Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Bel berdering.
Aline cepat-cepat berlari ke aula yang ada di gedung tiga bersama Stev dan Vany.
Sewaktu mereka datang, Ode dan Sir Julian masih berbincang membelakangi sekumpulan mahasiswa baru. Belum ada tanda-tanda bahwa acara sudah dimulai.
Vany menyuruh Aline untuk menyusup diam-diam. Stev yang merasa bersalah, karena sempat menghalangi Aline pergi dari auditorium—juga membantu Aline menemukan kelompoknya.
Di sana!
Tepat seperti dugaan Aline, Uli, memilih bangku di barisan paling belakang. Temannya, Elin, duduk di sampingnya.
Uli melambaikan tangan penuh semangat, ia hampir berteriak jika saja Stev tidak langsung memberikan isyarat tangan kepada gadis itu.
"Aku pikir kamu tidak akan datang." kata Uli sembari memberikan ruang agar Aline bisa duduk di samping kirinya.
"Aku sedikit terlambat karena..."
Aline tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Bibirnya terkatup rapat. Hampir saja Aline keceplosan dengan berkata kalau ia dan dua anggota Senat tadi baru saja menemui Raga di auditorium.
"Kenapa kamu tidak meneruskan ucapanmu? Kamu pergi ke mana dulu? Kamu sakit perut lagi, ya?" Elin yang sejak tadi diam, memiringkan kepalanya menatap Aline.
"Ah, aku tahu. Kamu pasti gugup menghadapi orientasi pertama kita kan, makanya dari kemarin kamu bolak-balik ke kamar mandi. Benar, tidak?"
"Ya, kurang lebih begitulah." sahut Aline berbohong. Syukurlah jika Uli memiliki pemikiran seperti itu. Setidaknya Aline tidak perlu lagi mencari-cari alasan. Cukup Ode saja yang tahu rahasianya.
"Kemarin kita belum sempat berkenalan dengan benar, loh. Namaku Juli Augustus, lahir di antara Juli akhir dan awal bulan Agustus. Tapi, kamu boleh panggil aku Uli biar lebih akrab. Terus yang di samping aku ini namanya Elnino Prakoso, tapi karena hobinya cari-cari perhatian, jadi panggil saja dia merak." Uli menjulurkan tangan kanannya yang disambut hangat oleh Aline.
"Dasar biang onar. Kamu itu suka seenaknya saja, ya, mengganti nama orang. Tolong jangan dengarkan dia. Informasinya benar-benar menyesatkan. Namaku Elina Larissa, panggil saja aku Elin." timpal Elin sembari mengedipkan sebelah matanya.
Aline hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Aku Aline, Alinea Prasasti."
"Wah, namanya berat, bawa-bawa prasasti. Pasti orang tua kamu penggemar sejarah." celetuk Uli.
Aline hanya tersenyum menanggapi ucapan Uli.
Ketika bel berhenti berbunyi, Ode dan anggota Senat lain telah mempersiapkan diri untuk memulai orientasi hari ini. Kursi-kursi di aula itu dilipat dan dipindahkan ke luar. Ode memberi instruksi agar semua mahasiswa bergabung dengan regu kelompoknya.
Masing-masing dari lima belas kelompok itu beranggota sepuluh orang, hanya anggota kelompok Aline saja yang anggotanya sedikit.
"Perhatian-perhatian! Ada tambahan anggota untuk regu empat. Kali ini mahasiswa pindahan dari Paris. Nah, ayo masuk. Silakan bergabung dengan regu Aline, ya, James." Ode membukakan pintu, ia menyambut orang itu dengan senyuman lebar.
Seorang laki-laki berusia sekitar sembilan belas tahun masuk dengan tampang malu-malu. Ia menutup rambut pirang gondrongnya dengan topi bisbol. Memakai kemeja kotak-kotak dengan dasi kupu-kupu, dan celana pendek berwarna hijau. Panjang kaos kaki belang bermotif rusa yang ia pakai hampir menyentuh lutut. Setiap ia melangkahkan kakinya, sepatu kulit berwarna coklat mengilap itu mengingatkan Aline pada derap sepatu kuda.
Tak ... Tok ... Tak ... Tok ... seperti itu bunyinya.
Aline memperhatikan gaya fashion anak laki-laki itu dari atas hingga bawah.
