Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melepas Penat
Di mata tiga pria yang sering merundung pegawai lain, tatapan Erik begitu mengintimidasi dan terlihat sangat menakutkan. Padahal Erik sendiri, merasa biasa saja dalam bersikap saat ini.
Mungkin karena takut semua keburukan mereka terbongkar, jadi mereka mengartikan tatapan Erik sebagai ancaman. Apa lagi posisi Erik sekarang lebih tinggi dari mereka, membuat ketiga pria itu, tidak bisa bersikap arogan seperti biasanya.
"Memang peristiwa kemarin sudah diusut, Rik?" tanya Jojo yang kini sudah bisa bersikap santai seperti sebelumnya. "Bukankah kemarin katanya cctv sedang mengalami masalah?"
Erik seketika menyeringai. "Yah, secara kebetulan, kemarin semua kamera pengawas memang lagi bermasalah. Tapi itu hanya seluruh cctv, yang kontrolnya di ruang keamanan."
"Maksudnya?" Jojo terlihat bingung. Begitu juga dengan semua orang yang ada di sana.
"Jadi, di gedung ini ternyata ada dua kamera pengawas yang ruang kontrolnya berada di dua tempat. Jadi di saat salah satu cctv terjadi masalah, maka cctv yang lain mengambil alih fungsi cctv tersebut."
"Apa!" seru tiga orang yang sedari tadi tak berani menatap Erik secara langsung.
Mereka dan beberapa orang yang ada di sana, langsung memandang ke arah langit-langit ruangan tersebut, mencari kamera pengawas lain, yang ada di sana.
"Emang kamera yang lain dipasang di mana, Rik? Dari dulu, di sini cuma ada tiga doang loh," tanya Jojo lagi sambil terus mengedarkan pandangannya.
"Aku sendiri juga belum lihat, tapi Om Alex dan pemimpin keamanan di sini yang ngasih tahu aku tadi pagi," ujar Erik.
Semua terkejut mendengarnya. Bogo dan kedua temannya saling lirik dan mereka semakin panik. Jika benar ada kamera pengawas lain yang tidak di ketahui oleh ketiganya, berarti saat ini mereka benar-benar dalam masalah besar.
"Wahh! Berarti bakalan ketahuan dong, siapa yang menaruh jam tangan di loker Tuan muda?" celetuk Naura dengan wajah ceria. Wanita itu menatap Bogo dan dua temannya dengan perasaan yang sangat bahagia.
"Nah, iya, bisa! Berarti pelakunya bisa dituntut tuh, jika terbukti kejadian kemarin adalah fitnah," sahut Jojo.
Bukan hanya mereka saja yang nampak antusias mendengar kabar tersebut. Karyawan lain juga merasa sangat puas dan berharap, ketiga pria arogan itu segera mendapatkan balasan yang setimpal karena selama ini sering menyusahkan pekerja lainnya.
"Kalian tidak ingin minta maaf kepada Tuan muda?" celetuk karyawan yang lain.
"Iya tuh benar," sahut rekan yang lain. "Cepat minta maaf. Siapa tahu, Tuan mudah bakalan memaafkan kalian. Jadi kalian masih aman kerja di sini."
"Iya, betul, nggak usah gengsi," celetuk yang lainnya lagi.
Erik tersenyum sinis. "Sayangnya, saya tidak memiliki hati seperti malaikat," ucapnya enteng.
"Mungkin aku bisa saja melepaskan kalian, tapi bagaimana nasib karyawan lain, yang kalian ganggu? Mereka juga pasti menginginkan kalian agar mendapat hukuman bukan? Jadi, biarlah kalian dihukum sesuai aturan yang berlaku."
Perasaan Bogo dan dua temannya makin tak karuan. Dua dari tiga orang itu langsung bersimpuh memohon maaf. Namun sayang, di saat bersamaan, datang beberapa petugas keamanan ke ruangan tersebut.
"Loh, bukankah anda Tuan muda Erik? Kenapa anda ada di sini?" tanya salah satu petugas keamaan yang sudah mengenali wajah Erik.
Erik tersenyum. "Saya ada perlu dengan teman-teman saya," jawabnya. "Bapak sendiri, ke sini mau ngapain?" Erik masih menunjukan sikap yang sama seperti sebelumnya.
