Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mempertahankanmu
Alvian tertegun, mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah tak percaya apa yang terjadi.
"Terima kasih," ucap Aisha berkali-kali di dalam pelukannya.
"I..iya..Sama-sama." Alvian terbata.
Mendengar sebuah jawaban, membuat Aisha langsung tersadar, dia langsung melepaskan diri dari pelukan sang suami.
Kebahagiaan yang membuncah membuatnya tak sadar hingga memeluk suaminya. Badannya gemetar mengingat ini kali pertama dalam hidupnya berada di pelukan seorang laki-laki.
Aisha mundur salah tingkah. Seandainya tak ada cadar menghalangi wajahnya orang akan tahu jika Aisha sangat malu karena pipinya yang memerah.
Untung saja, tampaknya yang lainnya tak begitu memperhatikan, semuanya tampak juga sedang bahagia sujud syukur karena keberhasilan operasi.
Alvian juga dengan hatinya yang masih berdegup tak karuan kaget ketika semua kakak iparnya datang dan memeluk mengucapkan terima kasih.
***
Melihat kondisinya yang sudah stabil, Abah dipindahkan ke ruang perawatan, karena hanya tinggal menunggu pemulihan, kedua kakak laki-laki Aisha sudah kembali ke Pondok sementara Kak Ahmad masih disana bersama Ummi dan Kak Zainab.
Karena malam sudah semakin larut, Aisha meminta Kak Zainab membawa Ummi pulang ke rumahnya. Kondisi kesehatan ibu mereka juga harus diperhatikan, tak boleh kelelahan karena itu juga bisa membuatnya sakit.
Kak Ahmad mengantarkan mereka, kini hanya tinggal Aisha sendiri yang menunggu Abah.
Aisha menatap wajah ayahnya yang terlelap sembari dalam hati mengucap syukur dengan tak henti.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, Aisha melihat suaminya masuk menghampiri mereka.
Sekelebat bayangan ketika dia memeluk suaminya melintas di ingatannya, membuatnya merasa malu hingga Aisha langsung menundukkan kepalanya.
Alvian mendekati Abah, memeriksa keadaannya. Setelah selesai dia melihat Aisha yang terus memalingkan wajah darinya.
"Keadaan Abah sudah cukup stabil."
Aisha hanya mengangguk.
"Kamu sudah makan?"
Aisha terdiam tidak menjawab karena nyatanya dia belum makan dari pagi.
"Aku akan membelikan makanan. Kamu bisa makan disini." Alvian seolah tahu jika istrinya pasti belum makan apapun. Dia pergi meninggalkan ruangan.
Tak berapa lama, Alvian datang dengan membawa bungkusan di tangannya. Meminta istrinya untuk segera memakannya. Sementara dia langsung pergi meninggalkan ruangan.
"Apa anda juga sudah makan?" tanya Aisha pelan menahan suaminya pergi.
Alvian membalikkan badannya. Melihat Aisha.
"Sudah. Kamu makanlah, aku akan memeriksa beberapa pasien dulu, setelah itu aku akan kesini lagi menemanimu menunggu Abah."
Aisha mengangguk lalu melihat suaminya pergi meninggalkan kamar.
***
Alvian duduk di bangku di luar ruangan Abah sambil memainkan ponselnya, merasa bosan, dia menyimpan ponselnya lalu melihat jam di tangannya. Dia pikir jika Aisha mungkin masih belum selesai makan karena itu dia belum akan masuk ke dalam.
Rupanya memeriksa pasien hanya alasannya saja, dia hanya memberi kesempatan bagi istrinya untuk bisa makan karena jika Aisha makan itu berarti dia harus membuka cadarnya dan dia belum yakin jika istrinya itu sudah siap membuka cadar di hadapannya atau belum. Walaupun sebenarnya Alvian yakin jika Aisha kini telah sedikit luluh padanya.
Tiba-tiba Alvian teringat kejadian tadi siang, dimana dia dipeluk erat istrinya. Walaupun dia tahu jika itu hanya refleks karena saking senangnya, tapi tetap saja membuatnya sangat bahagia. Alvian tersenyum-senyum sendiri.
"Sepertinya kamu sedang sangat bahagia."
Alvian kaget mendengar suaranya Anita di sampingnya.
Seketika wajahnya langsung muram.
"Sepertinya hubungan kalian membaik." Anita melihat Alvian sambil tersenyum sinis.
"Apa kamu sudah melihat wajahnya? atau bahkan bukan hanya wajahnya, kamu sudah melihat utuh seluruh badannya." Anita terdengar meledek.
"Nit. Aku tahu kamu masih terluka. Aku mengucapkan beribu maaf untuk semua yang aku lakukan padamu. Maafkan aku. Aku ingin kita baik-baik saja. Walaupun tidak menjalin hubungan lagi, tapi setidaknya kita kasih bisa berteman."
