Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Ketiga lelaki itu menyeret tubuh Zeona. Melesakkan agar masuk ke dalam mobil.
"WOYY!" Tindakan pemaksaan itu terhenti seketika karena seruan nyaring dari seorang lelaki. Ketiga lelaki itu serta Zeona sendiri langsung menolehkan kepala ke belakang.
"Mas Eric." Wajah ketakutan Zeona langsung berbinar. Ketakutan akan diru da pak sa menghilang seketika melihat kedatangan orang kepercayaan suami sirinya.
"Lepaskan Zeona!"
Perintah itu disambut tawa oleh ketiga lelaki. Dion dan Jeff maju. Membuat blokade untuk melindungi Gio yang masih mencengkram erat pergelangan tangan Zeona. "Buruan masuk Yo! Bawa jal*ng itu pergi dari sini. Biar kita yang menghadapi laki-laki so pahlawan ini!" Itu Jeff yang berbicara.
Mendengar perkataan itu, Zeona langsung ketar-ketir. Rasa takut kembali menyerang. Namun kali ini, dia berusaha mengumpulkan seluruh tenaga dan keberanian. Zeona merunduk, menggigit tangan Gio dengan sekuat tenaga.
"AARGGHH! ANJ___!" Lolongan kesakitan mengudara dari bibir Gio. Sontak kedua sahabatnya membalik badan untuk melihat apa yang terjadi dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Zeona. Selagi Dion dan Jeff sibuk memeriksa keadaan Gio, gadis berambut panjang itu lari terbirit-birit menghampiri Eric dan mengajak lelaki berbadan tegap macam TNI itu untuk pergi dari sana.
"Ayo Mas kita lari!" Zeona menarik tangan Eric. Orang kepercayaan Anjelo itu tentu saja menuruti. Bergegas memencet tombol yang ada di kunci mobil.
"Cepat masuk Zeona!" Eric memerintah.
Keduanya masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa. Setelah mereka memasang sabuk pengaman, Eric lekas tancap gas.
Helaaan napas lega keluar nyaring dari bibir Zeona, diiringi dengan gerakannya menyandarkan tubuh ke kursi mobil. "Makasih banyak Mas Eric. Makasih sudah datang tepat waktu dan menyelamatkanku. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi jika tadi tak ada Mas Eric. Mungkin aku sudah ..." Curahan hati itu rumpang karena kini Zeona sudah mengeluarkan air mata. Bibirnya bergetar sesenggukan.
"Iya, Zeona. Sama-sama. Menangislah jika itu bisa membuatmu tenang. Tapi jangan terlalu lama, nanti mata kamu bengkak!" sahut Eric. Matanya fokus pada jalanan di depan.
Lambat laun, sesenggukan itu menghilang. Tersisa isakan pelan saja yang keluar dari bibir Zeona.
"Di mana alamat rumahmu, Zeona? Saya akan mengantarkanmu ke sana!"
"Tidak usah Mas. Kalau Mas Eric mau mengantarkan saya, antarkan saja saya ke rumah sakit Permata Kasih."
Kening Eric mengkerut, "Kenapa ke rumah sakit? Apakah kamu terluka?"
Zeona lekas mengibaskan kedua tangannya, "Tidak Mas! Aku tidak terluka. Aku mau ke rumah sakit karena Kakakku dirawat di sana?"
"Zalina sakit apa?!" Seketika itu juga Eric melontarkan tanya dengan cepat.
Kini, giliran Zeona yang mengerutkan kening. "Kok Mas Eric bisa tahu kalau nama Kakakku Zalina? Ap--" Kekehan Eric membuat Zeona tak jadi melanjutkan ucapannya.
"Tentu saja saya tahu, Zeona. Yang menjemput Kakakmu dari rumah bor dir Miss Helena adalah saya. Kita berdua sempat mengobrol dan sarapan bersama." Eric menjelaskan.
"Ya Tuhan ... kenapa aku bisa lupa?" Zeona menepuk jidatnya sendiri.
Melihat hal itu, Eric pun terkekeh kecil. Lalu setelahnya dia bertanya pada Zeona, "Zalina sakit apa?"
"Ah, haruskah aku mengatakan tentang penyakit Kakak pada Mas Eric?" Zeona membatin sebelum menjawab pertanyaan Eric. "Kakak ss-sakit ..." Zeona menjeda ucapannya.
"Sakit apa Zeo?"
"Kak Zalina sakit kanker rahim, Mas."
Decit ban mobil dan aspal saling beradu memecah keheningan malam. Dikarenakan Eric menginjak rem mobil secara mendadak, yang sontak membuat Zeona berpegangan dengan erat pada pintu mobil seraya mengucapkan istigfar. "Mas Eric!" Pekikan nyaring mengangkasa membuat Eric seketika mengucapkan permintaan maaf pada Zeona.
"Maafkan ss-saya, Zeona. Saya kurang fokus!"
"Ya. Tapi tadi, jantung saya serasa mau loncat dari dalam dada." Zeona membuang napas panjang. Dia mengusap dada.
"Sekali lagi maafkan saya?"
