Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Satu Meja Bersama
“Ya, ampun. Godaan macam apa ini, Tuhan?” keluh Ratri pelan, seraya memandangi makanan yang Sastra kirimkan. Bagaimanapun juga, dia sudah lapar karena belum sempat makan malam.
“Kenapa harus kamu, Sastra?” Keluhan pendek meluncur dari bibir Ratri, menyesali situasi yang tengah dihadapi saat ini.
Ratri bisa menolak tegas pernyataan suka yang diutarakan Sastra. Namun, sebagian dari dirinya tak kuasa melawan pesona kekasih Eliana tersebut. Seandainya yang datang menawarkan kedekatan bukanlah Sastra Arshaka, maka Ratri tak akan terlalu pusing memikirkan itu.
"Kenapa harus kupikirkan? Masa bodoh." Ratri beranjak ke dekat laci, tempat biasa menyimpan peralatan makan. Dia mengambil sendok dan piring, lalu duduk bersila menghadapi seporsi tengkleng sapi dan nasi hangat gratis. Ratri menyantap dengan lahap, meskipun tak tahu berapa harga yang harus dibayar untuk setiap suapan dari makanan itu.
Setelah selesai makan malam hingga kekenyangan, Ratri masuk ke kamar mandi untuk membasuh muka dan menggosok gigi. Tak ada hal lain yang ingin dilakukan, selain tidur nyenyak dan melupakan semua yang terjadi.
......................
"Sastra menghubungiku semalam," ucap Eliana dengan wajah berseri. "Katanya, dia sangat sibuk seharian sehingga tidak sempat memegang handphone ... maksudnya menghubungiku. Aku tidak yakin dia sama sekali tak menyentuh telepon genggam selama seharian."
"Tidak masalah. Selama dia masih peduli padamu, itu artinya dia ...." Ratri menatap lembut Eliana, lalu tersenyum hangat. "Jangan bebani dirimu dengan pikiran-pikiran tak keruan. Itu hanya akan membuat otak kita bekerja lebih berat dan pasti sangat melelahkan," sarannya.
"Ya, kamu benar. Aku tidak akan memikirkan hal yang aneh-aneh lagi. Aku percaya seratus persen kepada Sastra. Dia adalah pria terbaik dan sangat setia." Eliana tersenyum lebar penuh percaya diri. Kegalauan hilang seketika, berganti senandung riang yang mengiringi aktivitasnya siang itu.
Keceriaan Eliana justru berbanding terbalik dengan apa yang Ratri rasakan. Dia ingin sekali mengatakan bahwa Sastra tidak sesempurna seperti yang Eliana pikir. Namun, Ratri dapat membayangkan dampak dari ucapannya nanti. Dia harus siap menjawab sejuta pertanyaan, yang pasti dilayangkan sahabat sekaligus rekan kerjanya tersebut.
Ratri memilih diam dan berpura-pura tak ada masalah. Akan tetapi, sandiwaranya tak lagi berhasil, ketika Eliana mengajak minum kopi bersama sepulang kerja.
'Secangkir Kopi'. Cafetaria yang mulai beroperasi sejak kemarin. Sastra sengaja mengundang sang kekasih ke sana. Dia seperti mengetahui bahwa Eliana pasti akan mengajak Ratri.
"Nyaman sekali," ucap Eliana, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sesaat kemudian, tatapan wanita cantik yang selalu tampil manis dengan midi dress itu, terkunci pada lukisan di salah satu dinding.
"Sejak kapan lukisan itu ada di sana, Honey?" tanya Eliana, seraya menunjuk ke dinding, di mana terpajang lukisan yang dibeli kemarin.
"Tadi pagi," jawab Sastra kalem. Ekor matanya diam-diam mengarah kepada Ratri, yang lebih memilih fokus pada buku ratusan halaman. Tebal dan terlihat membosankan.
"Aku heran, kenapa kamu tidak memajang lukisan alam, bunga, atau apa saja yang berbentuk. Maksudku, sesuatu yang terlihat lebih nyata," ujar Eliana bernada tak mengerti.
"Kamu lupa apa yang kusukai?" Sastra tersenyum simpul.
"Salah satunya adalah aku," sahut Eliana penuh percaya diri, kemudian tertawa renyah.
"Jika kamu menganggap seleraku buruk karena memilih lukisan abstrak, berarti kamu sama buruknya."
"Hey!" Eliana melayangkan tatapan protes. "Itu pengecualian, Honey!"