"Apa kamu pikir bisa semudah itu?" tanya Anita sinis.
"Nit. Aku yakin kamu bisa melupakan aku. Bukalah hatimu untuk orang lain, kamu cantik, aku tahu akan banyak laki-laki yang rela bersaing untuk mendapatkanmu."
"Aku tidak sepertimu Al. Kamu dengan mudahnya pindah ke lain hati, melupakan cinta dan kebersamaan kita selama ini. Tidak. Tidak semudah itu bagiku Al." Anita menggeleng-gelengkan kepalanya.
Alvian terdiam sejenak.
"Kalau wanita itu bukan Aisha. Mungkin akan sulit juga bagiku meninggalkanmu dan berpaling padanya."
Anita tersenyum sinis.
"Jangan hanya karena dia menutup wajah dan seluruh tubuhnya, lalu dia pintar berbicara dan menasihati, terus kamu pikir dia wanita istimewa? Dia lebih baik dari aku?"
Alvian langsung melirik Anita.
"Itu benar. Dia istimewa dan dia lebih baik darimu."
"Kamu sudah dia bodohi Al." Anita terlihat kesal.
"Terserah. Tapi bagiku Aisha sangat berharga. Aku sangat ingin mendapatkannya walaupun dengan begitu aku harus kehilanganmu."
Anita melebarkan matanya. Matanya berkaca-kaca.
"Tak se-berarti itu aku bagimu?"
"Maafkan aku. Tapi kenyataannya memang seperti itu."
Anita berdiri dengan marah.
"Dan tak akan aku biarkan wanita istimewa dan berharga-mu itu dengan mudahnya mengambil kamu dariku!"
"Dan akan kubuat matamu terbuka jika sebenarnya istrimu itu tidak sebaik pikiranmu." Anita pergi dengan marahnya.
Alvian langsung memegang kepalanya, dia lalu melihat pintu di sampingnya, takut jika seandainya Aisha mendengar semua percakapan dirinya dan Anita.
***
Aisha terus duduk di samping Abah, membelakangi Alvian yang duduk di sofa.
"Istirahatlah, tidurlah di sofa. Biar aku yang jaga Abah." Alvian meminta Aisha untuk beristirahat.
"Tidak. Saya tidak bisa tidur."
Alvian berdiri menghampiri Abah, kembali memeriksa keadaannya.
"Abah tidur nyenyak karena aku memberinya obat tidur. Agar bisa lebih banyak beristirahat dan itu bagus untuk pemulihannya."
Aisha mengangguk.
"Jadi kamu juga istirahatlah, kalau tidak kamu juga akan sakit." Alvian menatap Aisha di sampingnya.
Aisha melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Saya akan ke mesjid mau shalat Isya dulu," Aisha berdiri.
"Tolong jaga Abah."
Alvian mengangguk.
Aisha berpapasan dengan Kak Ahmad yang baru saja datang, kakaknya bertanya kemana adiknya itu akan pergi.
"Minta antar oleh suamimu, mesjid di seberang Rumah Sakit, lumayan jauh ditambah ini sudah malam. Biar kakak yang jaga Abah."
Akhirnya Alvian menemani istrinya, keduanya berjalan beriringan. Dengan sama-sama terdiam. Kejadian tadi siang rupanya masih membuat keduanya canggung.
"Apa kabar Dokter Anita?" tanya Aisha tiba-tiba.
Alvian tersentak kaget.
"Kenapa tiba-tiba menanyakannya?"
Aisha tak menjawab. Alvian tampak berpikir.
"Apa kamu ...?" Alvian tak berani melanjutkan perkataannya.
"Iya. Saya mendengar kalian mengobrol tadi. Maaf bukan maksud menguping. Tapi suara Dokter Anita cukup keras dan terdengar walaupun sebenarnya saya tidak mau mendengar." Aisha menghentikan langkahnya melihat Alvian di sampingnya.
Mereka telah berdiri di depan masjid yang sepi.
"Anda tahu, sangat menyakitkan ketika kita dibuat merasa sangat spesial kemarin, tiba-tiba dibuat merasa tidak diinginkan hari ini."
"Tak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang yang kita pikir tak akan pernah menyakiti kita."
"Dan itulah yang sekarang terjadi pada Dokter Anita."
"Dia sangat kecewa, dan rasa kecewanya itu membuatnya tak akan melepas anda begitu saja."
"Aku tahu aku salah. Tapi sepertinya aku lebih baik menyakitinya daripada menyakitimu." Alvian menunduk merasa sangat bersalah.
Aisha menelan ludah. Menatap lekat suaminya.
"Sepertinya juga aku akan menjadi lawannya karena tak akan juga rela melepasmu padanya."
"Tapi aku yakin jika itu tidak salah."
Alvian terhenyak.
"Seberapa kuat usahanya untuk mendapatkanmu kembali, sekuat itu juga aku akan mempertahankanmu," lanjut Aisha lagi.