"Ya Mas Eric."
Tiba di rumah sakit, Zeona langsung membuka sabuk pengaman. "Mas Terima kasih sudah mengantarkanku. Serta terima kasih juga sudah menolongku!" kata Zeona sebelum keluar dari dalam mobil.
"Sama-sama Zeo. Titip salam untuk Zalina." Setelah perkataan itu terucap, Eric langsung menggigit ujung lidahnya. Ia merutuki perkataannya itu. "Kenapa aku harus berbicara seperti itu?" dengusnya dalam hati. "Bagaimana kalau Zeona berpikir yang aneh-aneh?"
"Siap, Mas. Nanti aku sampaikan salamnya ke Kakak. Mari, Mas Eric!" Zeona turun dan melambaikan tangan pada Eric.
Melangkah masuk ke dalam ruang rawat Kakaknya. Pendar matanya meloka sang kakak yang sudah tidur terlelap. "Kak, aku pulang." Zeona berbisik pelan. Menjatuhkan tubuh di kursi yang ada di samping hospital bed Zalina. Rasa lelah mencengkram jiwa. Zeona menggelar karpet tipis bergambar panda yang ia bawa dari kontrakan. Lalu merebahkan badan. Memejam mata untuk terbang ke alam mimpi.
Eric: Tuan, Zeona hampir saja dilec*hkan. Untungnya saya keburu datang dan bisa menyelamatkannya. Saya mengantarkan dia pulang, tapi tidak ke rumahnya melainkan ke rumah sakit. Kakaknya mengidap penyakit kanker rahim.
Mata Anjelo melotot tajam membaca pesan yang baru saja dikirimkan Eric. Yang membuat emosinya memuncak adalah baris kalimat pertama. "Tempat itu terlalu berbahaya untukmu, Zeona." Rasa cemas hadir mendobrak jiwa. Selanjutnya, sedikit rasa prihatin ikut menelusup dalam jiwa. "Malang sekali nasibmu, Zalina."
Derit pintu terbuka berhasil membuat Anjelo segera menghapus pesan dari Eric. Dia melempar pandangan ke arah pintu, di mana istrinya muncul dengan wajah yang memerah dan jalannya yang sempoyongan. "Cih!" Anjelo berdecih nyaring. Berdiri dari duduknya. "Kamu mabuk lagi?!"
Tawa Vivian mengudara, menembus keheningan malam. "Iya. Aku stres karena kamu tak mau memberiku modal. Makanya aku minum-minum."
Anjelo memutar bola matanya. "Aku tak akan memberimu modal lagi, Vivian!" Lelaki berpiyama abu tua itu keluar dari dalam kamar. Meninggalkan Vivian yang meracau memaki dirinya.
"DASAR ANJEL KERE! PELIT! PERHITUNGAN! SIAL*N!"
Begitulah Vivian. Jika sedang berduaan seperti ini, dia tak pernah bersikap sopan pada Anjelo. Ucapannya selalu sarkas dan menyakitkan.
Tapi Anjelo tak pernah mempedulikan. Tak pernah meladeni atau balik mengata-ngatai. Dia menganggap omongan Vivian sebagai angin lalu yang tak perlu dimasukkan ke dalam hati.
Anjelo naik ke lantai tiga menggunakan lift. Berjalan santai menuju ruang kerjanya untuk mengistirahatkan badan. Di sinilah dia sekarang. Merebah badan di atas ranjang mewah dengan seprai berwarna abu tua selaras dengan warna piyama yang dipakainya.
Benaknya dipenuhi dengan ingatan tentang Zeona. "Kau membuatku gila, Zeona," desis Anjelo sembari memejamkan mata. Membayangkan Zeona ada di sampingnya. Tidur seranjang dan satu selimut. "Ada apa dengan diriku? Kenapa otakku dipenuhi dengan Zeona, Zeona dan Zeona? Apakah aku sudah jatuh cinta padanya?" Anjelo bertanya-tanya sendiri. Mencari jawaban pasti, tentunya di dalam hati.
Tiga puluh enam tahun hidup di dunia, Anjelo belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Saat usia remaja dia sibuk belajar dan belajar. Menginjak dewasa, dirinya terlalu sibuk bekerja. Memutar otak agar semua bisnis yang ia punya bisa sukses dan menghasilkan uang yang banyak. Tak ada waktu untuk memikirkan tentang cinta.
Bahkan pada Vivian, rasa cinta itu tak pernah hadir. Sekuat apapun dia berusaha mencintai Vivian, usaha itu selalu sia-sia.
Hatinya tetap dingin. Namun sekarang, hati dinginnya perlahan menghangat dan menghasilkan getar-getar aneh setiap bertemu dengan Zeona.
Gadis muda itu berhasil membuat bunga-bunga di dalam hati Anjelo bermekaran. Debar-debar asmara bergejolak gila. Menciptakan darah panas yang menggelegak. Yang akhirnya, membuat keinginan bergelung bersama itu selalu hadir dan membutakan mata hati.
"Aku ingin kamu, Zeona ..." desisnya sambil memegang pusaka cinta.
Makasih udah baca😊