakan lelah dan ingin berbaring.
Alfi mencuri curi pandang memperhatikan Aghnia yang bolak balik menghela nafas panjang.
"Jangan dipaksakan jika sudah lelah", ujar Alfi menatap Aghnia kasihan.
"Nggak kok, saya kan wonder women", jawab Aghnia kembali menegakkan punggungnya dan fokus mengkoreksi tugas-tugas mahasiswa.
Alfi menggelengkan kepalanya. Pria itu mengambil tumbler biru dalam tasnya, lalu meneguknya.
Aghnia tak sengaja menatap Alfi yang sedang minum, melihat jakun Alfi naik turun membuat Aghnia meneguk salivanya susah payah. Ia segera mengalihkan perhatiannya.
"Sial, kenapa si killer sangat tampan saat minum?", batin Aghnia. Jantungnya berdetak dengan kencang.