Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 25
Angga pun langsung bangun dari duduknya.
"Ke bandara sekarang juga!"
"Tapi, tuan muda .... "
"Tenang saja, aku tidak akan melakukan hal gila kali ini. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Aku ingin mengucapkan kata maaf padanya. Hanya itu saja, Adya."
Adya langsung menatap lekat wajah tuan mudanya yang terlihat sangat sayu. Bahkan, wajah itu sedikit pucat sekarang.
"Ba-- baiklah, tuan muda. Kita berangkat sekarang."
Mobil telah berangkat setelah Angga masuk ke dalamnya. Kali ini, bukan sopir lagi yang mengemudi mobil tersebut melainkan Adya sendiri. Karena Angga ingin cepat sampai ke tempat yang ingin ia tuju.
"Lebih cepat, Adya!"
"Baik, tuan muda."
Sementara Adya sibuk mengemudi, Angga pun di sibukkan dengan gawai nya. Sepertinya, dia sedang menghubungi seseorang sekarang. Tidak butuh waktu lama, orang yang Angga hubungi langsung menjawab panggilan dari Angga saat ini.
"Tuan muda."
"Tutup bandara sekarang juga. Aku sedang mencari seseorang yang ingin meninggalkan kota ini."
"Baik, tuan muda. Perintah akan kami laksanakan."
Peran Angga di kota ini cukup besar. Karenanya, dia tidak terlalu sulit untuk bergerak. Setelah pesan itu Angga layangkan, bandara memang langsung di tutup sementara dengan alasan yang cukup tidak masuk akal.
"Adya. Butuh berapa waktu lagi untuk sampai?"
"Lima menit saja, tuan muda. Tenang, tidak akan lama lagi."
"Sebaiknya iya, Adya. Jika tidak, pekerjaanmu untuk minggu ini akan bertambah."
"Tenang, tuan muda. Saya bisa di handal kan kok." Adya berucap sambil tersenyum.
Benar saja, kurang dari lima menit, mobil mereka akhirnya mencapai gerbang bandara pusat kota. Angga langsung turun dengan langkah terburu-buru, dia berjalan masuk ke bandara diikuti Adya dari belakang tentunya.
Pria ini memang sangat tampan. Wajah khas miliknya mampu menghanyutkan hati para wanita yang ada di bandara tersebut. Rambut lurus yang jatuh dengan indah, sedikit menutupi dahi. Ditambah dengan dua gigi ginsul yang terlihat semakin memperindah wajahnya ketika ia bicara. Apalagi jika tersenyum. Itu mampu membuat kaum hawa jatuh cinta. Hanya saja, pria ini sangat jarang senyum. Bahkan, jika ia senyum, mungkin itu bisa dijadikan obat untuk mengobati sakit hati.
Dulu, ia hanya tersenyum saat bersama Tania. Sayang, sekarang senyumnya untuk Tania juga sudah musnah. Adya sebagai pria saja sangat mengharapkan senyum dari tuan mudanya itu.
Postur tubuh yang sempurna itu terus saja menarik perhatian para penghuni bandara saat ini. Namun, tentu saja tidak ada yang berani mendekat. Tatapan mata tajam bak hewan buas yang siap menerkam mangsa, ditambah dengan dua pengawal yang mengikuti dari belakang. Siapa yang berani menyapa orang ini.
Sementara itu, Zura, Lula dan dua pengawal sedang berada di depan gerbang masuk penghubung bandara. Karena bandara berhenti beroperasi sebentar, maka urusan mereka juga jadi tertunda.
Langkah Angga yang terus berjalan mendekat membuat orang-orang menepikan diri mereka sekarang. Mereka memberikan ruang untuk Angga terus melangkah hingga berhenti di depan Zura saat ini. Pertemuan kedua setelah berpisah tiga tahun. Pertemuan kali ini bukan karena ketidaksengajaan. Melain, karena keinginan hati Angga yang sangat besar.
Tatapan mata mereka beradu. Zura tentu saja cukup kaget dengan pertemuan itu. Ingin menghindar, tapi tidak tahu harus melakukan apa. Karena sekarang, Angga sudah ada tepat di depan matanya.
Sesaat setelah saling diam, Angga akhirnya mengangkat bibir membuka suara.