"Kami ditugaskan untuk menangkap tiga orang, yang kemarin menganiaya anda, Tuan muda."
Tiga orang yang dimaksud langsung terperanjat sedangkan karyawan yang lain malah terlihat senang mendengarnya.
"Ampuni kami, Tuan muda, ampuni kami," dua teman Bogo yang bersimpuh langsung merintih. Tapi, tidak dengan Bogo.
Meskipun diserang rasa takut, Bogo hanya terdiam dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya terkepal kuat, menandakan kalau suasana hatinya sedang bergemuruh hebat.
Erik pun melayangkan tatapan tajam pada pria yang masih berdiri. Dia sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Erik penasaran, apa yang dipikirkan Bogo macam ini.
"Maaf, Tuan muda, apa mereka bertiga yang kemarin menganiaya anda?" tanya petugas keamanan begitu menyaksikan permintaan maaf dua orang tersebut.
Erik menjawabnya dengan anggukan kepala. Tanpa membuang waktu lagi, ketiga orang itu langsung dipaksa untuk para petugas keamanan meninggalkan ruangan itu dan ikut bersama mereka.
Sepanjang mata memandang, Erik sama sekali tidak melihat Bogo memberontak. Tentu saja, sikap Bogo yang terus diam, menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Erik.
Sementara itu, masih di dalam gedung yang sama, tapi di lantai yang berbeda, tampak seorang pria melangkah agak cepat menuju ke ruang kerjanya.
"Apa istri saya ada di dalam?" tanya pria itu pada sekretarisnya.
"Iya, Tuan. Nyonya besar ada di dalam," jawab sang sekretaris.
"Oke, terima kasih," pria itu pun segera melangkah memasuki ruangannya.
Begitu masuk, senyum pria itu langsung terkembang, begitu tatapannya menangkap sosok yang sedang terbaring di sofa.
"Kok tidur di situ sih, Sayang? Tidur di dalam aja sana loh. Itu kan ada kamar," ucap pria yang tak lain adalah Castilo.
Dia tahu istrinya sedang tidak terlelap. Wanita itu hanya berbaring, melepas lelah sembari memejamkan mata.
"Enggak lah. Yang ada nanti kamu malah macam-macam. Orang lagi capek, bakalan semakin dibikin capek oleh kamu," balas Namira masih dengan posisi yang sama.
Senyum Castilo semakin melebar. Dia duduk di tepi sofa, menatap istrinya yang terbaring miring.
"Bukankah main di sofa ini juga bisa ya?" Godanya. Seketika Namira melotot, membuat Castilo semakin gemas.
"Kamu kenapa pergi ke sini diam-diam? Tadi aku panik nyariin kamu loh, Yang?" Castilo langung mengalihkan pembicaraan daripada nanti kena sembur.
"Orang kamu lagi sibuk, masa iya aku gangguin. Kan nggak enak. Lagian tadi aku nitip pesan sama Alex dan beberapa pelayan wanita,"
Castilo bergumam tak jelas. "Hm..."
"Oh iya, Mas, kok istrinya Alex tidak kelihatan?"
"Dia kan baru melahirkan anak ketiga. Jadi nggak bisa hadir."
"Owalah, pantesan. Padahal lumayan loh kalau ada dia, bisa buat teman ngobrol."
"Ya nanti, akhir pekan kita ke rumahnya," balas Castilo. "Bukankah tadi di sana kamu juga banyak teman ngobrol?"
Namira bangkit dari berbaringnya. "Males. Banyak yang cari muka. Apa lagi mereka seperti sedang adu kekayaan. Benar-benar tidak nyaman bergaul sama mereka."
Castilo kembali tersenyum, lalu dia meraih tangan sang istri dan menggenggamnya. "Maaf ya?"
Namira ikut tersenyum. "Kenapa malah minta maaf? Udah lah, nggak apa-apa." ucapnya. "Orang tua kamu kapan datang, Mas?"
"Harusnya sih siang ini sudah nyampe. Mungkin mereka mampir dulu ke rumah."
Namira mengangguk sembari berkata "oh..."
Disaat Namira hendak melempar pertanyaan kembali, tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara yang datang dari arah pintu masuk.
"Hallo, sayang!"
Namira terperanjat. Begitu juga dengan Castilo.