Baru kali ini aku melihat seorang mahasiswa yang berani tampil seperti dia, pikir Aline.
Fashion Faux Pas, istilah kerennya seperti itu. Orang pertama yang mempopulerkan istilah ini adalah Louis XIV. Faux Pas sendiri dalam Bahasa Prancis artinya melenceng atau tidak sesuai dengan peraturan. Singkatnya, salah kostum. Demikianlah penampilan pria bernama James itu.
Hm, tapi kalau dipikir-pikir fashion itu kan bebas. Selama penggunanya merasa nyaman, bagaimanapun gayanya sah-sah saja, sih.
Aline masih memainkan jemarinya di bawah dagu. Lagaknya seperti orang sedang berpikir sembari mengamati James dari jarak yang dekat.
"Bonjour! Je me presente. Je m'appelle James Pierre. J'ai 19 ans. Enchanté." James membuka topinya, membungkukkan badan kemudian memakai topinya kembali.
"James, perkenalkan diri kamu dengan bahasa Indonesia. Kamu sudah lama tinggal di Surabaya, kan?" saran Vany dengan suara agak ketus.
James membungkuk. "Mohon maaf semuanya."
Usai mendapatkan komplain dari Vany, James pun kembali mengulang kalimatnya.
"Selamat pagi! Izin memperkenalkan diri. Saya James Pierre. Usia saya 19 tahun. Senang bertemu kalian."
Beberapa orang merasa terkesima pada James. Bukan hanya tampangnya saja yang terlihat tampan, ia juga bisa berbahasa Indonesia dengan fasih.
Ruang besar itu seketika jadi meriah dengan tepuk tangan dari gadis-gadis genit. Mereka mengacungkan ibu jarinya dan bersorak kalau James sangatlah keren.
Meski mendapat apresiasi yang berlebihan dari para gadis, mimik wajah James tetap saja terlihat datar. Bibirnya sedari tadi berusaha bergerak-gerak ke samping. Namun bukan senyuman yang berhasil terlukis di bibir seksinya, melainkan sesuatu yang menimbulkan gelak tawa orang-orang di ruangan ini.
Ada kulit cabai yang menempel tepat di tengah-tengah gigi kelinci James. Warnanya merah menyala! Oh, astaga ... Aline hampir tergelak melihat itu.
Kok, bisa-bisanya sih, anak itu melawak di hari pertama dia masuk kelas ini?
Aline tak habis pikir. Ia memutar mata, melihat kedua anggota regunya di samping. Dan, ternyata ...
Bukan cuma James saja yang nyeleneh. Dua anggota regu Aline yang lain juga sama anehnya.
Uli sibuk mengupil karena merasa bosan mendengarkan celotehan James yang tidak jelas ke mana arahnya. Sedangkan sahabat Uli, Elin, ia tengah asyik berfoto selfi dan membagikan momen-momen itu ke Instagram.
Aline menggeleng.
Apa hanya aku saja yang normal di kelompok ini?
Tiba-tiba pertanyaan itu dijawab lagi oleh hatinya.
Apa aku tidak salah? Aku menyebut mereka tidak normal, padahal aku sendiri yang sebenarnya tidak normal. Jika dibandingkan dengan mereka, justru aku yang lebih tidak normal.
Aline bodoh! Harusnya kamu berpikir dulu sebelum berbicara?
Kau tahu kan, kalau saat ini kau berhadapan dengan seseorang yang bertubuh tinggi lalu mereka menatap kau dari jarak dekat, bukankah kau akan kumat juga?
Berpikirlah Aline, jangan meremehkan orang lain seenaknya!
Tapi, jika aku lengah, mungkin saja mereka akan menikam aku dari belakang. Tidak! Itu tidak boleh terjadi.
Ah, Aline ... kenapa sih kau selalu memikirkan itu? Tidak, tidak ... kau tidak boleh memikirkan hal yang buruk-buruk tentang mereka.
Fokus, Aline! Fokus pada kegiatanmu! Kau tidak boleh membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Lagi pula, kau itu sebenarnya tidak gila. Kau hanya butuh ketenangan saja, kan?
Ya, aku tidak gila. Aku normal. Aku normal seperti mereka.
Terjadi konflik batin di saat suasana begitu semarak di ruangan ini.