"Selera seseorang terhadap apa pun yang menjadi pilihannya, tidak bisa berubah dengan begitu mudah. Kecuali, bila ada keterpaksaan." Sastra tersenyum simpul.
"Kamu tidak terpaksa memilihku?" Eliana meletakkan tangannya di atas punggung tangan Sastra, seraya menatap pria itu penuh cinta.
"Kita sudah menjalin hubungan selama dua tahun. Seharusnya, kamu pasti tahu jawabanku."
"Oh, ya. Tentu saja. I love so much. Kamu yang terbaik dalam segalanya." Tanpa sungkan, Eliana menyandarkan kepala di pundak Sastra, yang justru mencuri pandang terhadap Ratri.
Ratri berusaha kuat mendengar perbincangan konyol sejoli itu. Walaupun telinganya terasa panas, tetapi dia berpura-pura tak peduli. Ratri tetap fokus membaca, hingga seseorang datang menghampiri mereka.
"Maaf telat," ucap pria, yang tak lain adalah Prama. Seseorang yang sebenarnya tidak Sastra undang ke sana.
"Dari mana saja?" Eliana melayangkan nada serta tatapan protes.
"Macet," sahut Prama, kemudian melirik Ratri yang menoleh sekilas, lalu kembali membaca. Prama langsung duduk di sebelah wanita itu. "Serius sekali, Mbak Ratri," sapanya bernada gurauan.
Ratri menoleh. "Hai," sapanya, diiringi senyum manis. "Aku tidak tahu kamu juga ____"
"Aku yang mengajaknya bergabung dengan kita," sela Eliana segera. "Kupikir karena aku mengajakmu kemari. Aku tidak tega kalau kamu merasa jadi kambing conge di sini."
"Wah! Itu artinya, kedatanganku kemari untuk menemani Mbak Ratri agar tidak kesepian," gurau Prama lagi, lalu tertawa.
"Elia yang akan membayar jasamu. Bukan aku," celetuk Ratri, membuat tawa Eliana dan Prama pecah seketika.
"Kubayar dengan pay later," sahut Eliana, kembali tergelak.
Suasana mulai menghangat. Eliana saling melempar candaan dengan Prama, sedangkan Ratri hanya sesekali menimpali. Lain halnya dengan Sastra, yang justru sibuk memperhatikan Ratri, meskipun secara diam-diam.
Ratri sendiri bukannya tak menyadari apa yang Sastra lakukan. Namun, dia berpura-pura tak peduli, walaupun sesekali membalas tatapan penuh isyarat dari pria itu.
"Aku suka cara penyajian kopi di sini," ucap Prama, setelah beberapa kali meneguk kopi yang disuguhkan untuknya.
"Kalau begitu, ajaklah teman-teman yang lain untuk ngopi juga di sini," ujar Eliana menanggapi.
"Aku tidak yakin Prama punya banyak teman." Sastra yang sejak tadi hanya diam menyimak, kali ini bersuara. "Dari semasa SMA, Prama lebih suka bicara dengan pohon."
"Astaga, Sas! Jangan bahas itu di sini," protes Prama, seraya langsung menoleh kepada Ratri. "Itu hanya keisengan anak remaja," ucapnya pada wanita muda berambut pendek tersebut. Penjelasan yang sebenarnya tak dibutuhkan karena Ratri tidak peduli.
Ratri hanya tersenyum menanggapi ucapan Prama. Dia menutup buku, lalu memasukkan ke tas. Perhatian wanita 25 tahun tersebut langsung beralih pada layar handphone, saat ada panggilan masuk dari nomor kontak bernama Asha.
"Permisi sebentar. Aku harus menjawab telepon dulu," pamit Ratri, seraya beranjak dari sana. Dia berpindah ke sudut yang cukup jauh, dari meja tempat berkumpul tadi.
"Sha? Ada apa?" tanyanya, setelah menggeser ikon hijau.
"Kak, papa ...." Asha, adik kandung Ratri tak melanjutkan kalimatnya.
"Ada apa dengan papa? Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Ratri, yang berusaha menyembunyikan rasa khawatir.
"Kakak bisa pulang sekarang?"
"Kenapa? Apa sangat mendesak?"
"Pulang saja, Kak." Asha tidak memberikan jawaban pasti. Dia bahkan langsung mematikan sambungan telepon.
Ratri jadi makin khawatir "Papa ...," lirihnya.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...