Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 32
Sejak mengetahui cerita masa lalu tentang ayahnya tiga bulan lalu, Nadira memang jauh berubah. Ia tak lagi mengejar Rendra, gadis itu memilih fokus belajar agama di pesantren. Namun, bukan berarti ia tak lagi tertarik pada Rendra, Nadira hanya merasa tak cukup pantas untuk pemuda itu.
Sebulan pertama Rendra memang tak henti berusaha mendekatinya, tapi Nadira memilih menghindar. Hal itu juga yang pada akhirnya membuat Sukma mengurungkan niat mencari tau tentang kehidupan pemuda itu, mengira putrinya tak lagi tertarik pada Rendra.
Selepas sarapan bersama sambil membahas Nadira yang ketindihan, Sukma membuka toko kuenya, ditemani Nadira yang duduk siap dibalik meja kasir. Mereka melayani beberapa pelanggan yang datang silih berganti untuk membeli kue, dan diantara pengunjung siang itu, Nadira tak sengaja melihat Rendra dan Indra datang mendekatinya.
“Selamat datang, oh kalian rupanya, da yang bisa dibantu?” tanya Sukma menyongsong kedatangan dua pemuda itu, Indra yang terlihat antusias menjelaskan maksud kedatangannya atas perintah putri kyai Usman yang baru saja pulang dari pesantren.
“Ning Ana ingin makan cake strawberry yang waktu itu Ibu Sukma kirim ke pesantren, tapi ning maunya yang dingin,” ucap Indra tanpa basa basi. Sementara Rendra mencuri-curi pandang ke arah Nadira yang hanya diam di depan meja kasir.
“Oh, tunggu sebentar ya. Nadira, tolong layani pelanggan yang lain dulu ya, ibu mau ambilkan yang di belakang aja,” titah sang ibu.
Nadira mengangguk menatap kepergian ibunya, kini atensinya justru beralih pada senyum tengil Indra yang berjalan mendekat. “Apa kabar Nadira? kayaknya udah lama nih aku nggak lihat kamu gangguin temenku, udah nyerah ceritanya? apa kubilang, kamu nggak akan bisa,” bisiknya di akhir kalimat.
Nadira mengabaikan ucapan pemuda di depannya itu, ia sibuk melayani pelanggan yang bertanya perihal kue yang dipajang di rak susun.
“Woy, aku dikacangin nih ceritanya?” Indra terlihat kesal, tapi ia memilih abai dan memutuskan melihat-lihat kue dalam etalase.
Melihat temannya pergi menjauh, Rendra menggunakan kesempatan itu untuk menyapa gadis itu. “Hai Nadira, apa kabar?”
“Hai juga Kak, alhamdulillah seperti yang kakak lihat. Kabar aku baik,” jawab Nadira sopan.
“Ehm, nanti malam ngaji lagi kan?”
“Ya, tentu saja. Masih banyak yang belum aku pelajari, aku juga belum hafal tajwid.” Nadira tersenyum tipis, gadis itu benar-benar hebat bersandiwara padahal jantungnya berlompatan saat ini.
Disaat yang sama pintu toko kembali terbuka, seorang wanita bersama pemuda datang membawa parcel buah-buahan. Wanita itu tersenyum lebar kala melihat Nadira, keduanya lantas berjalan mendekat.
“Assalamualaikum, Nadira… masih ingat kan sama tante?”
“Waalaikumsalam, Tante Sarah kan? tentu saja ingat. Masuk yuk Tan, ibu ada di dalam," ajak Nadira sengaja menghindari Rendra, pasalnya ia merasa berdekatan dengan Rendra kini membuat hatinya berdebar sangat keras. Naik berkali-kali lipat dibandingkan dulu saat ia masih getol menggoda lelaki itu.
Sarah mengangguk, Nadira berpamitan pada Rendra untuk mengantar tamunya masuk ke dalam rumah. Sementara Aldi meminta izin ibunya untuk tetap di toko, lelaki itu ingin melihat-lihat beberapa kue yang membuatnya tertarik sejak kali pertama melangkahkan kaki ke dalam ruangan itu.
Nadira meminta Sarah duduk di ruang tamu, nenek Ratih yang kebetulan baru saja selesai sholat dhuha menyambut kedatangan tamunya dengan senyum ceria. Tak lama kemudian Sukma datang dari dapur dengan sekotak kue ditangan, ia terkejut saat melihat sahabatnya duduk di ruang tamu bersama ibu mertuanya.