"Kelompok kita sempurna sekali, ya." ujar Elin sembari menyikut pergelangan tangan Aline.
"Ya?" Aline yang belum sepenuhnya sadar memalingkan muka ke arah Elin, dan—
Cekrek!
Sebuah cahaya menyilaukan langsung menangkap potret Aline dengan ekspresi bingung. Elin terkikik. Gadis itu sama sekali tidak merasa bersalah ataupun meminta maaf karena telah membuat Aline kaget dengan suara kameranya yang tiba-tiba. Ia langsung mengunggah foto gadis itu ke akun pribadinya.
"Nah, coba kamu lihat anak baru itu! Dari pakaiannya saja bisa ditebak kalau dia itu bukan orang sembarangan. Dan setahu aku, fashion seperti itu sedang tren di tahun ini, loh. Ah, aku jadi ingat lagi, kan ...."
"Ingat apa?" wajah Aline kelihatan serius.
"Kamu mau tahu?"
"Apa?"
"Kemarin itu aktor Korea favorit aku juga melakukan sesi pemotretan dengan busana seperti itu. Kamu mau lihat?” Elin menaik-turunkan alisnya. Aline cepat-cepat menggeleng.
"Ah, Aline mah enggak asyik."
Eline mengerucutkan bibirnya. Sebelah tangannya menurunkan kamera, sedangkan yang satunya lagi menggeser-geser layar ponselnya.
Tiba-tiba Elin berseru. "Oh, wow! Sepertinya kita baru saja mendapatkan gandum di musim paceklik."
Dahi Aline mengernyit. "Apa maksudmu?"
Elin tersenyum penuh arti. "James Pierre. Barusan aku mencari namanya di Instagram. Ternyata anak itu memiliki banyak pengikut. Ia juga pernah ikut modeling dan ajang pencarian bakat di stasiun televisi di Paris."
"Apa itu benar-benar dia?" Aline merasa kurang yakin, karena tadi ia melihat sendiri betapa sulitnya James mencoba tersenyum di hadapan mereka.
"Kamu lihat saja sendiri." Elin memperlihatkan akun Instagram James kepada Aline.
Aline terkejut. Kurang lebih ada tujuh ratus enam puluh lima ribu jumlah pengikut James, sementara orang-orang yang James ikuti jumlahnya tidak lebih dari lima puluh orang. Itu juga kebanyakannya akun majalah dan aktor-aktor terkenal saja.
Eline menggeser-geser tangannya, mempertontonkan foto dan video James lebih banyak dari sebelumnya.
Dalam hati, Aline memuji kemahiran James berakting di depan kamera. Tidak seperti James dengan senyum mirip paus menyeramkan, yang memiliki kulit cabe di gigi tengahnya. Semua foto-foto James di instagram justru lebih aesthetic dan berkarakter seperti Avan Tudor Jogia.
Apakah ini yang dinamakan Alter Ego?
Aline termangu. Ia melirik James yang masih berdiri di depan, sibuk menjawab pertanyaan dari teman-temannya.
"Kamu tahu tidak, apa artinya saat James bergabung dengan regu kita? James itu bukan hanya ladang gandum, tapi dia juga sebuah berlian yang indah. Aku yakin, James akan memberikan keuntungan besar di kelompok kita; popularitas, pengetahuan dan lain sebagainya." Elin begitu bersemangat membicarakan James dan harapan-harapannya.
Aline mencoba untuk tidak menanggapi semua perkataan Eline. Ia fokus mendengar jawaban-jawaban yang diberikan oleh James dan memperhatikan senyuman James yang terlihat kaku.
Namun, meskipun demikian, Elin terus saja memuji-muji James. Sepertinya, dunia Elin sudah berpindah sekarang. Ia begitu tergila-gila pada James. Tetapi hanya James yang ada di instagram itu yang Elin perhatikan. Bukan James nyata, yang sedang kewalahan menanggapi penggemar barunya.
"Semuanya harap tenang, ya!" Ode berbicara dengan pengeras suara.
Semua orang berteriak, meminta agar James menceritakan tentang pengalaman sekolahnya di Paris.
Ode tampak marah. Ia yang biasanya bersuara lembut kali ini benar-benar menguras energinya untuk berteriak.
