Kecewa
Namaku Maysuroh, Biasa di panggil May.
Tidak ada yang istimewa dari ku. Hanya saja aku di anugrah kan otak yang lumayan encer. Tapi itu saja tidak menolong, karena kendala ekonomi yang pas-pasan . Apalagi masih ada dua adik ku yang belum sekolah. akhirnya setelah tamat dari sekolah dasar, ayahku yang hanya seorang petani biasa membawaku ke pondok pesantren. Di sana aku mengenyam pendidikan agama. Karena memang di pondok itu hanya khusus untuk mendalami ilmu agama saja.
Singkat cerita, setelah satu tahun aku di pondok pesantren. Ada kabar mengejutkan dari rumah. Ayah sakit keras hingga aku harus pulang untuk menjenguknya.
Ku lihat tatapan matanya yang sayu namun penuh kebanggaan. ayahku seorang pejuang kehidupan yang gigih. Beliau tidak pernah mengeluh karena keadaan ekonomi yang menghimpit.
Aku, ibu dan kedua adikku yang masih duduk di bangku SD selalu memberinya dukungan. Kami tidak pernah merasa rendah diri dengan segala kekurangan yang kami miliki. karena didalam keluarga kami ada cinta.
Keadaan Ayah lumayan membaik setelah kedatanganku.
Beliau bercengkrama dengan kami layaknya tidak pernah mengalami sakit apapun.
Tapi pagi harinya aku di kejutkan oleh jeritan ibu yang yang menyayat hati. Kami menghambur ke kamar Ayah.
Ku lihat ibu sedang menangis sambil merangkul tubuh ayah yang membeku.
Ayah sudah meninggalkan kami untuk selamanya. Saat itu dunia seakan runtuh menimpaku saat itu. Ayah, tulang sebagai punggung keluarga telah meninggalkan kami selamanya. Tidak ada harta yang di tinggalkan untuk kami kecuali sepetak sawah yang tidak seberapa.
Seminggu sudah berlalu. Sore itu aku mendekati ibu yang sedang termenung di halaman belakang dekat dapur kami yang sempit.
"Bu.." aku menyentuh pundaknya perlahan.
Ibu menoleh dengan mata basah.
"May, kapan kau akan balik ke pondok?"
Suaranya terdengar serak.
"Aku tidak akan balik lagi, Bu." jawabku mantap.
Ibu menatap ku sejenak.
"Aku ingin menemani ibu, dan memberi kesempatan adik-adik untuk belajar." imbuhku lagi.
"Ibu harus kerja apa, Nduk? Ibu tidak punya keahlian apapun..." rintihnya putus asa.
Walaupun ikut bingung, aku memeluk ibu dan menenangkannya.
"Ibu tidak usah khawatir, Rizqi sudah ada ngatur. Tinggal bagaimana cara kita menjemputnya." bisik ku di telinga ibu.
Setelah kembali ke kamar. Aku berpikir keras. Kira-kira apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi kebutuhan kami.
Aku terus mondar mandir berpikir.
Menjahit? Aku memang tau sedikit tentang jahit menjahit. Tapi masalah nya sekarang orang lebih suka' membeli pakaian jadi ketimbang membawa ke tukang jahit. dan tentu saja itu lebih efisien.
Apakah aku coba membuat kue saja, lalu di titipkan ke warung-warung. Yaah.. Untuk saat ini hanya itu yang terbayang di kepalaku.
Aku membuka dompet dan mengeluarkan semua isinya. Yang tersisa cuma empat puluh ribu. lalu dengan uang segitu dapat apa?
mungkin karena melihat kebingunganku, ibu mendekati.
"Kau pusing soal uang? Ibu ada celengan, Setiap ayahmu memberi uang belanja, sebisa mungkin ibu sisihkan walau cuma seribu rupiah. Mungkin isinya tidak seberapa, tapi semoga bisa untuk menambah modal usaha."
Aku terharu, padahal hidup kami sangat pas-pasan. Tapi ibu masih sempat-sempatnya menyisihkan uang belanja.
Dan setelah di buka, ternyata isinya kurang lebih dua ratus ribu.
"Alhamdulillah... Dengan uang ini kita bisa memulai usaha, Bu. Aku akan membeli beberapa bahan kue basah. Aku akan menitipkannya ke warung- warung tetangga." ucapku sumringah.
"Aku juga mau membawanya ke sekolah, mbak..." celetuk si bungsu Hafsah.
"Benar kau tidak malu berjualan di sekolah?"