“Astaga, Sarah… kapan datang? ya Allah, kok nggak hubungin dulu sih?"
"Assalamualaikum Sukma," ucap Sarah berdiri menyambut kedatangan temannya dari dapur.
"Waalaikumsalam, ngomong-ngomong kamu nggak tersesat kan? Perasaan aku dah bilang telepon aku sebelum kesini," kata Sukma lagi.
“Kalau tersesat nggak mungkin ada disini, Sukma,” jawab Sarah tertawa lirih.
“Baiklah-baiklah, Ibu ini teman Sukma waktu di pesantren, dia juga kenal mas Bagas.”
“Iya, ibu sudah tahu lawong kami sudah berbincang, benar kan Nduk?” Nenek Ratih menatap Sarah penuh kasih, sedangkan Sarah memilih menggenggam tangan nenek Ratih penuh cinta. Mereka terlihat akrab, Sukma tak heran mengingat karakter Sarah yang memang mudah bergaul dengan siapapun.
“Syukurlah, oh iya tunggu sebentar ya Sarah. Biar aku antar kue ini ke pelanggan,” ucap Sukma diikuti Nadira di belakangnya, ibu dan anak itu kembali ke toko dimana Rendra dan Indra menunggu mereka.
Sesampainya di toko, lagi-lagi Sukma terkejut sebab melihat Aldi disana. “Loh, kamu Aldi. Kenapa Sarah tadi nggak bilang kalau datang bersamamu, masuklah Nak. Kenapa ada disini?”
“Sebentar lagi Tan, masih mau lihat-lihat dulu,” ucap pemuda itu. Sukma tersenyum lantas mendekati Rendra untuk memberikan kue, keduanya lantas terlibat percakapan ringan tentang harga kue yang harus dibayar.
Sementara Indra diam-diam mendekati Nadira dan berbisik, “siapa itu? cowok kamu?”
Rendra yang tengah menanti kembalian uang tak sengaja mendengar bisikan Indra pada Nadira, ia jadi penasaran dengan jawaban gadis itu. Sengaja mundur selangkah untuk mendengar lebih jelas ucapan Nadira.
“Apaan sih? nggak jelas banget,” jawab Nadira.
“Hei, nggak perlu bohong deh kalau sama aku, udah jelas juga dia sengaja ada di toko untuk bisa curi-curi pandang padamu Nadira. Kamu udah bosen ya sama…” Indra menggantung kalimatnya, lantas menarik tangan Rendra dan merangkul temannya sembari satu tangan menunjuk wajah Rendra.
Wajah Nadira bersemu merah, apalagi saat melihat Rendra tampak salah tingkah melihatnya. Aldi yang tak sengaja melihat pemandangan ini datang mendekat, lelaki itu tersenyum manis dan menyapa Nadira.
“Hai Nadira? bagaimana kabarmu?”
“Oh, hai juga Kak Aldi, alhamdulillah aku sehat.”
“Tiga bulan tidak berjumpa kenapa aku melihat kamu jadi jauh lebih dewasa ya?” Aldi membasahi bibirnya yang kering, matanya tak berkedip menatap Nadira yang terperangah mendengar ucapannya.
“Ma-maksudnya Kak?”
Malu-malu Aldi berkata jika Nadira tampak lebih cantik, gadis itu terlihat tak nyaman. Mengucapkan terima kasih sambil melirik Rendra yang menatapnya tajam, sedangkan Indra memekik kesakitan karena tangannya digenggam erat oleh sang sahabat.
“Ren Ren Ren, lepasin!”
Rendra melepas kasar tangan Indra dan berjalan cepat meninggalkan toko, ia bahkan tak peduli saat Sukma memanggilnya untuk memberikan uang kembalian. Terpaksa Indra meminta maaf, menggantikan temannya menerima kembalian dan berpamitan pada Sukma.
Nadira membeku menatap kepergian Rendra yang tampak aneh menurutnya, setelah itu Aldi berpamitan menyusul ibunya menuju ruang tamu. Dan Sukma mendekati putrinya yang masih kebingungan, “dia kenapa Nduk?”
“Hah? entahlah Bu,” jawab Nadira yang tak bisa menyembunyikan senyumnya.
.
Tbc