"Semuanya tolong diam! Sesi tanya jawab ini sudah selesai! Kalian boleh melanjutkannya lagi setelah acara berakhir." suara Ode di mikrofon itu terdengar berdengung.
"James, kamu juga—silakan bergabung dengan kelompok kamu. Kita harus mulai acaranya sekarang juga."
Tanpa mengatakan apa pun James berjalan ke belakang, duduk di sebelah Aline.
Suasana hening sejenak.
"Dengar ya, semuanya! Hari ini adalah hari pertama kita bertatap muka. Aku selaku perwakilan Senat meminta izin untuk menjelaskan kegiatan kita pagi ini."
Ode membuka laptop yang sudah terhubung dengan kabel proyektor. Stev dan Vany ditugaskan sebagai pembicara. Mereka berdua menjelaskan secara singkat tentang gedung sekolah ini dan program-program yang ada; mulai dari Fashion Design, Fashion Business, dll. Setelahnya, Ode mempertontonkan sebuah video tentang sejarah fashion—juga sejarah berdirinya sekolah ini.
Video itu berakhir dengan penjelasan Stev terkait kegiatan orientasi yang akan berlangsung mulai hari ini. Vany lalu menyuruh semuanya untuk berkumpul dan membentuk lingkaran sesuai regu masing-masing.
Sebagai panitia kreatif, Stev dan Vany membuat sebuah permainan edukasi. Ode dan Sir Julian akan menjadi juri mereka kali ini. Kegiatan pertama, semua regu diperintahkan untuk menggambar ilustrasi tentang anatomi tubuh manusia dengan tema "what you see."
Jadi dalam kegiatan ini, semua orang bebas menggunakan imajinasi mereka untuk menggambarkan anatomi tubuh manusia yang terlintas dalam pikirkan mereka. Kebanyakannya sih, semua mahasiswa baru membuat bentuk badan secara utuh.
Hanya regu empat yang berbeda; James menggambar tangan yang indah dihiasi oleh gelang rantai dan sepasang cincin di bagian jari tengah dan kelingkingnya. Elin menggambar wajah perempuan dengan background cermin dan siluet pria, Uli menggambar kaki jenjang dengan high heels merah menyala. Sementara, Aline memilih untuk menggambar sepasang mata yang bersinar terang.
Aline yang biasanya tidak pernah bisa menggambar mata dalam waktu singkat entah kenapa merasa bangga. Tadinya, Aline ragu untuk membuat bola mata yang indah, tetapi di kelas ini, di tugas pertamanya, Aline berhasil menantang diri sendiri.
"Wah, Miss Prasasti menggambar mata Raga." seru Vany seraya merekam wajah dan hasil karya Aline. Sebagai orang yang bertugas untuk mendokumentasikan acara ini tentu saja ia bebas melakukan apa pun dengan kameranya.
Stev yang sedang memeriksa hasil karya anak-anak dari regu satu berlari mendekat ke tempat Aline.
Stev penasaran hingga menyambar kertas di tangan Aline dengan paksa. Celetuknya. "Ternyata benar, ya. Mata itu jendela menuju hati. Satu kali tatap langsung tumbuh benih-benih rindu."
Ode berdeham.
Stev nyengir. "Maaf ya, Miss Ode. Bukan apa-apa, nih. Tapi sepertinya kali ini kamu akan tersingkir dari pandangan Raga."
"Apa maksudnya, hah?"
Stev dan Vany tertawa jahil. Mereka berdua melengos pergi. Ode menggelengkan kepalanya. Sedangkan Sir Julian memperhatikan gambar Aline yang terlihat berkilauan di matanya.
Sir Julian jongkok, memeriksa hasil karya Aline.
"Efek bola matanya terlihat hidup, bagus. Tinggal diperhalus sedikit lagi. Dan di sebelah sini, kamu bisa membubuhkan warna putih di bagian bawah matanya. Oke, itu saja. Selebihnya sudah bagus." komentar Sir Julian, wajahnya yang cenderung terlihat jutek melemparkan senyuman tulus di hadapan Aline.
Aline mengangguk paham lalu berterima kasih.
Ketika Sir Julian telah pergi, Ode mendatangi Aline. Ia mengatakan sesuatu yang membuat wajah Aline bersemu merah.
"Stev dan Vany benar. Gambar kamu mirip sekali seperti bola mata Raga."
