Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28.
Mumu tersenyum lembut, "Saya hanya bisa berupaya, Bang. Perkara sembuh kita serahkan saja kepada yang Maha Kuasa."
Walaupun selama ini Mumu sudah beberapa kali berhasil mengobati orang tapi dia tidak bersikap jumawa.
Karena pada dasarnya ilmu pengobatan yang ia miliki ini hanyalah sebatas titipan belaka. Jadi tidak semestinya ia bersikap sombong dan lupa diri.
Menurut hikayat, Jin diusir dari surga bukan karena dia membangkang perintah Allah, tapi karena kesombongannya yang merasa lebih baik dari pada Adam as.
Setelah minum teh yang dihidangkan oleh Rodiah, istri Iwan, Mumu mulai memeriksa kakinya.
Beberapa menit berlalu, tampak dahi Mumu mengernyit, seperti yang ia duga, rasa sakit dan hilangnya tenaga pada kaki kiri Iwan dikarenakan ada beberapa urat sarafnya terhubung di tempat yang salah sehingga tidak bisa berfungsi dengan baik.
Ini suatu masalah yang pelik.
"Ada apa, Mumu? Apakah penyakitnya bisa diobati?" Melihat raut wajah Mumu, Risnaldi merasa pasti ada yang salah.
"Ada yang salah pada urat dan saraf, Bang Iwan sehingga perlu diperbaiki. Cuma karena terjadinya sudah agak lama jadi agak sulit juga memperbaikinya."
Mendengar penjelasan Mumu, Iwan dan istrinya merasa sedih, "Apakah kakiku memang tak bisa disembuhkan lagi, Dik?" Iwan sedikit kecewa.
"Insya Allah bisa, Bang. Cuma akan memakan waktu yang lumayan agak lama. Abang kalau mau ke kamar mandi, pergi saja dulu, karena jika sudah kita mulai proses pengobatannya, Abang tak bisa begerak ke mana-mana lagi."
"Syukurlah," Iwan tersenyum senang. Dia bergegas ke belakang dipimpin istrinya.
"Jika sampai sore nanti aku belum selesai, kamu pulang saja dulu, Nal. Kami nanti kan masuk kerja."
"Tenang saja, Mumu. Jangan kamu risau tentang aku. Nanti tahu aku harus bagaimana. Yang penting kamu fokus saja mengobati Bang Iwan. Mudah-mudahan penyakitnya bisa sembuh dan sehat seperti sedia kala."
Mumu hanya mengangguk mengiyakan.
Tak lama kemudian Iwan kembali bersama istrinya. Setelah dia duduk dengan posisi senyaman mungkin, Mumu langsung memulai proses pengobatannya.
Kali ini Mumu membutuhkan konsentrasi dan tenaga yang ekstra. Sebelum mengeluarkan jarum akupunturnya, Mumu mulai mengurut dan membetulkan urat-urat yang bermasalah.
Beruntung Mumu mempunyai keahlian menonaktifkan saraf perasa, jika tidak, dapat dipastikan pasien akan meronta-ronta atau menjerit-jerit kesakitan.
Karena proses membetulkan tata letak urat bagaikan melepaskan kulit dari daging tubuh seseorang, maka dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya rasa sakit yang dirasakan oleh pasien.
Dengan penuh konsentrasi Mumu terus memperbaiki urat saraf Iwan. Sesekali ia mengambil beberapa jarum akupuntur dan menancapkan di titik-titik saraf tertentu.
Tak jauh darinya Rodiah dan Fatma menunggu proses pengobatan dengan bimbang dan penuh harap.
Karena penggunaan energinya lebih besar sehingga Mumu beberapa kali istirahat sejenak untuk mengambil nafas dan mengedarkan ke sekujur tubuh berdasarkan metode pernafasannya.
Ternyata pengobatan itu memakan waktu yang lumayan lama. Saat Mumu selesai, matahari sudah jauh condong ke arah barat sedangkan Risnaldi sudah sedari tadi pulang karena harus bekerja.
Dengan tatapan penuh syukur sambil menyeka keringatnya Mumu berkata, "Pengobatannya sudah selesai, Kak. Dalam dua hari ini Insya Allah Bang Iwan sudah bisa beraktivitas sebagaimana biasanya. Menjelang dua hari ini tolong diingatkan Bang Iwan supaya tidak banyak melakukan gerakan apa pun terutama kaki kirinya itu."
Rodiah hanya mengangguk. Dia terisak saking gembiranya melihat suaminya akhirnya bisa sembuh.
Saking terharunya dia tak bisa berkata-kata. Sungguh besar budi Mumu terhadap keluarga mereka. Mumu sudah bersusah payah mengobati suaminya tanpa imbalan apa pun.
Jika dia ceritakan ke orang lain mungkin mereka tak percaya bahwa ada orang yang mau bersusah payah menolong mengobati orang lain tanpa mau dibayar serupiah pun.
Zaman sekarang menemukan hal seperti itu langka sekali.
Sungguh beruntung keluarga mereka bisa mengenal sosok Mumu yang luar biasa ini.
Mumu tentu saja tak tahu apa yang dipikirkan oleh wanita yang didepannya ini. Setelah mengatur peralatannya Mumu segera mohon diri.
...****************...
Handoko, seorang pria berusia tiga puluh sembilan tahun. Tubuhnya gempal. Berotot. Kulitnya coklat kehitaman. Di lengan kanannya terdapat sebuah tato berbentuk kepala harimau yang menambah kewibawaannya.
Handoko sudah bertahun-tahun menjadi penguasa pasar Juling ini. Tak sembarang orang yang berani berurusan dengannya. Bukan karena dia orang terkuat di kalangan preman tapi dia dikenal dengan ilmu kebalnya yang tahan pukulan dan tahan bacokan.
Handoko sedang duduk termenung di sebuah kedai kopi langganannya. Dia menghirup kopi yang masih panas sembari merokok. Biasanya minum kopi sambil merokok akan terasa nikmat sekali. Tapi hari ini nikmat ngopi sambil merokok itu hilang dan diganti dengan rasa hambar.
Bukan karena orang yang membuat kopi itu tidak kompeten, tapi karena beberapa masalah yang berkecamuk di pikiran Handoko.
Semalam Amran adiknya yang manja itu datang mengadu kepadanya. Dia bilang dia dan teman-temannya habis dipukuli oleh seseorang dan minta tolong Handoko untuk membalasnya.
Handoko tak punya waktu untuk itu. Apa lagi itu cuma masalah kecil. Perkelahian anak-anak muda itu biasa.
Ada masalah yang lebih besar yang sedang ditanganinya.
Tapi karena rasa sayang terhadap adiknya itu, Handoko akhirnya mengutus dua orang anak buahnya untuk membereskan pemuda yang telah memukuli adiknya.
Sudah dua hari anak buahnya pergi tapi belum juga kembali.
Handoko kembali mengisap rokoknya dan membuang abu rokok di bawah meja.
Dua orang pria berwajah sangar muncul dihadapannya tapi bukan anak buah yang dia suruh untuk membantu menyelesaikan masalah adiknya.
"Bagaimana?" Tanya Handoko sembari menyeruput kopi untuk kesekian kalinya.
Salah seorang pria sangar dengan anting yang terpasang di kuping sebelah kiri melaporkan, "Situasinya di luar kendali kita, Bos. Geng Macan itu benar-benar berani menganggu bisnis kita seakan-akan tidak menganggap kita sama sekali."
"Jadi apa yang telah kalian lakukan?"
"Sesuai saran Bos, kami berdua sudah mendatangi markas mereka untuk menyampaikan pesan Bos. Tapi mereka tidak membolehkan kami menemui pimpinan mereka."
Handoko menggebrak meja, "Apa mereka benar-benar berani melawan kita? Apa yang mereka anggarkan?"
"Kami kurang tahu Bos. Cuma dari pembicaraan Geng Macan itu sepertinya mereka sudah tahu cara menangkal ilmu kebal kamu Bos sehingga mereka tidak merasa gentar sama sekali."
"Ooo begitu ya," Handoko menggertak giginya karena marah, nafasnya memburu, "Siapkan anggota semuanya, malam ini kita beri pelajaran kepada mereka. Biar mereka tahu siapa kita sebenarnya." Handoko meremas tinjunya.
Karena sekarang dia jarang menunjukkan kekuatan sehingga pihak lain menganggap dia seperti harimau yang sudah tidak bertaring.
Malam ini Geng Macan akan menerima akibatnya.
Serangan ini juga sebagai pelajaran bagi kelompok-kelompok yang lain agar tidak sembarangan terhadap kelompok yang dipimpinnya.
Dalam pada itu Mumu dalam perjalanan kembali saat handphonenya berbunyi. Mumu menghentikan motornya di pinggir jalan dan mengambil handphonenya.
"Ada apa, Nal?" Rupanya panggilan dari Risnaldi.
"Apa yang terjadi?" Suara di seberang telpon tak seberapa jelas.
Raminten