"Azzura. Berikan aku waktumu lima belas menit saja. Aku ingin bicara denganmu di tempat yang lebih nyaman."
Ucapan itu membuat Zura berpikir sejenak. Matanya terus menatap Angga. Kenangan pahit masa lalu langsung tergambar di benaknya. Rasa sakit itu kembali menjalar ke seluruh hati. Wajah itu, wajah yang tiga tahun lalu telah menatap Zura dengan tatapan sinis merendahkan. Sekarang, wajah itu malah memberikan tatapan sayu. Hati Zura semakin dibuat kesal karena wajah itu.
"Tuan muda Hardian. Maaf. Waktuku tidak bisa aku berikan untuk orang yang tidak ada hubungannya denganku."
"Lima belas menit saja, Zura. Ku mohon."
Zura semakin menatap tajam Anggara.
"Maaf. Aku yakin anda paham apa yang sudah aku katakan. Jangan ganggu aku lagi. Kita tidak saling kenal, bukan?"
Ucapan Zura membuat Angga reflek meraih tangan Zura dengan cepat. Hal tersebut membuat Zura sedikit panik. Tatapan tajam yang ia berikan, kini terhunus lurus ke manik mata Angga.
"Lepaskan tanganku!" Zura berucap dengan nada yang penuh dengan penekanan.
"Tidak akan. Aku ingin minta waktumu hanya lima belas menit saja. Aku ingin bicara soal kakek padamu. Hanya itu saja."
"Lepaskan!"
Menggelegar suara Zura barusan, tak ubah guntur yang memecahkan keheningan malam. Suara itu cukup membuat terkejut orang-orang yang sedang berada di sekitar mereka. Sementara itu, dua anak buah Zura ingin maju, tapi anak buah Angga malah menahannya.
"Hanya lima menit, Zura. Jangan paksakan aku melakukan kekerasan."
"Pria bajingan. Kamu pikir kamu siapa? Berani memaksa aku dengan kekerasan. Kau dan aku tidak ada hubungannya lagi, Anggara! Jangan lupakan akan hal itu."
"Aku tahu. Aku tahu akan hal itu. Tapi aku masih ingin bicara denganmu. Lima belas menit. Hanya lima belas menit saja."
"Tidak akan. Jangankan lima belas menit. Lima menit saja aku tidak sudi bicara denganmu. Kau menjijikan."
Bukannya menyerah, Angga malah meraih tubuh Zura. Setelahnya, tubuh itu ia gendong tanpa menghiraukan keadaan sekeliling. Lula yang melihat hal tersebut tentu saja ikut-ikutan terkejut.
"Mbak Yura."
Panggilan itu lepas dari bibir Lula. Namun saat ia ingin mengejar, Adya malah menghadangnya.
"Nona. Tolong kerja samanya. Tuan mudaku tidak akan menyakiti nona mu. Aku yakin kamu juga berpikiran begitu. Karena sebelumnya, mereka juga sudah saling kenal satu sama lain."
Bukannya mendapatkan sambutan baik dari Lula, Adya malah kena amukan perempuan tersebut. "Apaan sih! Karena aku tahu tuan muda mu itu gila sejak lama. Makanya aku lebih cemas dengan mbak Zura. Aku tidak yakin kalau tuan muda mu itu tidak menyakiti mbak ku."
Adya langsung mengusap kasar wajahnya.
"Ya Tuhan, nona. Ngerti aturan pasangan tidak sih?"
"Pasangan apa? Pasangan palu mu hah! Minggir sekarang juga! Jangan buat aku mengamuk di bandara ini."
"Nona. Aduh .... Ya sudah. Ayo ikut aku sekarang. Tapi tidak boleh menganggu mereka. Kita hanya bisa jadi pengamat dari kejauhan saja."
"Untuk kalian. Tunggu di sini saja. Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Jangan cemas."
Dengan wajah kesal, Lula berjalan beriringan dengan Adya. Ternyata, Angga membawa Zura ke dalam mobil untuk bicara. Lula paham kalau dia tidak harus menganggu Zura untuk saat ini. Meskipun sekarang, hatinya sedang sangat cemas dengan keadaan Zura yang mungkin akan di sakiti oleh Angga lagi.