Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIRAMISU CAKE
Annisa duduk dengan tenang di kursi di dekat sofa, mengamati Damian yang masih memegang kepalanya. Setelah beberapa saat dalam keheningan, Damian akhirnya membuka kotak tiramisu yang ia bawa tadi. Ia tampak ragu sejenak, namun perlahan-lahan mengambil sendok kecil dan mulai mencicipi kue tersebut.
Annisa memperhatikan setiap gerakan Damian, matanya sedikit melembut. Melihat cara Damian menyuapkan tiramisu itu, ia merasakan sedikit kelegaan—entah kenapa, melihatnya mau memakan kue pemberiannya membuat Annisa merasa lebih dihargai, meski tanpa kata-kata.
Di sudut bibirnya terbit senyum kecil yang sulit ia tahan. Senyum yang muncul dari harapan sederhana, bahwa meski Damian tak pernah mengekspresikan perasaannya dengan manis, ada sisi lembut yang tersimpan dalam dirinya.
Damian, yang tampak tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba melirik ke arah Annisa. Ia menangkap senyuman kecil itu, membuatnya tersadar dan sejenak terdiam. Wajah Annisa yang teduh, cara ia tersenyum dengan tulus… sejenak membuat Damian lupa akan rasa sakit kepala yang tadi menyiksanya.
Namun, alih-alih mengucapkan terima kasih, Damian memilih untuk tidak mengucapkan apa pun. Meski begitu, Annisa tidak berharap lebih; cukup melihatnya menikmati kue itu sudah membuatnya lega.
Damian meletakkan sendoknya setelah beberapa suap, menatap tiramisu di depannya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Perlahan, tatapannya tampak menerawang jauh, seolah kembali ke masa lalu. Annisa menangkap perubahan itu, dan ia hanya duduk diam, memberi Damian waktu tanpa menginterupsi.
"Tiramisu ini… dulunya favorit Arum," ucap Damian pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Dia selalu pesan tiramisu di toko itu setiap kali ada kesempatan."
Annisa terdiam mendengarnya, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tahu bahwa bayangan Arum selalu ada dalam pikiran Damian, tetapi jarang sekali Damian membicarakannya secara langsung.
“Setiap kali kami selesai berkencan, kalau ada waktu, kami pasti mampir ke toko itu. Dia bilang rasanya mengingatkan dia pada masa mudanya dulu di Eropa, saat masih suka keliling kota.” Damian tersenyum kecil, sebuah senyum yang membawa Annisa pada sisi Damian yang selama ini jarang ia lihat—rentetan kenangan yang indah namun terasa pedih baginya.
Annisa menundukkan pandangannya, merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Ia tahu bahwa tak mudah bagi Damian untuk menyebutkan nama Arum, bahkan sekadar membuka kenangan lama. Perasaan bersalahnya seolah melilit lagi, walau ia tahu itu bukan salahnya. Tapi seolah-olah ia takkan pernah bisa menggantikan posisi Arum di hati Damian.
“Aku… hanya ingin memberimu sedikit waktu istirahat. Jadi, kubawakan ini,” kata Annisa lembut, sambil tersenyum kecil. Meski dalam hatinya ada perasaan sesak, ia menahan diri untuk tidak menyinggung lebih jauh.
Damian hanya mengangguk pelan, menatap Annisa dengan sedikit lebih tenang. Meski kata-katanya sedikit menyakiti, Annisa merasa sedikit lebih dekat, setidaknya ia tahu ada sisi Damian yang tak sepenuhnya hilang di bawah semua kepahitan yang selama ini mereka rasakan bersama.
Annisa membasahi bibir bawahnya dengan ragu, dalam hati, menimbang apakah dia harus mencoba untuk mengutarakan niatnya sekali lagi.
"Mas Damian.” Panggil Annisa hati-hati. “Mungkin ini bisa jadi momen yang baik. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk keluarga kita… agar mereka tahu kalau kamu mendukung," katanya melanjutkan dengan pelan, mencoba menghindari nada memaksa.
Damian menatap kue di depannya, matanya sejenak tampak bimbang. Ia teringat akan berbagai acara keluarga yang telah ia hindari selama ini—keengganannya untuk benar-benar terlibat, entah karena belum bisa melupakan Arum, atau karena Annisa yang belum sepenuhnya ia terima.
"Annisa, kamu tahu aku bukan tipe yang suka acara seperti itu," gumam Damian, tetapi kali ini nadanya lebih lembut dari sebelumnya.
Annisa menghela napas, sedikit tersenyum, namun tak menyembunyikan kekecewaan di matanya. "Aku tahu, Mas. Aku tahu ini bukan sesuatu yang mudah untukmu, tapi ini sangat berarti bagiku… hanya kali ini."