Sebaris senyum terlihat di bibir Ode. Aline mengerutkan keningnya. Ia menatap hasil gambarnya sendiri. Diperhatikan mata itu baik-baik, dan—
"Ini memang mirip seperti dia." Aline menepuk jidat. Entah mengapa ia bisa menggambar sepasang mata yang terkadang menatapnya dengan dingin.
Ode tertawa, menepuk pundak Aline dan berlalu pergi.
Apa aku sudah kehilangan akal? Kenapa harus Kak Raga?
Aline merutuki tangan dan pikirannya yang telah membantunya membuat gambar itu.
Setelah waktu istirahat pertama selesai. Tantangan kedua pun dimulai. Permainan kali ini berhubungan dengan figure drawing, fashion illustration, molding dan modelling.
Kali ini, setiap regu harus bekerja sama untuk membuat satu sketsa busana bertema bebas dan merealisasikannya dengan bahan-bahan yang mereka bawa dari rumah. Kebetulan dari hasil undian, regu Aline mendapatkan bahan dari kertas.
Dalam tantangan kedua ini semua anggota regu wajib menuangkan ide-idenya menjadi suatu karya yang menarik.
Uli yang kurang paham terkait mode kadang-kadang menggerutu dan menggosok rambut ikalnya.
Elin tidak bisa membantu penuh. Elin bilang, ia tidak bisa membuat desain apa pun jika tidak ada warna.
Sementara James, ia bekerja sembari menantang Aline. Keduanya sama-sama kukuh dengan ide-ide mereka. Aline ingin menampilkan konsep fashion modern dengan sentuhan vintage. Namun, James bersikeras untuk merealisasikan idenya dengan konsep womenwears bertema kerajaan alam.
Karena tidak mungkin untuk berseteru seperti itu, Aline lalu mengusulkan agar James mau menggabungkan idenya dengan ide kreasi Aline. Tadinya sih, James tetap keras kepala namun setelah melihat Aline yang hampir menyerah, James akhirnya mau mengalah juga.
Desain telah dibuat, tinggal memutuskan untuk memilih siapa yang akan menjadi model adibusana mereka di panggung.
Aline menunjuk Elin karena sepertinya badan Eline lebih cocok dengan desain buatannya. Namun Elin langsung menolak. Elin tidak ingin memakai busana yang terbuat dari koran bekas. Ia bilang, ia hanya ingin memakai gaun yang siap pakai dan itu harus dari kain—bukan bahan daur ulang.
Agak menjengkelkan juga, sih.
Elin tidak secantik Aline, tetapi ia begitu pemilih dan merasa seperti ratu di kampus ini.
Kadang-kadang Aline hampir kumat menghadapi sikap Elin yang mirip dengan teman sekelasnya dahulu. Untung saja Aline masih menyimpan satu bungkus permen mint yang selalu ia makan sebagai pengganti obat penenangnya.
Kalau saja pada waktu itu Ode juga tidak datang menghampirinya. Mungkin benak Aline sudah dihantui oleh bayangan masa lalu.
"Semuanya lancar, Al?" tanya Ode.
Aline tak segera menjawab, ia mengangkat bahu. "Tinggal molding, Kak. Belum ada yang mau jadi modelnya. Padahal butuh banget buat cetak.”
Ode seakan tahu arti kalimat Aline. Ia menepuk pundak Aline satu kali. "Kalau mereka tidak mau, kamu saja yang menjadi modelnya."
"Aku? Mana mungkin, Kak."
Ode menggeleng. "Kamu pasti bisa. Ayo berjuang, anggap saja ini tantangan dari aku."
Aline memperhatikan senyuman Ode. Sedari awal, Ode terlihat begitu tulus.
Apa harus aku yang melakukan semua ini? Apa aku bisa bekerja sendiri?
Aline melihat Uli, James dan Elin bergantian. "Kenapa sih, kalian saling melempar tanggung jawab seperti ini? Padahal kita kan satu tim."
Gumaman Aline itu rupanya masih terdengar oleh James.
"Oh, sori, Lin. Saya bukan enggak mau, tapi saya gugup. Saya cuma bisa jalan kalau ada cahaya, kamera dan layar yang bisa memperlihatkan ekspresi saya. Kalau untuk acara simulasi seperti ini, saya tidak yakin bisa melakukannya."
