Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Satu Kamar Lagi
Haliza terduduk lesu di atas ranjang di dalam kamar itu. Dia sangat terpukul dengan kalimat yang diucapkan Aldian. Dia tidak bisa membiarkan Aldian menceraikannya.
Haliza mulai bangkit dari atas ranjang, meskipun kepalanya terasa berat, akan tetapi ia harus menyusul Aldian dan mencegahnya untuk melayangkan gugatan cerai.
Haliza keluar dari kamar kosong itu, ia berusaha mengejar Aldian yang tadi menuju kamar yang tadi diamuknya.
Saat memasuki kamar, Haliza sudah melihat Aldian sangat rapi, dan sepertinya ia akan segera pergi.
"Mas, jangan pergi. Aku mohon jangan gugat cerai aku. Maafkan aku, Mas. Aku mengaku salah, aku tidak patuh padamu," cegah Haliza seraya menahan bahu Aldian.
Aldian menyingkirkan lengan Haliza, ia tidak bicara sedikitpun. Ia sudah terlanjur muak dengan Haliza.
"Menyingkirlah. Aku tidak ada kepentingan denganmu. Jadi, aku mohon jangan halangi jalanku," tukas Aldian kesal seraya merangsek tubuh Haliza supaya menyingkir.
"Mas, aku mohon jangan pergi, aku minta maaf. Asal kamu jangan ceraikan aku," mohon Haliza sekali lagi. Akan tetapi Aldian tidak mendengarkan apa yang diucapkan Haliza.
Aldian menuruni tangga dan keluar dari rumah. Sementara itu Haliza hanya bisa menatap kepergian Aldian dengan nanar dan sedih.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan supaya Mas Aldian tidak menggugat cerai aku?" harap Haliza disertai isak.
***
Di tempat lain, Aldian kini tengah menemui seseorang. Aldian memberi hormat pada orang itu. Lelaki paruh baya yang usianya sekitar 50 tahun itu mempersilahkan duduk.
"Duduklah Al."
"Terimakasih, Om." Aldian menyebut lelaki paruh baya itu om.
"Ada masalah berat apa sehingga kamu mendatangi kediaman om?" Pertanyaan itu terlontar dari lelaki yang kini berpangkat Kolonel dan menjabat sebagai Komandan di kesatuannya.
Aldian tidak segera menjawab, ia seakan berat untuk mengungkapkannya. Biasanya setiap ada masalah, Aldian memang larinya pada seseorang. Dan seseorang itu saat ini sedang berada di hadapannya. Dia Om Mada, om kandung Aldian adik dari papanya Aldian. Tidak ada yang tahu bahwa Komandan di kesatuannya merupakan om kandung Aldian Bahari.
"Al, ingin berkonsultasi dengan Om."
"Tentang perceraian?" tebak Om Mada tepat sekali. Aldian menunduk malu dengan tebakan omnya yang tepat itu. Kenapa omnya itu bisa tahu masalah yang saat ini sedang melanda Aldian.
"Om hanya menebak, dan melihat sikap kamu yang aneh seperti ini, om yakin kamu mengalami hal di mana kamu sedang ingin menyerah dengan sebuah pernikahan," ralat Om Mada menyadarkan keheranan Aldian.
"Iya Om. Al sedang mengalami di mana saat ini Al merasa menyerah."
"Pernikahanmu kurang lebih baru enam bulan, kenapa kamu harus memutuskan dengan mengambil keputusan yang terlalu dini dan terburu-buru? Jangan besarkan egomu, istrimu itu masih muda, dia masih perlu bimbinganmu. Dan kesabaranmu yang saat ini sedang diuji, harus mampu kamu pertahankan jangan sampai runtuh. Pulanglah dan perbaiki semua sebelum terlambat. Kamu masih bisa melewati itu semua tanpa harus bercerai. Memangnya bercerai itu segampang membalikkan telapak tangan?" nasihat Om Mada menyadarkan Aldian yang tadi sudah buntu dan putus asa.
Aldian pamit dari kediaman Om Mada setelah tadi banyak ngobrol dan bercerita. Dari situlah Aldian memutuskan untuk memberi kesempatan pada Haliza, meskipun ia tidak akan mengatakannya langsung pada Haliza.
Aldian akan memberikan kesempatan yang kedua untuk Haliza. Ia akan melihat sampai di mana Haliza bisa berubah dengan sendirinya tanpa Aldian mengatakan bahwa ia memberi kesempatan kedua untuknya.
Sudah satu bulan berlalu sejak kejadian pertengkaran itu, Aldian hampir tidak pernah menyentuh Haliza. Aldian membiarkan Haliza tanpa bicara, atau tegur sapanya. Aldian akan melihat sampai di mana perubahan Haliza ketika ia mendiamkannya.
Dari situ, Aldian mulai melihat perubahan yang diperlihatkan Haliza walaupun perlahan. Namun Aldian tidak segera luluh, lalu mengatakan bahwa ia memaafkan Haliza dan merangkulnya.