Damian memperhatikan Annisa, melihat ketulusan di balik permintaan sederhananya. Meski hatinya masih keras, ada sedikit dorongan yang membuatnya mempertimbangkan ulang keputusannya.
"Aku akan pikirkan lagi," kata Damian akhirnya. "Tapi aku tidak janji."
Senyum Annisa perlahan terbit, meski tahu itu belum keputusan pasti. Setidaknya Damian menunjukkan sedikit kemauan untuk mempertimbangkannya, dan baginya itu sudah merupakan langkah yang berharga. Annisa duduk tenang sambil menghela napas, merasa lega mendengar Damian setidaknya bersedia mempertimbangkan ajakannya. Ia sudah terbiasa dengan jawaban samar seperti ini, tapi kali ini ia merasa ada harapan kecil yang muncul.
“Terima kasih sudah mau mempertimbangkan, Mas,” ucap Annisa lembut, matanya tak lepas dari wajah suaminya. “Aku tahu mungkin ini bukan hal yang nyaman buatmu, tapi Nadine adalah sepupuku yang sangat dekat. Sejak kecil, dia selalu ada di sampingku. Kalau kamu bisa hadir… aku yakin ini akan membuatnya sangat senang.”
Damian mengalihkan pandangannya, agak canggung menghadapi Annisa yang tampak begitu tulus. Ia merasa ada yang mengganjal, namun sulit baginya mengakui betapa berharganya momen ini bagi istrinya.
“Annisa, kamu tahu, aku bukan orang yang suka berbaur dengan keluarga besar,” kata Damian pelan, nada suaranya setengah dingin, setengah ragu. “Terkadang… kehadiran seperti itu terasa berat untukku.”
Annisa tersenyum pahit, menunduk sebentar lalu menatapnya lagi. “Aku mengerti, Mas. Kamu nggak perlu banyak bicara atau mencoba membuat mereka terkesan. Kamu hanya perlu ada di sana, sekadar menemani dan menunjukkan kalau… aku juga penting untukmu.”
Damian terdiam mendengar kata-kata itu. Di dalam hatinya, ia tahu betul apa yang Annisa rasakan, bahwa ia sering mengabaikan keberadaan Annisa dan kebutuhan perasaannya. Namun, ia enggan menunjukkan perasaannya secara langsung.
“Kamu selalu ingin orang lain berpikir bahwa kamu kuat dan tidak membutuhkan siapa pun, kan?” Damian menatap Annisa dengan tatapan tajam. “Tapi kenyataannya, Annisa, kamu selalu mencoba meraih perhatian yang… aku tidak yakin bisa kuberikan.”
Annisa menelan ludah, tapi tetap mempertahankan ketenangannya. Ia tahu Damian sedang mencoba memberinya pengertian—atau mungkin, justru menjaga jarak.
“Mas, aku tidak berharap kamu menjadi orang yang berbeda atau memaksamu untuk menyukai semua orang dalam keluargaku,” jawab Annisa, suaranya sedikit bergetar. “Aku hanya berharap kamu bisa ada… sekali saja.”
Damian menghela napas panjang. Di balik keraguannya, ia bisa melihat ketulusan Annisa yang selama ini berusaha menjembatani jarak di antara mereka. Dengan suara pelan, ia akhirnya berkata, “Baiklah… aku akan datang, Annisa. Tapi jangan terlalu berharap lebih. Aku hanya akan datang untuk menemanimu, itu saja.”
Mata Annisa seketika berbinar, ia berusaha menahan senyum bahagia yang nyaris terlihat seperti senyum kemenangan kecil. “Itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih, Mas.”
Damian menatap Annisa, sedikit bingung dengan perubahan ekspresi istrinya yang tampak begitu lega. Meski masih ada jarak di antara mereka, Damian mulai merasakan bahwa Annisa bukan hanya sekadar wanita yang hadir menggantikan posisi Arum. Meski ia belum sepenuhnya terbuka, ia tahu keputusannya untuk hadir di pesta itu adalah salah satu cara untuk mengakui peran Annisa dalam hidupnya.
“Jadi, acara pernikahan itu kapan?” tanya Damian, seolah memastikan bahwa ia benar-benar serius dengan janjinya kali ini.
“Sabtu ini,” jawab Annisa cepat. “Tidak perlu membawa apa-apa. Kita hanya perlu datang dan… bersikap ramah.”
Damian mengangguk kecil. Ia tidak tahu apakah keputusannya benar atau salah, tapi untuk pertama kalinya, ia mencoba melihat Annisa dari sisi yang lebih dalam. Mungkin ini adalah langkah kecil, tapi bagi Annisa, ini adalah sebuah pengakuan, sekecil apa pun, bahwa dirinya dihargai oleh suaminya.