Ah, James sama saja seperti Elin, terlalu banyak alasan.
Aline mengembuskan napasnya.
Melihat Aline yang begitu frustrasi, Uli jadi merasa kasihan pada Aline.
"Aku mau saja sih, Al. Tapi kan, bahan yang kita punya tidak akan cukup untuk ukuran gadis gemuk seperti aku." kata Uli cukup meyakinkan.
Aline melirik Uli. "Kamu betul bersedia?"
Uli mengangguk tanpa ragu.
"Baiklah." Aline mencoba memikirkan sebuah cara. Ia memperhatikan bentuk tubuh Uli, mengukurnya dengan jari-jari tangan, lalu menggambarkan sketsa baru di kertas HVS.
"Oke, ini cukup. Sepertinya Uli bisa jadi modelnya." seru Aline penuh keyakinan.
Wajah Uli langsung terlihat kaget. "Kamu serius, nih? Aku bisa jadi modelnya? Gadis gendut seperti aku bisa jadi model? Kamu enggak bercanda kan, Al?"
Aline menggeleng. "Aku sudah membuat konsep yang lumayan bagus. Temanya alter ego."
James mengambil sketsa Aline dan mengacungkan jempolnya. "Bravo!"
Elin tersenyum miring. "Ya, boleh juga sih, untuk fashion kelas pemula."
Aline tersenyum datar. Ia membantu Uli untuk bangkit. Baru saja Aline bersiap untuk mengukur Uli dengan menempelkan koran-koran itu di tubuh Uli, Sir Julian bertepuk tangan, menghentikan aksi mereka.
"Listen, student!" Teriak Sir Julian.
"Simpan dulu pekerjaan kalian. Ada pengumuman penting yang akan disampaikan oleh senior kalian." tambah Sir Julian sembari mempersilakan beberapa orang masuk ke dalam aula. Sir Julian yang sedari tadi mondar-mandir, duduk di kursinya.
Beberapa anggota Senat mulai memasuki aula.
"Huh, ngapain sih Levi datang ke sini? Merusak kebahagiaan saja." keluh Uli, pipinya terlihat menggembung, penuh oleh udara.
"Levi, siapa?" tanya Aline.
"Levi itu kakaknya Uli. Itu, wakil presiden. Tuh, yang pakai jas almamater biru, badannya atletik rambutnya berponi mirip oppa Korea." sahut Elin.
James dan Aline memperhatikan orang-orang yang berdiri di depan.
"Oh, yang itu ... Eh, serius itu kakak kamu?" James langsung melotot lebar. Merasa tak percaya usai membandingkan sang senior dengan teman duduknya ini.
"Ya, itu kakak aku. Kenapa?"
"Oh, My God! Why you and your siblings are so different?"
Uli berdecak, matanya memelototi James lalu beralih pada Levi.
"Kalian enggak usah heran begitu. Justru kalian itu seharusnya bantu aku buat mengambil kutukan dari dia. Levi tuh sudah merebut semua kesempurnaan dalam hidup aku. Dia menyerap semua nutrisi dari ibu sewaktu di kandungan. Dia juga merebut keelokan rupa ibu dan ayah aku, hingga tidak bersisa ketika ibu mengandung aku. Dia itu kejam."
"Dia itu maksudnya Levi?" Lagi-lagi James yang bertanya.
"Siapa lagi? Jelas dia itu Levi... nama panjangnya, Leviathan, makhluk dasar laut."
"Hiiy, monster, dong." sahut James.
"Memang dia itu monster. Mukanya saja manis tapi hatinya macam iblis."
"Sadis." ucap James, bergidik ngeri.
"Oi, yang di belakang jangan berisik!" Levi melemparkan spidol ke arah Uli.
Uli memicingkan mata, sepasang tangannya mengepal kuat.
"Kalian lihat sendiri kan betapa kejamnya orang yang aku sebut kakak itu? Levi memang iblis. Tapi ini belum seberapa. Di rumah, tingkah dia lebih parah lagi." bisik Uli.
"Oi, yang di sana bisa pada diam enggak?!" Levi menatap ke barisan kelompok Aline.
Semua orang menengok ke arah mereka. Seketika Uli terdiam. Aline menundukkan kepala, malu.
