Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Walaupun aku semarah itu, mas Sigit masih ngedeprok di depan pintu rumah sakit.
Dia memaksa bertemu Bulan. Tapi aku melarangnya keras.
"Apapun katamu, aku akan tetap di sini sampai bisa bertemu anak ku."
Aku benci dan jengkel melihat tingkahnya.
"Setelah apa yang terjadi, kau tidak pantas mengaku sebagai ayahnya? sebaiknya kau pulang, bawa simpananmu itu sekalian aku tidak ingin melihatnya berkeliaran disini, rasanya ingin aku remas dan aku lempar ke jalanan." umpat ku geram.
Dia menatapku dengan heran.
"Sebenci itu kau kepada Rani?" pertanyaan bodoh itu justru membuat kepalaku serasa meledak karena amarah.
"Kau masih bertanya kenapa aku membencinya? Apa yang aku rasakan bukan tanpa alasan.. Wanita jalang itu sudah menyiksa anakku. tubuh Bulan sampai biru lebam bekas cubitannya. Jangan bilang kau tidak tau semua ini?" jeritku tertahan.
Dia malah menggeleng tanpa dosa.
"Sungguh aku tidak tau.."
Rasanya percuma berdebat dengan pria bodoh dan egois seperti dia.
"Sebaiknya kau pergi sekarang.
Dan bersiap saja menunggu panggilan pihak berwajib. karena aku akan menuntut kalian. .!"
mendengar ancaman ku dia mendongak kaget.
"May, jangan lakukan itu. Aku mohon. Jangan libatkan yang lain. ayah ibuku sudah tua. Rani masih punya Tara. Bagaimana nasibnya nanti tanpa Rani? laporkan aku saja. Aku yang bersalah, bukan mereka."
Rasanya ingin ku bejek wajah pria menyebalkan di depanku itu. Dalam keadaan seperti ini masih juga dia membela simpanannya itu.
"Terserah apa katamu. Tapi yang jelas aku akan menuntut kalian semua..! Tunggu sampai Bulan membaik dan bisa bercerita." ucapku tegas dan menutup pintu.
Aku sedikit lega karena bisa melampiaskan amarahku.
Bulan bergerak-gerak.
"Bulan, kau sudah bangun?"
"Om Ayah belum datang?" pertanyaannya membuatku terkejut.
Aku menggeleng ragu.
"Kenapa lama sekali. Ibu tolong telpon Om ayah suruh dia cepat datang."
"Tapi, Om ayah pasti masih sibuk. kalau sudah selesai pekerjaannya, dia pasti datang. Dia kan sudah janji sama Bulan."
ternyata Bulan nyaman berada di dekat Dokter Agam. Ini tidak boleh terjadi. bagaimana kalau dia berharap banyak dari dokter itu?
Ah, Bulan... Seandainya saja dia tau kalau barusan ayah Sigit nya datang ingin bertemu dengannya.
"Bulan, kenapa tidak mengharapkan ayah Sigit saja yang datang, kenapa harus Om ayah?" aku bertanya dengan hati-hati.
"Tidak ibu, Bulan tidak mau ayah Sigit. Bulan takut." dia mulai menangis. Dan tangisannya mengundang perhatian mas Sigit yang ternyata masih di luar.
"Bulan...!" ucapnya seraya mendekat.
"Stop di sana, Mas..!" aku menghalanginya.
Bulan ikut kaget dengan kehadirannya.
Semula wajahnya terlihat senang melihat kehadiran ayahnya. namun kemudian dia menutupi wajahnya dengan bantal sambil menangis.
Aku dan mas Sigit saling pandang.
Apa yang terjadi kepadanya?
Saat itu aku memaksanya keluar karena Bulan seperti ketakutan. Mas Sigit menolak dan justru berusaha membujuk Bulan.
Dokter Agam datang dan langsung menenangkan Bulan. Sesaat kemudian Bulan bisa tenang dalam dekapan dokter itu.
Mas Sigit seperti tidak terima dengan apa yang di lihatnya. matanya melotot ke dokter Agam.
"Kenapa Bulan mau di sentuh oleh dokter itu? Kau pasti sudah meracuni pikirannya.." gumamnya geram.
Aku dan mas Agam sibuk menenangkan Bulan.
"May, kau sudah mencuci otak Bulan, ya? Kenapa dengan dokter Agam dia bersikap manis. Tapi kepadaku?" ucapnya sambil menangis.
"Hati anak-anak masih suci, mungkin tanpa sengaja kau sudah mengecewakannya.. Karena itulah dia bersikap begitu. Tapi ini hanya sementara." tukas mas Agam bijak.
Tapi mas Sigit tidak terima. Dia maju hendak memukul mas Agam. Tapi aku berhasil menghalanginya.
"Berikan saja teori mu itu pada pasienmu. Aku tidak butuh. Aku yakin kau sudah mengguna- gunai anak dan istriku hingga mereka menjauh dariku." ucapnya sengit.
Mas Agam menggeleng heran.
"Kau tidak tau malu, ya? Aku dan Bulan menjauh bukan karena mas Agam. Tapi karena ulah mu sendiri.. Jadi pergilah..!" ucapku sambil membukakan pintu.
Dia seperti tidak terima.
"May, sadarlah.aku Sigit suami mu. Saat ini Kau sedang dalam pengaruh dokter itu. Bahkan sekarang kau memanggilnya dengan sebutan, mas Agam."
Aku tersenyum sinis.
"Kau terlalu banyak drama, Mas Sigit. cepat pergi atau aku panggil satpam?" ancam ku serius.
"Pantas saja May tidak tahan hidup dengan mu. Kau pria egois yang yang tidak bisa menghargai orang lain.." ledek mas Agam lagi.
Kemudian dia memandang Bulan. "Ayah tau saat ini Bulan masih marah sama ayah. Tidak apa-apa. Ayah akan; pergi. Tapi pasti akan kembali lagi." Sorot matanya penuh ancaman.
Dia melangkah keluar dan hampir saja menabrak Rani yang baru saja datang.
"Ada apa, Mas?"
mas Sigit tidak menjawab. Tapi malah menatapku yang berdiri di tengah pintu.
Rani ikut melihatku.
"Wanita ini mengusir mu..?" tukas Rani dengan sinis.
Mas Agam tidak menjawab, tapi malah berbalik dan pergi.
"Bawa sekalian gundik mu ini. Jangan sampai kececeran disini." ucapku dengan sengaja.
Rani mengikuti langkahnya dengan kesal.
"Kenapa sih diam saja di hina oleh perempuan itu?" ia mengomel sepanjang perjalanan. Mas Sigit hanya diam seribu bahasa.
Keesokan harinya, dia benar-benar datang lagi. Berbagai macam cara aku lakukan untuk mengusirnya, tapi tidak berhasil juga.
"Aku juga punya hak menemani putriku. Kalau kau mengusirku, aku juga mempertanyakan keberadaan dokter Agam di sini. Saat ini jelas dia disini bukan sebagai dokter, kan?"
Aku dan mas Agam mati kutu. Terpaksa kami biarkan dia di antara kami. walaupun Bulan selalu cuek padanya, dia seperti tidak putus asa.
"Lihat, apa yang ayah bawakan untuk putri ayah yang cantik ini.." aku membuang pandangan dengan malas. Saat itu ada mas Agam juga.
Dia membawa sesuatu di belakang tubuhnya.
Bulan terlihat antusias.
Tiba-tiba dia tertawa lebar.
"Kalau boneka itu Bulan sudah punya, di beliin Om ayah.." ucapnya lugu.
Mas Sigit terlihat kecewa.
"Tapi ini ayah belikan khusus untuk Bulan kok. terima ya sayang..." bujuknya lagi.
"Ayah boong..! ayah belikan untuk kak Tara juga, kan?"
Mas Sigit terdiam. Mungkin dia tidak menyangka Bulan masih sakit hati dan ingat kejadian itu.
"Makanya.. Punya anak diperhatikan, jangan anak saudara saja yang sanjung." si diriku sambil tersenyum sinis. Dia melempar boneka itu ke kursi tempat kami duduk.
"Bulan, tidak boleh lho menolak pemberian orang, apalagi itu ayah Bulan sendiri..." ucap mas Agam.
***
Setelah empat hari, kondisi putri ku berangsur membaik. dia kembali ceria, apalagi kalau di dekat mas Agam. Mereka sangat dekat. Aku ikut bahagia melihat kebahagiaan di matanya. tapi ada ketakutan juga hinggap di hatiku. Bagaimana kalau Bulan terlanjur nyaman dengan mas Agam? Tidak mungkin selamanya dia akan berada di kampung kami. Setelah masa tugasnya selesai tentu saja dia akan kembali pada keluarganya di kota. Lalu Bulan? Apa yang harus aku lakukan?
"Hei..!" Mas Agam menyentuh pundak ku.
Saat itu kami berada di balai desa. Aku sedang mengurus sesuatu begitupun dia. Karena Bulan ikut juga, jadilah mereka mengacuhkan ku. Aku hanya bisa duduk sambil mengawasi mereka mengobrol banyak hal dengan asiknya. mas Agam sangat pintar mengambil hati anak-anak.
"Apa yang kau lamun kan?"
"Tidak ada... Saya sedang mengawasi kalian mengobrol." aku mencari alasan.
"Bohong..! Aku bisa tau kalau kau sedang bohong kali ini." ucapnya dengan kedipan mata.
"Saya hanya berpikir apakah sudah saatnya untuk menuntut keadilan buat Bulan?
Saya tidak akan tenang sebelum mereka menerima balasan dari perbuatan mereka.