Goda ibu.
"Ngapain malu, kata pak ustadz, tidak ada pekerjaan yang memalukan selagi itu halal." Bilal, yang menjawab.
Kami tersenyum. Ada harapan di pelupuk mataku.
"Semoga berkah, ya...!" ucap ibu mengusap air matanya.
***
Sejak hari itu, tidak ada waktu untuk bersedih lagi. Semua saling bahu membahu untuk membuat kue.
"Alhamdulillah, semuanya rampung. Untuk sementara kita buat tiga macam dulu. insya Allah kalau sudah ada pelanggan kita tambah menu baru." ucapku bersemangat.
Ibu mengangguk mengiyakan. Bilal dan Hafsah ketiduran di depan tv lusuh kami karena kecapean.
"Tidak usah di bangunin. kasian mereka kecapean..." ucap ibu. Aku pun setuju.
Dari dua warung, bertambah menjadi tiga, empat, lima dan tujuh warung yang menjadi langganan kami.
Disaat ekonomi lumayan membaik. Musibah kembali datang. Ibu terpeleset di kamar mandi, kepalanya membentur dinding.
Dokter memberitahu kalau kondisi ini cukup parah. Aku harus menyiapkan sejumlah uang untuk membiayai pengobatannya. Tabungan menipis dan modal pun habis.
Sigit adalah pemuda yang lama menaruh hati padaku. dia bekerja di kantor desa tempat kami tinggal.
Siang itu dia melihatku di kantor desa untuk mengurus surat keterangan tidak mampu.
"May, kau sedang apa?" siapanya dengan ragu.
"Aku perlu mengurus surat-surat yang di minta pihak rumah sakit, Mas." jawabku datar.
"Ooh, iya.. Aku sudah mendengar musibah yang menimpa ibumu. Yang sabar, ya. Kau jangan khawatir. Aku akan membantu mengurusnya."
Dengan bantuan Sigit, aku bisa mendapatkan apa yang kucari dengan cepat.
Sigit juga datang ke rumah sakit untuk memberi dukungan pada kami.
Seminggu di rawat, akhirnya ibu di perbolehkan pulang. Ada bahagia sekaligus nyeri di dada. bahagia karena ibu sudah boleh pulang dan sedih memikirkan kami sudah tidak punya apa-apa lagi.
Sigit semakin sering bertandang kerumah.
Kabar tentang kedekatan kami semakin menyebar di seantero desa.
Keluarga Sigit bukan orang kaya, tapi mereka cukup di pandang karena ayahnya seorang kepala sekolah.
Sigit anak pertama, mereka empat bersaudara. Didit adiknya bahkan sudah menikah dan mempunyai anak. tapi Sigit, jangankan menikah, punya kekasih saja belum. Hidupnya di dedikasikan untuk membahagiakan keluarganya saja. Itu membuatnya jadi bahan olokan teman-teman nya. Usianya yang sudah kepala tiga membuat orang tuanya khawatir.
Akhirnya pada bulan ketiga sejak musibah yang menimpa ibu. Aku setuju menikah dengannya. entah apa pertimbanganku saat itu. Cinta? tidak. Simpati juga tidak...
Hanya saja Sigit berjanji untuk membantuku merawat ibu dan adik- adikku, membiayai sekolah mereka dan sebaginya.
Bagai tersihir aku menyetujuinya.
Aku di boyong kerumah besar itu. Rumah yang di tinggali keluarga besarnya. Termasuk adiknya yang sudah menikah.
Awal pernikahan semua berjalan baik. Sigit sangat baik padaku. Aku juga merasa dia memang mencintaiku.
Tapi satu dari sifatnya yang membuatku tidak mengerti.
Dia sangat menyayangi orang tuanya dan adik-adiknya. Sampai kepada iparnya. Apapun kata mereka, Sigit akan menurutinya. Hal itu sangat membuatku tidak nyaman.
Hingga suatu malam aku beranikan diri untuk mengajukan permintaan.
"Mas, kita sudah menikah. Rumah ini memang besar, tidak tetap saja tidak cukup untuk menampung tiga keluarga sekaligus..."
Ucapku hati-hati.
"Kenapa May, kau keberatan tinggal bersama keluarga ku?" tanyanya santai.
"Bukan itu maksudku. Kalau kita punya rumah sendiri, kan bisa lebih mandiri." timpal ku lagi.
"Ya, sudah. Tapi aku bilang ibu dulu, ya..!" jawabnya sambil mengecup keningku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments