Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17: Akar Kebencian yang Mengintai
Setelah sampai di mobil, Ruri tak bisa menahan tawanya ketika melihat pemandangan di dalam. Carlos, dengan posisi telungkup, tidur seperti kucing liar yang biasa dijumpai di jalanan. Tubuhnya melengkung sempurna, seolah siap melompat kapan saja, telinganya sedikit bergerak, dan satu mata setengah terbuka, memperhatikan lingkungan sekitar. Gerakannya sangat halus, refleks cepatnya menunjukkan ketangkasan seekor kucing jalanan. Melihat Carlos dalam posisi seperti itu, seolah menjadi manifestasi sempurna dari kepribadiannya yang liar dan penuh tipu daya.
Carlos, yang merasa diperhatikan, perlahan membuka kedua matanya. Pandangannya langsung tertuju pada Ruri dan Takeru yang baru saja masuk ke mobil. Dengan suara rendah namun jelas, ia berseru, "Kamu ketemu orang jahat itu lagi ya?"
Takeru, yang belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi, bertanya, "Siapa yang kamu maksud?"
Namun, Ruri hanya tersenyum kecil dan mengabaikan pertanyaan Carlos. "Bukan masalah besar," katanya sambil menuju kursi pengemudi dan menyalakan mesin mobil. Takeru masih tampak bingung, tetapi tidak mendesak lebih lanjut.
Di perjalanan, suasana di dalam mobil menjadi lebih tenang. Takeru dan Carlos, yang tadinya saling mengawasi dengan intens, sekarang tampak lebih rileks. Mereka secara alami tertidur, bersandar satu sama lain di kursi belakang, seolah-olah mereka adalah dua teman lama yang sangat akrab. Ruri, yang melihat mereka melalui kaca spion, tertawa kecil. Pemandangan itu tampak sangat kontras dengan ketegangan yang biasa terjadi di antara mereka.
Tanpa disadari oleh Ruri, dari kejauhan, Arham memperhatikan mobil yang perlahan menghilang dari pandangannya. Wajahnya tidak lagi tersenyum ramah seperti biasa. Dari telapak tangannya, asap hitam mulai membubung, semakin pekat dan besar.
"Kucing sialan itu rupanya yang berulah, menyuruhmu menjauh dariku, Ruri," gumamnya dengan suara rendah namun dipenuhi kebencian. "Baiklah... kalian akan lihat apa yang bisa kulakukan."
Asap hitam itu kemudian melepaskan diri dari tangannya, seolah hidup, melayang perlahan meninggalkan tubuh Arham.
___
Hari-hari berikutnya, Takeru mulai menikmati waktunya di Indonesia. Ia sering berjalan-jalan bersama Ruri di sekitar kampus, menghirup suasana baru yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupannya di Jepang. Mereka bahkan sempat berjalan-jalan di kampus Ruri, yang cukup ramai dengan mahasiswa yang berlalu-lalang.
Saat itu, Sandra, salah satu teman seangkatan Ruri yang selalu iri, melihat kedekatan mereka dan semakin terbakar cemburu. "Dasar rubah penggoda pria!" serunya dengan marah ketika melihat Takeru dan Ruri berbincang. Meski Ruri tidak menyadari tatapan tajam itu, Takeru hanya tersenyum mengejek, membiarkan hinaan itu berlalu.
Di tengah keramaian kampus, tanpa sengaja, mereka melihat sosok Arham dari kejauhan. Arham berjalan sendirian, tetapi aura misteriusnya tetap terasa. Takeru memicingkan matanya, tampak berpikir keras. "Kayaknya... aku pernah lihat orang ini di suatu tempat," gumamnya, meski ia sendiri tidak yakin di mana atau kapan.
Carlos dan Ruri saling melirik, namun mereka tidak merespons lebih jauh. Seolah tak ada yang penting, mereka terus berjalan, meninggalkan Arham di belakang. Takeru, yang merasa tidak diacuhkan, hanya mengangkat bahu. Namun di hatinya, ia merasa ada sesuatu yang janggal tentang Arham.
Sore itu, mereka kembali ke rumah Ruri. Takeru tampak sedikit kecewa. Meski cukup banyak orang yang memperhatikannya di kampus karena penampilannya yang menawan, tidak satu pun yang mengenalinya sebagai selebriti. Ia berharap setidaknya ada satu penggemar di Indonesia yang mengenalinya, tapi tampaknya popularitasnya belum sampai di sini.
___
Beberapa hari kemudian, Takeru tiba-tiba membuat keributan di rumah Ruri. Suaranya terdengar lantang dari ruang tamu. "Pantas saja aku belum terkenal di sini! Film debutku baru akan tayang besok!"
Ruri yang sedang bersantai di kamarnya, bergegas keluar, sementara Carlos hanya menatapnya dengan wajah datar, tanpa minat. Takeru bergegas menghampiri mereka. "Kalian harus ikut nonton di bioskop! Ini film debutku!"
Carlos mendesah berat. "Aku lebih suka tidak ikut," katanya dengan malas.
Namun, Ruri tersenyum dan mengiyakan ajakan Takeru. "Baiklah, aku ikut. Tentu saja kita harus melihat bagaimana penampilanmu."
Mendengar Ruri setuju, Carlos akhirnya tak punya pilihan lain selain ikut juga.
___
Di hari yang telah dijanjikan, mereka bertiga berangkat ke bioskop. Setelah berjalan-jalan sebentar di mal, mereka kembali bertemu dengan sosok ibu-ibu yang biasa mereka temui itu. Ibu itu menatap mereka dengan sorot mata tajam, lalu berkata sinis, "Ck, tambah lagi lanangnya."
Ruri dan Carlos saling melirik, bingung dan sedikit terkejut. Bagaimana mungkin ibu ini selalu muncul di mana-mana? Namun, mereka memilih untuk tidak mempermasalahkan dan melanjutkan rencana mereka.
Setelah memesan tiket, mereka pun masuk ke dalam bioskop. Di layar besar terpampang judul film "Fate", film yang menjadi debut Takeru sebagai aktor. Mereka duduk di kursi masing-masing dan film pun dimulai.
Namun, setelah pemutaran film, suasana menjadi sangat berbeda. Carlos tertawa terbahak-bahak, sementara wajah Takeru berubah masam. Peran Takeru ternyata bukanlah tokoh utama, atau bahkan tokoh pendukung yang signifikan. Ia hanya muncul sebagai karakter sekali jalan dengan empat atau lima dialog sebelum mati secara konyol dalam adegan.
"Jadi itu peranmu?" ejek Carlos di antara tawanya. "Sok pintar, terus mati cepat? Bagaimana kamu bisa mengatakan hal seperti itu pada tokoh utama lalu mati konyol karena ulahmu sendiri, hahaha!"
Takeru, meski merasa terhina, mencoba membela diri. "Ini cuma awal. Suatu hari aku akan jadi aktor besar, yang memenangkan banyak penghargaan!"
Mereka pun keluar dari bioskop, berjalan kaki di jalanan yang sepi menuju rumah Ruri, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan pulang, suasana di antara Takeru dan Carlos mulai berubah menjadi perang dingin. Meski Ruri tak menyadarinya, kedua pria itu saling menatap dengan sengit, seolah sedang bertarung dalam pertandingan tak kasat mata. Tatapan Takeru seperti elang yang Terus menyorot Carlos, sementara Carlos, yang lebih tenang, membalas dengan matanya yang seperti kucing licik, seakan berkata, "Apa yang kau lihat? Aku peliharaan kesayangannya!".
Tanpa disadari Ruri, perang pun berlanjut ke tangan mereka. Saat Ruri berjalan sedikit di depan, Takeru secara diam-diam mencoba menyikut lengan Carlos. Tapi, Carlos tak mau kalah. Dengan gaya ala kucing yang gemulai, dia malah menepuk-nepuk punggung tangan Takeru, seperti sedang bermain-main. Plak! Plak! Sentuhan ringan Carlos seolah berkata, "Kau tak ada apa-apanya, manusia biasa!"
Tak terima, Takeru mencoba balas, menampar pelan lengan Carlos, kali ini lebih cepat. Tapi Carlos, dengan refleks seekor kucing, malah menyikut balik dengan gerakan halus yang membuatnya seolah-olah sedang mengelus kepala anjing peliharaan yang terlalu bersemangat. Ruri, yang sesekali melihat ke belakang, hanya melihat kedua pria itu tampak seperti dua orang sahabat yang jalan bersama—padahal di belakangnya, ada perang antara kucing dan elang sedang berlangsung. Di antara tamparan dan elusan itu, Takeru nyaris saja tersandung kakinya sendiri, sementara Carlos tertawa kecil, merasa menang.
Namun, tak satu pun dari mereka yang berani mengeraskan suara, takut memancing perhatian Ruri. Pertarungan sengit yang penuh kesunyian itu justru semakin terlihat konyol, dengan Carlos dan Takeru bertukar "serangan" dalam bentuk sentuhan aneh yang lebih terlihat seperti dua anak kecil yang saling berebut mainan ketimbang dua pria dewasa yang bersaing memperebutkan perhatian seorang wanita.
Suasananya begitu damai. Tapi siapa yang mengira, suasana damai itu mendadak berubah mencekam begitu sesosok bayangan hitam bergerak cepat, langsung mengarah ke Ruri. Sosok itu tampak ingin mencelakai Ruri. Ruri yang terkejut, berteriak panik. Namun, Carlos dengan kecepatan luar biasa langsung menghadang bayangan itu. Mereka saling bentrok, tapi bayangan hitam itu terlalu kuat. Carlos terpental, jatuh ke tanah dengan keras.
Takeru dan Ruri yang kaget sembari menatap sesuatu yang antara berbentuk atau tidak itu segera tersadar lantas bergegas menghampiri Carlos, namun mereka lebih terkejut lagi ketika melihat sosok Carlos perlahan berubah. Di depan mereka, Carlos berubah menjadi seekor kucing dengan mata kuning yang menyala, seolah-olah memperlihatkan wujud aslinya.