James dan Elin malah sibuk membahas akun instagram mereka. Sepertinya satu harapan Elin sudah terwujud. Mereka saling mengikuti akun masing-masing dan ya ... setelah ini cerita mereka pun bisa ditebak akan seperti apa.
Levi yang melihat pemandangan itu menggerutu kecil. Namun ia tidak menghiraukannya lagi karena Uli sudah menutup mulutnya rapat-rapat.
"Oke, kita mulai saja." Levi mengawali kata-katanya. Ia mulai berbicara panjang lebar. Suaranya terdengar tegas dan berkarisma. Tak heran ia menjadi seorang wakil presiden.
Sebenarnya, kedatangan Levi ke aula ini adalah untuk memberitahukan tentang seminar yang akan diadakan di aula Trapunto.
Levi datang untuk memberikan undangan secara langsung agar mahasiswa baru dapat ikut berpartisipasi dalam acara talk show Luna Takahashi nanti sore.
Aline yang sudah mengetahui tentang rencana seminar bertambah senang ketika ia menerima tiket gratis dari Ode.
Karena sekarang sudah hampir jam satu siang, puncak acara orientasi tadi ditunda untuk besok. Sir Julian terpaksa membubarkan mereka karena aula ini harus dikosongkan dan ditata ulang sesuai dengan tema seminar Luna.
Aline sudah tidak sabar menunggu sore hari. Ia sengaja menunggu di dekat taman aula, tanpa sedikit pun beranjak dari sana.
"Ah, bosan. Ngantuk nih, pulang yuk!" ajak Uli.
"Duluan saja." kata Aline tanpa minat.
Karena Aline tidak mau pulang, mereka jadi ikut-ikutan duduk di bawah pohon, memperhatikan orang-orang yang lewat dengan seragam almamater mereka. Semua anggota Senat tampak sibuk merapikan bangku dan mendekor ruangan. Banyak pot-pot bunga yang mereka bawa masuk ke dalam. Papan dan kalimat sambutan pun sudah dipasang di depan pintu.
Begitu jarum jam menunjukkan pukul 15:00, Aline segera berlari ke dalam aula. Semua mahasiswa telah berkumpul, namun ...
"Mohon maaf, karena ada kendala dengan mobil yang ditumpangi Luna, sepertinya seminar hari ini akan ditunda sampai besok. Untuk para mahasiswa baru, silakan pulang ke rumah masing-masing."
"Yah...." Aline kecewa. Ia keluar dan berjalan lunglai.
"Aku bilang juga apa, mending kita pulang saja dari tadi." Uli berkeluh kesah. James dan Elin hanya mengangguk saja.
Aline kembali duduk di taman, melamunkan sesuatu.
Apa Luna terjebak kemacetan, ya? Jalan dari arah Bogor itu kan lumayan padat di jam begini.
Desah napas Aline terdengar berat.
Aline melipat tangannya di dada. Ia berpikir sejenak lalu memutuskan untuk menunggu sebentar lagi.
"Kamu yakin tidak mau pulang?" tanya Elin.
Aline menggeleng. "Aku ingin jalan-jalan dulu."
"Ya sudah, kita balik duluan, ya. Kamu hati-hati di sini."
"Iya, kalian juga hati-hati pulangnya."
Mereka pun berpisah.
Mungkin sudah hampir tiga kali Aline keluar masuk gedung aula itu. Hingga saat ini, perasaan Aline masih belum merasa lega. Ia ingin bertemu Luna secepatnya. Tapi orang itu sama sekali belum kelihatan.
Kenapa Luna belum sampai juga, sih?
Aline memutar kepalanya ke arah gerbang utama. Tidak ada mobil yang lewat melalui gerbang itu. Kosong. Tanpa alasan, Aline jadi uring-uringan. Ia meremas kertas tisu dan membantingnya ke tong sampah.
Aline masih keras kepala menunggu Luna. Aline lalu berniat untuk mampir ke perpustakaan di gedung dua sebelum ia pulang. Ia lalu berjalan sembari melamunkan banyak hal.
Lalu di saat Aline tersadar, Aline menemukan dirinya sudah berada di depan ruang auditorium.
"Lho, kenapa aku bisa sampai di sini?" Aline menyentuh daun telinganya.
"Woii, Aline!"