Katakan saja saat ini Aldian sedang menguji Haliza, akan tetapi Haliza tidak tahu kalau Aldian sedang mengujinya dan memberikan kesempatan kedua padanya. Aldian membiarkan naluri kewanitaan Haliza sampai di mana bisa peka.
Haliza sangat gelisah, setelah pertengkarannya dengan Aldian sebulan yang lalu, hubungannya dengan Aldian semakin dingin dan datar. Aldian tidak lagi menyapa atau memarahinya lagi. Aldian terkesan membiarkan apapun yang akan Haliza lakukan. Haliza sempat frustasi dengan sikap Al. Haliza masih bersyukur, sebab Aldian tidak pernah menggugatnya cerai atau mengucapkan kata talak.
Haliza berpikir, mungkin inilah saatnya dia berubah dan memperbaiki diri sebelum Aldian benar-benar menalaknya.
"Tapi, bagaimana kalau sikap diamnya Mas Aldian hanya untuk mengecohku? Dan ini sebenarnya bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak dan mengancamku?" duga Haliza masih dilanda bingung.
"Aku harus berusaha untuk hamil, agar Mas Aldian tidak menceraikanku. Tapi, bagaimana caranya, saat ini saja kami sedang pisah kamar? Mas Aldian juga tidak pernah mengajakku ke kamarnya lagi, dia tidak mau bicara apa-apa padaku." Haliza masih berpikir keras bagaimana caranya ia bisa kembali berdekatan secara kontak fisik dengan Aldian agar dirinya benar-benar hamil dan tidak diceraikan Aldian.
Dalam waktu sebulan, Haliza berusaha memperbaiki diri. Dia selalu meminta maaf terhadap Aldian ketika Aldian pergi bekerja.
Perjuangan Haliza hari ini dan hari-hari berikutnya harus lebih keras lagi. Haliza bertekad akan merebut kembali hati Aldian, dan mencintainya kembali saat sebelum pertengkaran itu terjadi.
Malam itu, hujan kembali turun begitu lebat setelah sebulan lamanya tidak mengguyur kota itu. Haliza menarik selimutnya dan menutupi tubuhnya yang dingin karena hujan. Namun, tetap saja rasa dingin itu menggelayuti tubuhnya.
"Jeledar, jegerrrr."
Suara petir tiba-tiba terdengar memecah malam berbalut air hujan. Haliza tersentak dan merasa takut. Ia bangkit dari ranjang dan membuka pintu kamar. Sepertinya malam ini dia tidak bisa tidur di kamar itu, karena hujan dan petir yang bersahutan, tiba-tiba saja begitu sangat menakutkan.
"Aku tidak bisa tidur di kamar ini, suasana hujan membuat aku takut." Haliza berbicara sendiri sembari keluar dari kamar itu. Malam ini Haliza akan ke kamar suaminya untuk tidur di sana. Haliza berusaha mengubur perasaan malunya di hadapan Aldian.
Haliza tiba di depan pintu Aldian, lalu tangannya mulai terangkat untuk mengetuk pintu kamar yang sudah sebulan ini tidak ia masuki.
"Tok, tok, tok."
Ketukan itu diperdengarkan tiga kali. Aldian yang sudah menaiki ranjang, tersentak dengan suara pintu kamarnya yang diketuk.
Ketukan itu terdengar lagi, Aldian mulai bangkit. Benaknya bertanya siapa gerangan yang mengetuk, apakah Haliza?
Aldian berjalan menuju pintu lalu mulai membuka tuas pintu. Pintu itu terbuka lebar. Aldian terkejut, rupanya Haliza kini sudah berada di depan pintu kamarnya dengan wajah takut.
"Ma~Mas, boleh aku ma~masuk dan tidur di kamar ini? Aku takut karena tadi ada suara petir?" ungkap Haliza gugup dengan tatap memohon.
Aldian menatap beberapa saat sekujur tubuh Haliza, apakah ini betul Haliza atau hanya makhluk tak kasat mata yang sedang menjelma menjadi Haliza.
"Mas, boleh aku masuk? Di kamar itu sangat dingin jika hujan?" mohon Haliza lagi sangat berharap.
Aldian masih berpikir keras, apakah ia akan mengijinkan Haliza masuk ke dalam kamarnya atau tidak.
"Jeledarrrrr." Petir itu kembali bergelegar, membuat Haliza tersentak dan spontan memeluk Aldian kuat.
"Mas, aku takut." Haliza memeluk Aldian sangat erat sampai Aldian merasa kesesakan.
"Turunlah dulu, aku sangat kesesakan." Aldian protes seraya melepaskan tangan Haliza.
"Masuklah, kamu boleh tidur di sini. Tapi, jangan dekat-dekat denganku," tegas Aldian seraya menutup kembali pintu kamar.
"Terimakasih, Mas," balas Haliza bersorak. Malam ini dia berhasil masuk kamar Aldian, untuk selanjutnya ia harus menjalankan maksud terselubungnya dengan tujuan agar Aldian kembali seperti sebulan yang lalu dan rumah tangga ini bisa kembali berjalan sebagaimana layaknya rumah tangga yang saling mencintai.