Mad Mafia Obsession

"... Benarkah, Jul?"

Dulce melirik Juliet dengan tatapan yang berbeda. Itu semacam sebuah ejekan yang di sembunyikan melalui tampang yang cukup santai. Bagaimana tidak, itu cukup memalukan mengingat Juliet orang Prancis dan sudah cukup dewasa.

"Tidak. Aku bisa minum apapun, sungguh."

Juliet membuat pembelaan. Sebagai ungkapan atas tanggapan suam-suam kukunya, dia melirik Matteo sebentar. Pria itu tampak menahan emosi yang hampir kembali anjlok. Rahangnya bahkan terlihat keras.

Matteo tidak membuat tanggapan. Seolah sejak awal memang tahu bahwa Juliet berbohong, dia cukup ahli dalam menyembunyikan emosi.

Dulce memperhatikan keduanya dalam diam. Dia merasa hubungan mereka memang tidak pernah terjalin dengan baik. Apalagi kepribadian Matteo yang cukup menyebalkan, bisa di bilang tidak ada yang pernah tahan untuk tetap bersamanya.

"Kau dengar, Matteo? Juliet bilang, dia bisa minum apapun."

Saat Dulce menyahut, bibir Matteo membentuk senyuman licik. Sepertinya dia berhasil menahan diri dan meredam kembali amarahnya. Saat dia melirik Juliet sekali lagi, dia senyuman itu hilang.

"... Apapun, ya? Baiklah, ayo pergi mabuk sampai mati."

*

*

*

Mereka pergi ke bar milik Dulce yang berjarak cukup dekat dari tempat sebelumnya. Bar itu sangat ramai dan berantakan. Berbeda dengan milik Matteo yang di desain sangat elegan dan nyaman, bar milik Dulce cukup biasa namun memiliki kebebasan.

Kau bisa melakukan apapun di sana. Bahkan dari kejauhan terlihat seorang wanita yang tengah menghibur banyak pria. Pemandangan itu sudah tidak asing bagi Dulce dan Matteo. Namun, bagi Juliet itu cukup mengejutkan.

Saat mereka duduk di depan pembuat minuman, Matteo memesan lebih dulu. Kali ini dia tidak memesan Pinot Noir.

"Tiga Bruichladdich X4."

Mendengar pesanan Matteo, Dulce dan Juliet menoleh dengan cepat. Dulce menepuk pundak pria itu untuk menyadarkannya tentang apa yang baru saja dia pesan.

"Apa kau gila? Kau bisa mati, dasar bajingan."

Matteo mengabaikannya. Dia memang peminum yang baik dan dia cukup percaya diri dengan ketahanan tubuhnya. Namun, ini bukan masalah ketahan tubuh melainkan kesehatan mental.

Pasalnya, Bruichladdish X4 mengandung kadar ABV 90% atau lebih tinggi. Alkohol ini termasuk yang paling berbahaya karena jika diminum dalam jumlah kecil, jumlah alkohol yang masuk ke aliran darah akan sangat banyak.

"Apa masalahnya? Juliet bisa menghabiskan semuanya jika kau tidak mau. Dia bisa minum apapun, kau ingat?"

Matteo melirik Juliet dengan tampang mengejek. Gadis itu gemetar saat mata mereka bertemu. Kita memang tidak seharunya bermain-main dengan seorang Mafia sejak awal. Juliet terlalu berani.

Setelah menunggu beberapa menit, minuman mereka akhirnya di sajikan. Matteo meminumnya lebih dulu untuk melihat reaksi Juliet. Sesuai dugaan, gadis itu membola terkejut.

Dimana bajingan sialan itu menemukan sebuah keberanian yang luar biasa? Dia benar-benar tidak takut mati.

"Kau bajingan gila."

Dulce menyusul dengan meneguk gelas yang di sajikan tepat di depannya. Sementara itu, Juliet masih setia membisu dengan keterkejutan yang semakin meningkat. Dua maniak alkohol itu benar-benar gila. Dia menyesal karena memutuskan untuk ikut.

Awalnya, dia berniat menerima tawaran Dulce karena berharap wanita itu dapat menjauhkannya dari Matteo. Namun, alih-alih di jauhkan, mereka berdua malah di dekatkan di satu tempat yang sama.

Melihat kebisuan Juliet, Matteo mendekatkan gelasnya. Sambil menyodorkan gelas Juliet yang berisi alkohol, bibirnya membentuk senyuman.

"Apa yang kau pikirkan? Minumlah. Apa kau takut mati? Tenang saja, aku tidak akan membiarkannya."

Juliet menoleh dengan ketajaman penuh. Dia tahu pria itu sengaja ingin menyusahkannya disini. Namun, dia tidak membuat pembelaan, karena sebagian besar ini termasuk salahnya karena sudah memprovokasi pria itu.

Tak punya pilihan, Juliet mulai meneguk minuman itu. Sekali tegukan, wajahnya menjadi sangat merah. Sepertinya dia mulai mabuk dan akan tumbang sebentar lagi.

Matteo berhenti minum dan hanya memperhatikan Juliet dalam diam. Saat gadis itu meneguk sekali lagi, dia menjadi tak terkendali. Tubuhnya lemas namun tangannya masih berusaha memegang gelas.

Saat gadis itu hampir terjatuh ke samping, Matteo menahannya dengan memegang pinggangnya. Gadis itu menoleh namun terlihat tak sadarkan diri.

"Berhenti minum. Ayo kita pulang."